Jokowi terbitkan aturan izinkan ormas keagamaan kelola tambang, aktivis kritik keras
2024.05.31
Jakarta
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menandatangani peraturan pemerintah yang memberikan izin pengelolaan pertambangan batu bara yang dicabut dari perusahaan kepada ormas keagamaan, langkah yang dikritik aktivis lingkungan yang menilai ormas terkait tidak memiliki kapasitas relevan terkait hal itu.
Menurut presiden yang menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara tersebut pada Kamis, kebijakan itu dimaksudkan sebagai penghargaan kepada kelompok agama yang telah berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sekitar 80 tahun yang lalu.
Namun demikian sejumlah pengamat pada Jumat (31/5) mengkritisi kebijakan tersebut dan menilai bahwa aturan itu sejatinya adalah langkah politik Jokowi sebagai tanda terima kasih kepada ormas-ormas keagamaan yang telah membantu kemenangan pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilu Februari lalu.
Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga menilai perubahan aturan untuk yang mengakomodasi ormas keagamaan untuk mengelola tambang itu bermuatan politis.
"Arahnya agak politis karena spesifik menyebut ormas keagamaan," kata Daymas kepada BenarNews.
Daymas menambahkan bahwa sampai saat ini tidak ada satu ormas keagamaan pun yang memiliki kualifikasi mengelola pertambangan, meskipun dalam aturan yang baru saja diteken, Jokowi mensyaratkan ormas dapat bekerja sama dengan perusahaan lain.
"Kalau ditanya yang berkualifikasi (mengelola tambang), ya, sekarang tidak ada," ujar Daymas, seraya menambahkan bahwa pemberian izin pengelolaan juga berpotensi menciptakan monopoli sektor pertambangan.
Bentuk “terima kasih” Jokowi
Perihal sama disampaikan pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada, Trubus Rahadiansyah, yang menilai perubahan aturan ini tak lebih dari bentuk "terima kasih" Jokowi kepada ormas keagamaan yang membantu kemenangan dalam kontestasi elektoral lalu.
"Memang tujuan ini untuk mengamankan pemerintahan ke depan. Ini seperti tanda terima kasih karena (pemilu presiden) kemarin satu putaran," kata Trubus kepada BenarNews.
Menurut Trubus, menyerahkan pengelolaan tambang kepada ormas justru hanya akan menambah carut-marut pengelolaan tambang di Indonesia. Pasalnya, ormas keagamaan didirikan untuk menggalang aspirasi masyarakat.
"Ormas didirikan bukan untuk mengelola sumber daya alam," katanya.
Trubus pun mengkhawatirkan penyerahan pengelolaan tambang kepada ormas akan memicu konflik horizontal. Dia mengandaikan jika Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah mendapat izin pengelolaan di wilayah berpenduduk mayoritas Kristen, atau sebaliknya.
"Nanti, atas nama agama orang bisa leluasa berbenturan," kata Trubus.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan keputusan pemerintah itu blunder.
“Ormas keagamaan juga tidak mempunyai kapasitas dalam eksplorasi dan eksploitasi. Saya juga yakin tidak mempunyai dana untuk investasi pertambangan, kata Fahmy kepada BenarNews.
Fahmi mengkhawatirkan jika izin tersebut diberikan, maka ormas keagamaan tersebut hanya akan menjadi semacam broker, yang kemungkinan izin pengelolaan tambangnya dialihkan ke perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan.
Sejumlah ormas keagamaan yang disebut akan mendapatkan manfaat dari pemberian izin pertambangan ini diantaranya adalah Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia, yang mengklaim memiliki sekitar 100 juta pengikut, dan Muhammadiyah, ormas Islam terbesar kedua yang disebut memiliki sekitar 60 juta anggota.
Meski para pimpinan kedua ormas tidak mengukuhkan keberpihakan mereka kepada kandidat tertentu dalam Pemilu Presiden 2024, warga NU dan Muhammadiyah di sejumlah daerah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran yang memenangkan sekitar 58 persen suara mengalahkan dua pasangan lainnya; Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mohammad Mahfud MD.
Addin Jauharuddin, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, organisasi kepemudaan di bawah NU, mengatakan pembagian izin pengelolaan tambang sebagai "ide bagus", seusai bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan di Jakarta pertengahn Mei seperti dikutip Kompas.
BenarNews berusaha mendapatkan respons dari petinggi NU namun belum mendapat jawaban.
Sementara Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, enggan berkomentar lebih jauh terkait perubahan aturan tersebut, dengan mengatakan, "Sampai sekarang belum ada pembicaraan dengan Muhammadiyah."
“Meningkatkan kesejahteraan rakyat”
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 itu merupakan revisi atas peraturan serupa yang diterbitkan tiga tahun sebelumnya. Peraturan baru ini salah satunya mengatur pemberian wilayah bekas perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara kepada ormas keagamaan.
Langkah ini adalah tindak lanjut dari kebijakan pemerintah pada 2022 untuk mencabut izin operasi atas jutaan hektar lahan yang awalnya ditujukan kepada perusahaan, namun tidak dikembangkan selama bertahun-tahun.
Izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan diberikan pemerintah dengan alasan untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat, demikian termaktub dalam salah satu pasal pada peraturan tersebut.
Beleid itu menyatakan bahwa ormas keagamaan yang mendapat izin pengelolaan juga harus menjadi pemilik saham mayoritas pada badan usaha pengelola tambang, serta izin pengelolaannya tidak dapat dialihkan tanpa persetujuan menteri.
Energy Watch mencatat total luasan lahan bekas perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara sekitar 1,6 juta hektare dan tersebar di sejumlah provinsi seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sumatra Selatan.
Gagasan pemberian izin usah pertambangan kepada ormas keagamaan pertama kali disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang juga Ketua Satuan Penataan Lahan dan Penataan Investasi, Bahlil Lahadalia, pada akhir April.
Bahlil beralasan ormas keagamaan memiliki jasa besar dalam kemerdekaan Indonesia sehingga layak diberikan izin mengelola pertambangan.
"Di saat Indonesia belum merdeka, memang siapa yang memerdekakan bangsa ini? Di saat agresi militer 1948 memang siapa yang membuat fatwa jihad? Konglomerat? Perusahaan?" terang Bahlil kala itu, tanpa merinci ormas yang dimaksud.