Rohaniawan Tuntut Polisi Ungkap Kasus Penembakan di Papua

Victor Mambor
2015.10.09
Jayapura
151009_ID_PAPUA_620.jpg Staf advokasi di Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiscan Papua, Frater Yulianus Pabika mengangkat kedua tangan ketika ditangkap polisi saat menggelar unjuk rasa di Abepura, Papua, 8 Oktober 2015
BeritaBenar

Sekelompok rohaniawan Katolik bersama aktifis pembela hak asasi manusia (HAM) menggelar aksi unjuk rasa di Abepura, Jayapura, Kamis 8 Oktober. Mereka menuntut polisi mengungkap kasus-kasus penembakan terhadap warga sipil yang terjadi di provinsi paling timur Indonesia itu.

Tapi aksi damai yang dilakukan puluhan pengunjuk rasa dibubarkan polisi. Beberapa rohaniawan malah sempat ditangkap, namun akhirnya dibebaskan.

“Ada enam biarawan yang ditangkap polisi, kemarin. Kami dimasukkan secara paksa ke dalam mobil Dalmas dan dibiarkan dalam mobil selama hampir dua jam,” tutur Frater Yulianus Pabika, staf advokasi Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiscan Papua, kepada BeritaBenar, Jumat.

Wakil Kepala Kepolisian Resort Jayapura Kota, Komisaris Polisi (Kompol) Albertus Andreana mengatakan, penangkapan para rohaniawan itu terjadi karena kesalahan komunikasi mengenai pemberitahuan aksi demonstrasi.

“Ini hanya miskomunikasi. Ada surat masuk tapi tidak menyertakan jumlah massa yang turun ada berapa. Saya secara pribadi meminta maaf kepada pihak pendemo atas apa yang telah terjadi. Sebagai polisi, kami akan melakukan pembenahan ke dalam atas kasus ini,” katanya.

10 pemuda tewas

Yulianus menyebutkan, aksi unjuk rasa mereka lakukan karena sudah terlalu banyak orang asli Papua, terutama pemuda, yang dibunuh aparat keamanan dalam setahun terakhir. Kasus pertama terjadi Desember lalu, dimana empat siswa tewas ditembak di Enarotali, Paniai.

“Pada 8 Desember 2014, belasan orang tertembak di Enarotali ketika menanyakan penganiayaan dua pemuda yang diduga dilakukan oknum anggota TNI,” jelas Yulianus.

Para korban tewas yang merupakan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah Yulian Yeimo, Simon Degei, Alpius Gogai, dan Alpius Youw. Mereka tewas setelah diterjang peluru tajam yang dilepaskan aparat.

Kemudian Juli lalu, seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yoteni Agapa tewas ditembak aparat keamanan di Ugapuga, Dogiyai. Sedangkan, Melianus Mote terluka akibat tikaman sangkur di tangannya.

Selanjutnya, 17 Juli 2015 di Tolikara ketika insiden salat Ied Idul Fitri, Endi Wanimbo (15) tewas tertembak dan belasan orang lainnya terluka. Sebagian besar korban luka adalah anak-anak berusia sekolah.

Yulianus menambahkan, enam anggota Brimob menyerang seorang pemuda hingga tewas, awal Agustus.Sebelum ditembak, korban sempat mengalami penganiayaan.

Insiden terbaru adalah aksi penembakan di Koperapoka, Timika, akhir Agustus yang menewaskan dua pemuda, yakni Herman Mairimau dan Yulianus Okoware serta melukai lima lainnya.

Kemudian, penembakan yang terjadi di Gorong-Gorong sehingga menewaskan Kaleb Bagau dan melukai Fernando Saborefek. Keduanya adalah pelajar SMK di Mimika.

“10 pemuda asli Papua tewas ditembak dalam waktu 10 bulan. Ini keprihatinan kami sehingga kami berunjuk rasa untuk mendesak polisi mengusut tuntas berbagai kasus itu. Tapi polisi malah membubarkan aksi damai dan menahan kami,” kata Yulianus.

“Bahkan, polisi mencekik dan menodong wartawan yang meliput aksi damai kami.”

Dilapor ke pelapor khusus PBB

Budi Tjahjono, seorang advokat Franciscans International berbasis di Geneva, Swiss, yang sedang berada di Jakarta, saat dihubungi BeritaBenar mengatakan kasus-kasus penembakan anak muda Papua telah disampaikan 17 organisasi HAM berbasis di Papua, Jakarta, Eropa dan Amerika Serikat (AS) kepada Mr. Christof Heyns, pelapor Khusus PBB untuk pembunuhan di luar hukum.

“Pada 30 September lalu, kami melaporkan antara 2006 hingga September 2015, ada sembilan siswa dibunuh polisi dan militer Indonesia di Papua. Kami juga mencatat, semua kasus eksekusi ekstra-yudisial di Papua dan Papua Barat dalam dua tahun terakhir korbannya adalah orang asli Papua,” jelas Budi.

Ia menambahkan, dari berbagai laporan lembaga hak asasi manusia diduga “rasisme menjadi praktik sehari-hari aparat keamanan” di Papua. Tapi tidak ada satupun kasus kekerasan diproses hukum sehingga para pelaku masih bebas berkeliaran.

Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay, secara terpisah menyebutkan sebagian anak muda di wilayah adatnya ditembak tanpa alasan yang jelas.

“Mereka tidak ada kaitannya dengan aktifitas separatisme seperti dituduhkan aparat keamanan kepada masyarakat kami,” ujarnya kepada BeritaBenar, Jumat sore.

Membela diri

Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw, ketika dikonfirmasi wartawan terkait kasus-kasus penembakan yang diduga dilakukan aparat keamanan menyatakan pihaknya membela diri. Polisi juga telah menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban.

“Anggota polisi hanya membela diri dan melakukan sesuai prosedur. Seharusnya hal tersebut tidak terjadi, tapi kenyataannya sudah terjadi sehingga harus ditangani secara serius karena dampaknya akan meluas,” kata Paulus.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.