Indonesia Protes Isu Papua Masuk PIF, Satu Polisi Tewas

Pemerintah mengecam isu Papua dalam Forum Kepulauan Pasifik di Tuvalu, sementara seorang polisi tewas setelah disandera di propinsi itu.
Tia Asmara & Victor Mambor
2019.08.12
Jakarta & Jayapura
190812_ID_Papua_1000.jpg Para mahasiswa Papua berpartisipasi dalam sebuah demonstrasi mengecam pemerintah di Surabaya, 1 Juli 2019.
AFP

Pemerintah Indonesia mengecam Vanuatu karena memasukkan tokoh Papua merdeka, Benny Wenda, ke dalam delegasinya dalam pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF), sementara seorang polisi ditemukan tewas dalam kekerasan terbaru di provinsi paling timur Indonesia itu.

Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Ahmad Musthofa Kamal, mengungkapkan Briptu Heidar ditemukan tewas, Senin petang, setelah beberapa jam sebelumnya disandera kelompok tidak dikenal di Kampung Usir, Kabupaten Puncak.

Kamal menambahkan bahwa korban yang dibonceng rekannya, Bripka Alfonso Wakum, sedang melakukan penyelidikan di daerah itu, tiba-tiba dipanggil seseorang.

“Yang pertama panggil, dia kenal. Saat sedang ngobrol-ngobrol, ada lima sampai delapan orang menyergap dia dan membawanya,” jelas Kamal saat dihubungi BeritaBenar.

Alfonso yang menunggu di sepeda motor dan melihat insiden itu langsung melarikan diri dan melaporkan kejadian yang menimpa Heidar ke Polsek Ilaga di kabupaten itu.

Menurut Kamal, usai insiden itu, sejumlah pihak, termasuk Bupati Puncak, melakukan komunikasi dengan kelompok-kelompok yang ada di daerah itu agar bisa membebaskan Heidar.

“Namun pada pukul 17:30 waktu setempat, korban ditemukan sudah tidak bernyawa lagi,” katanya.

Kamal mengaku pihaknya belum tahu kelompok mana yang melakukan penyergapan dan pembunuhan terhadap korban.

Kekerasan makin meningkat di Papua dalam beberapa bulan terakhir setelah kelompok bersenjata membunuh belasan pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun jalan Trans Papua, Desember tahun lalu.

Merujuk data Tim Solidaritas untuk Papua, sebelum insiden menimpa Heidar, sedikitnya 18 anggota TNI dan Polri telah menjadi korban.

Protes Vanuatu

Sementara itu, pemerintah Indonesia menyatakan keberatan terhadap rencana adanya kampanye Papua merdeka yang dilaporkan masuk dalam agenda PIF di Tuvalu, sebuah negara kepulauan di kawasan Pasifik Selatan, pada 13-16 Agustus 2019.

“Kami sudah sampaikan protes melalui duta besar di Fiji pada minggu lalu, baik tertulis maupun bertemu langsung dengan Sekjen PIF di Suva, Fiji, minggu lalu,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, ketika dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Senin, 12 Agustus 2019.

Dalam pertemuan PIF, Indonesia bukan anggota melainkan mitra dialog.

Menurut Faizasyah, pemerintah Indonesia sangat menentang tindakan Vanuatu karena membela dan mengikutsertakan Benny, orang yang memperjuangkan pemisahan Papua dari Indonesia, dalam delegasinya.

“Dalam hubungan antar-negara, mendukung pemisahan satu negara itu bertentangan dengan prinsip dari PBB,” imbuhnya.

Dia menambahkan, tindakan Vanuatu sama artinya dengan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Faizasyah menegaskan posisi Indonesia tegas terhadap segala bentuk separatisme dan tidak akan mundur terhadap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ini merupakan tindakan yang tidak bersahabat. Kami tidak bisa menerima apa yang dilakukan Vanuatu dan ini merupakan sikap permusuhan terhadap negara Indonesia,” ujarnya.

Benny yang dikenal sebagai tokoh kemerdekaan Papua dikabarkan akan menjadi pembicara dalam salah satu agenda PIF, sebagai perwakilan delegasi pemerintah Vanuatu.

Namun, Faizasyah mengaku bahwa hingga saat ini belum ada tanggapan apapun dari Vanuatu terhadap protes yang diajukan Indonesia sejak minggu lalu.

“Kalau kita lihat namanya masih tercantum dalam delegasi Vanuatu dan agenda itu masih ada. Yang berarti sikap (Vanuatu) sudah kita ketahui kalau begitu (tidak direspons) dan terus terang kami keberatan,” katanya.

Sejak meninggalkan Indonesia pada 1990-an, menurut Faizasyah, Benny sudah terputus informasi dengan realitas apa yang ada di Papua.

"Dia sudah disconnect dengan Papua. Bagaimana pemerintah lakukan banyak pembangunan dan telah ada pemekaran dan kondisi riil sudah berubah dengan apa yang selama ini dikampanyekannya sudah sangat berbeda," katanya.

Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia menyatakan dukungan dengan tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua.

“Australia tidak akan mendukung upaya yang melemahkan kedaulatan Indonesia atas Papua dalam forum apapun dan tidak akan mengaitkan dirinya dengan komunike PIF mana pun untuk hal tersebut,” demikian pernyataan resmi yang diterima BeritaBenar melalui Kedubes Australia.

Benny yang dihubungi BeritaBenar menyatakan, karena kesibukannya dia baru bersedia diwawancara pada Selasa.

Dikutip dari laman The Guardian disebutkan bahwa Benny akan mengampanyekan lahirnya resolusi Majelis Umum PBB agar meninjau kembali penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1969 yang memasukkan Papua sebagai bagian Indonesia.

Sejumlah pihak menyebut Pepera sebagai tidak demokratis, mengatakan bahwa 1025 rakyat yang berpartisipasi ketika itu telah ditentukan oleh militer yang memaksa mereka untuk bergabung dengan Indonesia.

“Kami tidak pernah diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri. Kami tidak menginginkan kekerasan, kami ingin mendapatkan hak kami secara damai, untuk menentukan nasib kami, masa depan kami. Biarkan kami memilih,” kata Wenda seperti dikutip di The Guardian.

Benny yang ditunjuk sebagai pimpinan Persatuan Gerakan Kemerdekaan Papua Barat (ULMWP) – organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua, pada 2017 – kerap bikin “geram” pemerintah Indonesia.

Juli lalu, misalnya, saat Dewan Kota Oxford di Inggris memberikan penghargaan Oxford Freedom of the City kepada Benny, pemerintah Indonesia mengecam keras.

Dalam pernyataannya kepada BeritaBenar, ketika itu Benny menyebutkan penghargaan tersebut bukan hanya kepadanya, tetapi bagi rakyat Papua Barat yang sedang berjuang untuk bebas sebagai bangsa berdaulat.

“Ini pengakuan terhadap perjuangan rakyat West Papua, bangsa Papua. Saya hanya pembawa pesan saja. Indonesia tidak bisa lagi mengatakan isu Papua sebagai isu domestik,” katanya.

“Selama 20 tahun lebih saya tinggal di Oxford, kota ini bisa melihat kampanye pembebasan West Papua yang saya lakukan dengan cara damai, tanpa kekerasan.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.