Polisi Ungkap Puluhan Ribu Kotak Amal Sebagai Salah Satu Sumber Dana JI
2020.12.17
Jakarta
Kepolisian Indonesia pada Kamis (17/10) mengatakan lebih dari 20.000 kotak amal di warung makan dan toko swalayan di tujuh provinsi digunakan Jemaah Islamiyah (JI) sebagai salah satu sumber pendanaan organisasi militan terlarang itu selama beberapa tahun terakhir.
Pemeriksaan terhadap anggota JI yang ditangkap mengindikasikan organisasi itu memiliki hubungan dengan lembaga pengelola infaq dan zakat baitul maal di bawah Yayasan Abdurrahman Bin Auf yang menyebarkan 20.068 kotak amal di Pulau Jawa, Sumatra dan Maluku, kata juru bicara Polri.
“Penempatan kotak amal mayoritas di warung-warung makan konvensional karena tidak perlu izin khusus, hanya meminta izin dari pemilik warung,” kata Juru Bicara Polri Irjen Argo Yuwono melalui pernyataan tertulis kepada BenarNews.
“Untuk ciri-ciri spesifik yang mengarah ke organisasi teroris tidak ada, karena bertujuan agar tidak memancing kecurigaan masyarakat dan dapat berbaur,” tambah Argo.
Lebih dari 20.000 kotak amal itu tersebar di Provinsi Lampung dengan 6.000 unit, disusul Jawa Timur dengan 5.300 unit, Sumatra Utara dengan 4.000 unit, Jawa Tengah dengan 2.700 unit, Yogyakarta 2.000 unit, dan puluhan lainnya di Maluku dan Jakarta, kata Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Kombes Ahmad Ramadhan.
Data tersebut diperoleh kepolisian melalui pemeriksaan anggota JI bernama Fitria Sanjaya alias Acil, yang merupakan salah satu terduga militan yang ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 selama periode Oktober-Desember tahun ini dan merupakan salah satu pengurus yayasan, kata Ahmad.
“Kotak amal yang terkumpul dari Yayasan Baitul Maal Abdurrahman bin Auf yang terafiliasi organisasi JI untuk tahun 2012 berjumlah Rp2,13 miliar,” kata Ahmad kepada BenarNews, seraya menambahkan jumlah hanya berasal dari kotak amal yang tersebar di Lampung saja.
Dari situs resminya www.lazaba.or.id, Yayasan Abdurrahman Bin Auf tercatat berdiri pada Oktober 2004 melalui akta pendirian yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Yayasan ini memiliki kantor perwakilan di Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Utara dan Lampung.
Pengurus yayasan di Jakarta dan daerah lain tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Argo mengatakan pada kotak amal tersebut dicantumkan nomor akta pendirian serta nomor pendaftaran yayasan amal dari Kementerian Agama.
Dari sumbangan yang terkumpul, anggota JI yang terlibat di lembaga itu akan melakukan pemotongan awal sebagai alokasi untuk organisasi sebelum keseluruhan dananya dilaporkan ke Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Laporan keuangan itu dilakukan setiap satu semester untuk menjaga agar legalitas yayasan tetap terjaga, sebut Argo.
Uang itu, ujar Argo, selanjutnya digunakan untuk mendukung program-program JI seperti mengirim bantuan ke Suriah dan Palestina atau menyelenggarakan acara tabligh dengan menghadirkan tokoh-tokoh dari dua negara tadi.
Argo mengatakan pengumpulan dana kelompok JI melalui kotak amal ini dilakukan karena iuran dari anggota sudah tidak mampu lagi menopang aktivitas organisasi. “JI saat ini mulai berusaha untuk go public karena semakin sulitnya mengumpulkan dana jika hanya lewat infaq anggota maupun ikhtisod (iuran),” kata Argo.
Selain Yayasan Abdurrahman bin Auf, Argo juga menyebut JI menyalahgunakan dana dari lembaga amal Syam Organizer (SO), One Care (OC), Hashi, dan Hilal Ahmar.
Tujuan jangka panjang
Kepala Divisi Regional Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dari International Association for Counter-terrorism & Security Professionals (IACSP) Asia Tenggara, Garnadi Walanda Dharmaputra, mengatakan dana dari yayasan amal yang terafiliasi kelompok teror untuk kegiatan sosial keagamaan hanya 11 persen, sisanya digunakan untuk mendukung kegiatan terorisme.
“Dari yang saya teliti, ada 5-6 yayasan, dana untuk aksi sosial keagamaan itu hanya 11 persen. Sementara operasional terorisme seperti membangun pertahanan bisa 37 persen, operasional organisasi 26 persen, dan membantu kerabat atau anggota atau ikhwan yang sakit misalnya 26 persen,” kata Garnadi melalui sambungan telepon dengan BenarNews, seraya mengonfirmasi bahwa salah satunya adalah Yayasan Abdurrahman bin Auf.
Penelitian Garnadi menemukan bahwa benih-benih penyalahgunaan dana terorisme melalui Yayasan Abdurrahman bin Auf oleh kelompok JI sudah dimulai sejak lama. “Mereka juga menggunakan yayasan ini untuk menggalang simpatisan, menyatukan orang-orang yang ingin terlibat membela Islam pasca-tragedi Ambon dan Poso,” katanya.
Di sisi lain, terungkapnya penyalahgunaan dana dari yayasan ini juga bukan hal yang baru. Ketika Badawi Rahman, salah satu pembuat senjata kelompok JI, ditangkap Densus 88 pada 2014, nama Yayasan Abdurrahman bin Auf sudah muncul sebagai salah satu sumber pendanaan mereka, kata Garnadi.
Sementara itu, Peneliti senior Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Muhammad Taufiqurrohman mengatakan inspirasi JI dalam melakukan pengumpulan dana melalui yayasan amal dimulai dari kemunculan berbagai lembaga pasca-tsunami Aceh, akhir 2004.
“Salah satu yang mereka lihat itu ACT,” kata Taufiqurrohman, merujuk pada Yayasan Aksi Cepat Tanggap.
Taufiqurrohman menyebut jumlah dana yang terkumpul dari kotak amal memang cukup signifikan. “Misalnya dari satu kotak amal sebulannya diambil 100.000 rupiah, kalau dikali 20 ribu kotak itu bisa berapa,” katanya.
Kendati demikian, pengungkapan sumber dana JI dari kotak amal ini tidak serta-merta mematikan keuangan organisasi yang bertanggung jawab atas serangan mematikan di Bali, nyaris dua dekade silam. “Anggota mereka masih banyak, sumber-sumber dana dari pesantren juga masih besar. Tapi paling tidak ini bisa memberi efek kejut untuk mereka,” tukas Taufiqurrohman.
Senada dengan Taufiqurrohman, Garnadi justru melihat pengungkapan modus ini tidak akan menghentikan aktivitas kelompok terorisme dalam menggalang dana dari masyarakat melalui kotak amal.
“Selama belum ada tindakan lebih tegas untuk mengawasi yayasan atau lembaga amal dan juga penggalangan dana maka hal-hal ini masih bisa terus berlangsung. Saya rasa tidak menghentikan mereka,” kata Garnadi.
“Karena masyarakat kuat secara sosial, concern untuk menyumbang, menggalang dananya besar. Mereka mengeksploitasi itu,” tambahnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menyebut penggunaan kotak amal sebagai sumber pendanaan organisasi teroris adalah fenomena baru.
“Kegiatan fenomenal kotak amal sedang diinvestigasi, dilakukan langkah penyelidikan dan penyidikan oleh aparat kepolisian, kata Boy dalam sebuah acara di Bali, akhir pekan lalu. “Saya yakin, nanti siapa yang mengorganisir itu akan diproses secara hukum.”
Akan dibekukan
Terkait temuan kotak amal, Kementerian Agama memastikan akan memberikan sanksi berupa pembekuan kepada lembaga amal yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang.
“Lembaga yang menyalahgunakan wewenang pasti disanksi. Bisa jadi pencabutan izin,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Kamaruddin mengatakan pihaknya akan mengevaluasi temuan kepolisian dengan berkoordinasi bersama Baznas. “Kemenag dan Baznas pusat sedang telusuri informasi tersebut, lanjutnya.
Kemenag meminta masyarakat untuk tidak khawatir lantaran masih banyak lembaga pengelola zakat dan infaq yang terpercaya di Indonesia. Kamaruddin mengaku saat ini sudah ada 81 lembaga amal zakat yang mendapat izin legalitas resmi serta rutin dilakukan audit kepatuhan secara berkala.
“Kami imbau masyarakat bisa menyalurkan amal sosialnya melalui laziswaf yang terpercaya, kredibel dan profesional,” kata Kamaruddin.
Kadiv Humas Polri Argo Yuwono menambahkan, masyarakat sebaiknya menyalurkan sumbangan ke lembaga yang terafiliasi dengan instansi pemerintahan atau lembaga yang memiliki akuntabilitas dalam hal penyaluran dana.
“Kita imbau agar masyarakat memberikan sumbangan atau sadakohnya ke lembaga resmi dan terpercaya. Ini agar jelas arah sumbangannya dan menjadi amal kebaikan yang bermanfaat,” kata Argo.
Pada Rabu, Densus 88 memindahkan 23 terduga militan JI yang ditangkap di Sumatra selama periode Oktober-Desember 2020 ke Jakarta untuk penyelidikan lebih lanjut. Dua di antara puluhan orang itu adalah buronan polisi selama belasan tahun, Zulkarnaen alias Aris Sumarsono dan Upik Lawanga.
Taufiqurrohman dari PAKAR menyebut saat ini polisi tidak akan berkompromi dengan kelompok JI yang mulai melakukan sejumlah aktivitas kembali sejak organisasi itu dibubarkan pada 2007. Polisi, katanya, akan menyasar siapa saja anggota yang terbukti menyembunyikan buronan, terlibat pendanaan, berangkat ke Suriah, ataupun mengikuti pelatihan militer Adira.
“Polisi melihat JI seperti kanker, 2003-2009 dikemo lalu sembuh. Setelah itu kelihatan kambuh lagi, 2013-2014 mereka bikin bengkel senjata, terus kirim orang ke Suriah. Makanya sekarang diterapi lagi sama polisi,” tukasnya.