Gubernur Papua: Tak Ada Freeport, Orang Papua Tak Akan Mati
2015.10.26
Jayapura
Dalam lawatannya ke Amerika Serikat 25-29 Oktober yang bertujuan mengundang lebih banyak investor ini, Presiden Joko Widodo, para menteri dan pejabatnya di bidang ekonomi menurut jadwal resmi akan bertemu dengan para pengusaha Amerika, termasuk dari pihak Freeport-McMoran, yang berkepentingan untuk memperpanjang kontrak karya setelah tahun 2021.
Namun pada hari Senin Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menyangkal Presiden akan bertemu dengan perwakilan dari perusahaan itu dalam lawatannya ini.
“Yang beredar selama ini di media adalah Presiden akan mengadakan makan pagi dengan Freeport, saya ingin sampaikan itu tidak benar,” kata Retno di Washington, seperti dikutip dalam media Solopos.
Perusahaan Amerika itu, yang mengoperasikan tambang emas terbesar dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar dunia di Papua, mendorong agar kontrak karya segera diperpanjang, walaupun aturan mengatakan bahwa kontrak karya baru bisa diputuskan lanjut dua tahun sebelum berakhir.
Namun sebelum berangkat ke Amerika Jokowi memberi sinyal bahwa perpanjangan baru diperbolehkan dua tahun sebelum kontrak habis, berarti tahun 2019.
Tak ada niat bangun Papua
Di tengah hiruk pikuk perdebatan yang masih hangat mengenai perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) di Mimika, Papua, suara dari Papua jarang terdengar.
Namun bagi orang Papua, perpanjangan Kontrak PTFI bukan semata-mata soal waktu. Gubernur Papua, Lukas Enembe, meragukan niat PTFI untuk membangun Papua.
“Kami sudah ajukan 17 poin usulan yang diajukan Pemerintah Provinsi Papua dalam renegoisasi kontrak karya dengan Freeport. Sebelas dari Pemerintah Papua dan 6 poin dari Pemerintah Pusat. Keterlibatan Freeport dalam membangun infrastruktur di Papua, peningkatan pembayaran royalti dan pajak kepada pemerintah provinsi, divestasi saham, isu lingkungan dan prioritas tenaga kerja asal Papua, itu prioritas kami,” kata Enembe kepada BeritaBenar, 17 Oktober lalu.
Dia menuding sampai saat ini PTFI tak punya niat membangun Papua. Ia memberikan contoh Kota Timika yang masih belum memiliki infrastruktur yang layak.
“Freeport sudah beroperasi sejak tahun 1967, tapi bagaimana kota Timika saat ini dan bagaimana Papua saat ini? Infrastruktur di Timika masih minim. Pekerja Orang Asli Papua masih belum sebanding dengan pekerja dari luar Papua. Kalau masih terus seperti ini, lebih baik Freeport angkat kaki saja dari Papua. Tak ada Freeport, orang Papua tak akan mati,” ujar Gubernur Enembe.
Pihak berwenang setempat memperkirakan hanya ada 30 persen pegawai perusahaan tersebut yang berasal dari Papua, sementara sisanya adalah pekerja yang direkrut dari luar Papua.
Enembe, lebih lanjut merujuk pada sikap PTFI yang menurutnya menghindari pajak air permukaan. Setiap tahun, pajak air permukaan yang harus dibayar oleh Freeport adalah sekitar 360 miliar rupiah. Kenyataannya, hingga saat ini menurutnya PTFI membayar sekitar 1,5 miliar rupiah per tahun.
“Freeport banyak memanfaatkan rotasi pemerintahan setiap lima tahun. Dan komitmen yang dibuat antara pemerintah dan Freeport dilanggar. Dan pemerintah tidak mau tahu. Tetapi yang jelas, setiap tahun harusnya Freeport bayar 360 miliar,” katanya.
Portsite, pelabuhan logistik dan pengapalan konsentrat PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua, yang berseberangan dengan Pulau Karaka. [BeritaBenar]
Gubernur Enembe mengatakan pemerintahnya juga mendukung langkah Pemerintah Kabupaten Mimika yang menuntut PTFI membayar ganti rugi hak ulayat suku-suku di sekitar pertambangan perusahaan itu sebesar 3,6 miliar dolar Amerika atau setara Rp 481 triliun.
“Itu tuntutan masyarakat karena Freeport menghabiskan gunung dan isinya sejak beroperasi, tapi tak pernah memberikan manfaat yang setimpal untuk masyarakat di situ,” ujar Enembe.
Perjanjian politik, bukan perjanjian bisnis
Musa Sombuk, Dosen Universitas Negeri Papua dan kandidat doktor di Australia National University menilai masalah pajak, pembagian keuntungan dan masalah lain yang sudah berlangsung puluhan tahun ini dikarenakan kontrak karya PTFI adalah “perjanjian politik” dengan pemerintah, bukan perjanjian ekonomi.
“Waktu pertama beroperasi, jelas Indonesia butuh uang. Sekarang, kontrak Freeport tak ada transparansi, ekualiti, dan profit sharing yang adil. Tanah Freeport itu juga didapat dengan berbagai cara yang licik,” kata Musa.
Ketika dihubungi BeritaBenar, juru bicara PTFI, Riza Pratama, menolak berkomentar mengenai proses renegosiasi dengan pemerintah pusat, namun dia membantah bahwa tanah yang digunakan PTFI diambil dengan cara yang tidak benar.
Dia mengatakan masyarakat adat di area PTFI telah mengizinkan penggunaan dan melepaskan hak ulayat mereka sejak PTFI mulai beroperasi. PTFI, menurut Riza, juga telah memberikan ganti rugi dan terus melanjutkan program pengembangan bagi masyarakat adat sekitar.
Sombuk, yang mengaku terlibat audit PTFI pada tahun 1997, mengatakan perusahaan itu tidak hanya mengambil hasil tembaga dan emas, tapi juga tailing, pasir limbah yang mengandung bijih besi, yang mencapai 30 miliar ton. Beberapa gram tailing tersebut menurutnya bisa didapatkan 1 gram emas 23 karat.
“Sekarang ada 30 miliar ton tailing dan pastinya ada emas disitu … Kemana emas berkilo-kilo dari tailing ini?” tanya Sombuk.
“Bayangkan saja, Freeport seharusnya menggunakan dump truck untuk membuang tailing. Tapi mereka hanya mengalirkan tailing begitu saja di sungai Aijkwa yang tentunya punya resiko dan dampak terhadap kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan,” ungkap Sombuk.
Menurut Sombuk, PTFI bisa bertahan hingga saat ini karena memang dibiarkan dan diberi fasilitas oleh pemerintah, baik lokal maupun provinsi. Aturan yang tidak jelas dan sikap pemerintah dan perusahaan yang tidak transparan, membuat penegakan aturan ini juga rentan praktik korupsi.
"Izin-izin lokal ini entah punya konsekuensi pembiayaan atau tidak, kita tidak pernah tahu. Kalaupun ada charge nya, seperti misalnya buang limbah di Sungai Aijkwa itu, dibayar ke siapa dan berapa besar?" tanya Sombuk.