Rusuh Protes Seleksi ASN, Polisi: 3 Warga Sipil Tertembak
2020.10.02
Jayapura & Jakarta

Tiga warga sipil Papua pada Jumat (2/10) dirawat di rumah sakit karena tertembak polisi dalam kerusuhan masa memprotes hasil seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Keerom, Papua, yang dinilai tidak memprioritaskan penerimaan warga lokal, dan berujung pada pembakaran dua kantor pemerintahan, demikian laporan kepolisian setempat.
Namun demikian, tokoh pemuda Keerom yang turut dalam unjuk rasa itu, Karel Maunda, mengatakan bahwa salah satu dari ketiganya masih tidak diketahui keberadaannya.
Maunda menyebut tiga orang yang tertembak itu adalah Obet Swo dengan tembakan di kepala dan kaki, Robert May yang tertembak di perut, dan Alan Swo dengan luka tembak di kaki. Pihak keluarga Obet dan Robert mengonfirmasi keduanya menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara di Kota Jayapura.
“(Mereka berdua) dijaga aparat, sehingga (keluarga) tidak bisa bertemu. Sementara, Alan Swo (belum bisa) dipastikan keberadaannya, karena tidak ada di rumah sakit,” kata Maunda, Jumat.
Juru Bicara Polda Papua, AKBP Ahmad Mustofa Kamal, pada Jumat mengatakan tembakan yang dikeluarkan aparat terjadi karena aksi protes berakhir ricuh karena massa melempari kaca bangunan kantor bupati dengan batu dan lalu membakar dua kantor pemerintahan.
Kamal membenarkan adanya tiga orang yang dirawat di RS Bhayangkara karena luka tembak dari peluru karet yang dilepaskan aparat sebagai bentuk peringatan. “Ketiganya berada dalam massa aksi yang melakukan aksi anarkis pembakaran kantor,” kata Kamal.
Massa yang terlibat dalam pembakaran dan perusakan kantor itu berjumlah sekitar 250 orang. Sebagian besar mereka adalah peserta tes ASN yang namanya tidak tercantum dalam hasil penerimaan yang tertunda selama empat bulan.
Para pengunjuk rasa menilai hasil seleksi itu tidak memenuhi kuota orang asli Papua yang harus diprioritaskan dalam penerimaan ASN, karena jumlah yang dinyatakan lulus kurang dari 80 persen.
“Kami kecewa karena polisi tidak memberikan penembakan peringatan, tetapi langsung arahkan tembakan. Tiga pemuda dari Keerom kena timah panas,” kata Maunda.
Sementara itu, Polres Keerom mengatakan sebanyak enam orang yang diduga sebagai provokator telah diamankan dan saat ini masih menjalani proses pemeriksaan di kantor polisi.
Peresmian TGPF Intan Jaya
Pada hari yang sama dari Jakarta dilaporkan bahwa pemerintah mengumumkan 30 nama anggota tim investigasi penembakan yang menewaskan dua warga sipil, termasuk seorang pendeta, dan dua anggota militer di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada pertengahan September.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD akan menjadi penanggungjawab dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya yang bakal bertugas paling cepat selama dua minggu ini, sebut Keputusan Menkopolhukam.
“TGPF Intan Jaya bertugas dan berwenang mencari fakta-fakta atas peristiwa tewasnya seorang masyarakat sipil bernama Badawi dan tewasnya dua anggota TNI yaitu Serka Sahlan dan Pratu Dwi Akbar, serta seorang Pendeta Yeremia Zanambani yang terjadi antara tanggal 16 sampai 20 September 2020,” kata Mahfud dalam telekonferensi.
Polri dan TNI menuduh kelompok separatis bersenjata sebagai oknum yang bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap Yeremia, sementara Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) mengatakan penembakan dilakukan oleh TNI.
Lebih dari setengah komposisi tim pencari fakta tersebut diisi oleh anggota yang berasal dari unsur pemerintah seperti Kemenkopolhukam, Badan Intelijen Negara (BIN), Kepolisian, TNI, Kejaksaan Agung, serta dua lembaga non-struktural yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sisanya adalah kelompok sipil yang terdiri dari akademisi, tokoh pemuda Papua, tokoh masyarakat Papua, dan perwakilan Gereja Kemah Injil (GKI) Teologi di Timika.
Tanpa Komnas HAM
Tidak ditemukan perwakilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam susunan TGPF Intan Jaya seperti yang direkomendasikan sejumlah aktivis HAM sebelumnya.
Terkait hal tersebut, Mahfud mengatakan pihaknya telah mendiskusikan perihal tersebut kepada Komnas HAM.
“Sesudah dipertimbangkan masak-masak, tidak bagus juga kalau kita bergabung dengan Komnas HAM. Nanti dikira Komnas HAM dikooptasi oleh pemerintah atau dikira juga pemerintah sudah dikooptasi Komnas HAM,” kata Mahfud.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan pihaknya menghormati keputusan yang diambil pemerintah terkait pembentukan TGPF Intan Jaya dan menyebut tidak mempermasalahkan perihal tidak dilibatkannya Komnas HAM dalam tim tersebut.
“Komnas sebagai lembaga negara independen sudah mulai melakukan pemantauan dan penyelidikan setelah peristiwa terjadi, jadi tidak ada masalah dengan keberadaan tim gabungan tersebut,” kata Beka kepada BenarNews, Jumat, “nanti hasil Komnas akan kami laporkan ke Presiden untuk ditindaklanjuti,”
Ini bukan pertama kali pemerintah melakukan penyelidikan yang terpisah dengan Komnas HAM dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan di Papua.
Pada 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan dirinya telah menugaskan jajarannya untuk membentuk tim investigasi kasus penembakan yang menewaskan empat remaja di pedalaman Paniai, Papua.
Sementara, pada saat yang bersamaan, Komnas HAM juga tengah melakukan investigasi untuk kasus yang terjadi dua bulan pasca-pelantikan Jokowi sebagai presiden tersebut.
Pertengahan Februari 2020, Komnas HAM mengumumkan peristiwa Paniai sebagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh oknum TNI dan mendesak aparat keamanan untuk segera membawa kasus ini ke pengadilan.
Namun, langkah tersebut tak bisa dilakukan lantaran hasil penyelidikan tim investigasi pemerintah dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dinilai belum cukup bukti.
Pesimis
Pembentukan TGPF Intan Jaya oleh pemerintah direspons keraguan oleh berbagai kalangan di Papua.
“Saya yakin, masyarakat Papua juga pasti tidak yakin tim investigasi ini bisa mengungkapkan secara adil, transparan, dan jujur. Karena berbagai peristiwa dan juga masalah yang pernah terjadi tidak pernah diungkap,” kata Pendeta Andrikus Mofu, Ketua Sinode GKI Papua dan tokoh agama di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, dalam diskusi daring dengan Amnesty Internasional Indonesia, Jumat.
Pesimisme serupa juga disampaikan Pendeta Dora Balubun dari Sinode GKI Papua, yang menyampaikan bahwa kehadiran perwakilan TNI dalam tim tersebut membuatnya semakin yakin bahwa investigasi yang dilakukan tidak akan condong kepada keadilan untuk korban.
Menurut keterangan saksi mata kepada perwakilan tokoh gereja di Distrik Hitadipa, pelaku penembakan terhadap Yeremia diyakini anggota TNI yang menghuni di pos militer di wilayah sekitar sembilan bulan sebelum peristiwa terjadi, kata Dora.
“Kami tidak pernah optimis dengan apa yang diputuskan pemerintah, apalagi kalau di dalam tim itu ada aparat keamanan. Ya bagaimana mungkin ‘kita yang melakukan, kita yang menginvestigasi diri sendiri’,” kata Dora dalam diskusi dengan Amnesty.
Yorrys Raweyai, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Papua, mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan masalah di Papua secara komprehensif.
“Perlu ada komitmen, bisa tidak ini jadi kejadian terakhir, tidak terulang lagi?” ujarnya.
Data yang dimiliki Amnesty International mencatat, sepanjang periode 2018 hingga 2020, telah terjadi 54 insiden kekerasan yang berujung kematian atas 94 orang asli Papua dan dua orang non-Papua.
Dari insiden tersebut, ada tujuh kasus yang diproses di kepolisian dan pengadilan militer, dua kasus dibawa ke pengadilan pidana umum, 14 kasus diinvestigasi namun hasilnya tidak dimuat ke publik, delapan dalam proses verifikasi, dan sisanya tidak diinvestigasi.