Orang Utan Terkena Dampak Kabut Asap dan Kebakaran Hutan

M. Sulthan Azzam
2015.10.16
Padang
151016_ID_ORANGUTAN_620.jpg Kabut asap pekat memaksa pengurangan jam beraktivitas di sekolah orang utan di Pusat Rehabilitasi Orang Utan Nyaru Menteng, Kalteng.
© Yayasan BOS

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan, tak hanya menimbulkan masalah bagi manusia, melainkan juga bagi satwa liar. Pekatnya kabut asap membuat jadwal dan kegiatan sekolah hutan terganggu. Salah satunya di Pusat Rehabilitasi Orang Utan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, provinsi dengan kondisi kebakaran terparah di Kalimantan.

Sekolah hutan atau reintroduksi, merupakan proses untuk menjaga perilaku adaptif orang utan dalam merespon dunia luar dan belajar proses bertahan hidup di alam secara mandiri.

Seperti sekolah pada manusia, orang utan juga memiliki sekolah. Mulai dari Baby School yang berisikan bayi-bayi orang utan, Forest School yang berisikan orang utan dewasa serta The Island yang disebut sebagai Orang utan University sebagai bagian akhir sebelum dilepas liarkan kembali.

“Kegiatan di sekolah hutan mulai dibatasi. Menjadi lebih singkat dari biasanya,” kata Paulina Laurensia Ela, Spesialis Komunikasi Borneo Orang Utan Survival (BOS) kepada BeritaBenar lewat sambungan telepon, Rabu siang, 14 Oktober.

BOS merupakan salah satu yayasan penyelamatan orang utan Kalimantan yang merawat lebih dari 700 orang utan dengan dukungan 420 karyawan serta para ahli di bidang primata. Pusat Rehabilitasi Orang utan Nyaru Menteng merupakan salah satu lokasi BOS.

Kegiatan sekolah hutan biasanya berlangsung sejak pukul 7 pagi hingga pukul 3 sore. Orang utan sudah dikeluarkan dari kandang dan dibawa ke sekolah. Biasanya, selepas keluar kandang, orang utan bergelantungan di pohon. Namun kini, banyak yang tidak bergairah, karena terpapar kabut asap. Akibatnya, aktivitas sekolah-pun dipersingkat menjadi pukul 10 hingga pukul 12 siang.

“Jadwal itu tidak menentu juga. Bisa saja aktivitas ditiadakan, karena kabut asap cenderung membahayakan. Jarak pandang bahkan hanya satu meter saja. Mereka (orang utan) kan tidak menggunakan masker. Jadi, sangat berbahaya. Di awal minggu ini, kegiatan di sekolah hutan sudah benar-benar dikurangi dan hanya orang utan yang benar-benar sehat dapat ke sekolah,” katanya.

Bayi orang utan dirawat

Tahun ini, kabut asap semakin memburuk sejak minggu pertama September. Bayi orang utan menjadi yang paling merasakan dampaknya. Kabut yang begitu pekat memaksa mereka harus tinggal di dalam ruangan.

“Ada 16 bayi orang utan yang terkena dampak kabut asap. Mereka kini menjalani perawatan intensif karena menderita ISPA. Kondisinya sangat lemah sekali. Hidung ingusan. Batuk-batuk. Suhu badan mereka juga cukup tinggi, antara 38 hingga 39 derajat celcius. Kami putuskan mereka harus tetap berada di dalam ruangan," jelas Paulina.

Karena tempatnya terbatas, mereka hanya berguling-guling di lantai saja.

"Saya khawatir, bila kondisi ini terus berlangsung akan banyak sekali orang utan yang ada di tempat kami sakit, atau bahkan tidak menutup kemungkinan ada berapa orang utan yang dapat mati," katanya lagi.

Sementara itu, Denny Kurniawan, Manager Program BOS menyebutkan, semua orang utan di pusat rehabilitasi itu berada dalam pengawasan. Pihaknya berencana mengevakuasi orang utan tersebut namun belum ditemukan lokasi yang tepat.

"Di klinik Nyaru Menteng sekarang ada 138 orang utan. Kami hanya mampu mengevakuasi 20 orang utan ke lokasi kami yang lain di Miduaitiga. Artinya, masih ada 118 lainnya yang perlu dievakuasi. Masalahnya, mau dievakuasi kemana lagi? Hampir seluruh Kalimantan tertutup asap. Kabut asap ada dimana-mana,” katanya.

Orang utan yang terancam tidak hanya di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan Timur, kondisi serupa juga terjadi. Pihak BOS terpaksa harus mengevakuasi 200 individu orang utan karena kebakaran hutan terjadi sangat dekat dengan Pusat Rehabilitasi Orang utan Samboja Lestari, Kalimantan Timur.

Lahan Samboja Lestari terbakar dua kali, yakni di awal September sebanyak 30 hektar dan di akhir September, membakar hampir 100 hektar.

Bayi-bayi orang utan di sekolah orang utan Nyaru Menteng, Kalteng, terpaksa bermain di dalam ruangan untuk menghindari kabut asap di luar. (© Yayasan BOS)
Bayi-bayi orang utan di sekolah orang utan Nyaru Menteng, Kalteng, terpaksa bermain di dalam ruangan untuk menghindari kabut asap di luar. (© Yayasan BOS)

Bayi-bayi orang utan di sekolah orang utan Nyaru Menteng, Kalteng, terpaksa bermain di dalam ruangan untuk menghindari kabut asap di luar. (© Yayasan BOS)

Terjebak dalam kebakaran

Sementara itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Ketapang menyebutkan, sejumlah individu orang utan terjebak dalam kebakaran hutan dan lahan di kawasan tersebut. Petugas sempat kesulitan masuk ke tengah hutan untuk melakukan penyelamatan, karena kondisi hutan yang masih dipenuhi kabut asap.

Setelah menunggu lebih dari seminggu, tim gabungan yang terdiri dari BKSDA dan Internasional Animal Rescue menemukan dua individu induk orang utan yang membawa bayi berumur sekitar 1 tahun. Tiga primata tersebut ditemukan dalam posisi terjepit dalam kebakaran hutan di dekat Desa Satong Ketapang.

"Baru tiga individu (orang utan) yang kita temukan. Kemungkinan masih ada lagi. Kabut asap masih sangat tebal. Kita belum bisa masuk hutan terlalu jauh. Tapi akan tetap kita upayakan bisa melakukan evakuasi," kata Junaidi, Kepala BKSDA Wilayah 1 Ketapang kepada BeritaBenar, Kamis.

Menurut Junaidi, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan membuat ruang gerak orang utan menjadi terbatas.

“Di alam liar, satu individu orang utan setidaknya bisa menjelajah dua kilometer persegi. Kalau hutan terbakar, mereka akan sangat kesulitan,” jelas Junaidi.

Sejak kabut asap yang dipicu kebakaran hutan dan lahan terjadi, orang utan juga sering terlihat masuk pemukiman warga. Salah satunya di Desa Majalin di Kecamatan Parenggean dan Desa Soren di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah.

Dalam laporan masyarakat ke Pos Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng, kedatangan pasukan primata tersebut memang belum sampai mengganggu aktivitas dan merusak kebun warga.

"Sudah beberapa hari ini orang utan itu berkeliaran di hutan sekitar sini. Dia terlihat makan dedaunan di atas pohon karena tidak ada lagi yang bisa dimakan, tapi saat malam mungkin orang utan itu turun ke permukiman, makanya kami takut akan menyerang kami," kata Jitu, seorang warga di Sampit.

Kepala Pos Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kotawaringin Timur, Muriansyah mengatakan, orang utan dikenal sebagai binatang yang cenderung pemalu dan berusaha menghindar dari manusia.

“Tapi karena habitatnya rusak, kini orang utan turun ke perkebunan hingga permukiman warga untuk mencari makan dan bertahan hidup. Jika dibiarkan, orang utan dikhawatirkan mati kelaparan. Kekhawatiran lain, kalau sudah lapar, mereka bisa turun ke permukiman warga untuk mencari makanan dengan merusak tanaman bahkan menyerang warga yang ada di daerah itu. Ini yang perlu kita antisipasi,” katanya.

Pemerintah masih berupaya memadamkan api yang membakar hutan di Kalimantan dan Sumatera. Hingga hari Kamis, Satgas Udara yang dibantu Australia, Malaysia dan Singapura mengerahkan delapan unit angkutan udara, dengan total pengeboman lebih dari setengah juta ton air.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.