Peringatan survei tentang proyek raksasa di Papua tampaknya diabaikan
2024.11.13
Rencana Indonesia untuk mengubah lebih dari 5 juta hektare lahan konservasi dan tanah adat menjadi lahan pertanian diperkirakan akan menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang, menciptakan konflik, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca, demikian temuan dari studi kelayakan untuk proyek raksasa di wilayah Papua itu.
Kajian setebal 96 halaman yang ditinjau oleh Radio Free Asia ini disusun oleh Sucofindo, perusahaan inspeksi dan survei lahan milik pemerintah Indonesia. Bertanggal 4 Juli, dokumen tersebut menganalisis risiko dan manfaat dari perkebunan tebu dan padi di Kabupaten Merauke yang berbatasan dengan Papua Nugini dan membahas studi kelayakan yang dijadwalkan selesai pada pertengahan Agustus.
Meskipun dipenuhi dengan peringatan bahwa analisis dampak lingkungan yang “komprehensif” harus dilakukan sebelum membuka lahan, proses kelayakan tersebut tampaknya hanya sekedar formalitas. Sucofindo tidak merespons pertanyaan dari RFA, layanan berita yang terafiliasi dengan BenarNews, terkait dokumen tersebut.
Bahkan sebelum studi kelayakan selesai, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menghadiri upacara di Merauke pada 23 Juli yang menandai penanaman tebu pertama di lahan hutan yang telah dibersihkan untuk proyek lumbung pangan, menurut pernyataan pemerintah. Masa jabatan Jokowi selama satu dekade sebagai presiden berakhir bulan lalu.
Pada akhir Juli, puluhan ekskavator yang dikirim dengan kapal telah dibongkar di Distrik Ilyawab, Merauke, menghancurkan desa-desa serta membersihkan hutan dan lahan basah untuk persawahan, sebagaimana dilaporkan oleh organisasi masyarakat sipil Pusaka.
Hipolitus Wangge, seorang peneliti politik Indonesia di Australian National University, mengatakan kepada RFA bahwa tidak ada yang baru tentang rencana pertanian tersebut. Namun, ia menjelaskan bahwa dokumen itu menegaskan tidak adanya tanggapan spesifik dari pemerintah tentang bagaimana mereka menangani kepentingan masyarakat adat dan dampak yang ditimbulkannya.
Rencana untuk mengubah hingga 5,7 juta hektare hutan, lahan basah, dan sabana menjadi ladang padi, perkebunan tebu, dan infrastruktur terkait di wilayah Papua yang rawan konflik merupakan bagian dari ambisi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dan energi. Upaya-upaya sebelumnya di negara berpenduduk 270 juta orang ini tidak memenuhi harapan.
Sejalan dengan pernyataan pemerintah dan militer, Sucofindo menyebutkan bahwa semakin ekstremnya perubahan iklim dan risiko konflik internasional menjadi alasan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Secara keseluruhan, proyek tebu dan padi ini mencakup setidaknya seperlima dari area seluas 10.000 km persegi (38.600 mil persegi) di dataran rendah yang dikenal sebagai TransFly, yang melintasi Indonesia dan Papua Nugini. Kawasan ini disebut oleh para konservasionis sebagai harta konservasi yang sudah terancam.
Militer Indonesia memegang peran utama dalam rencana pengembangan lahan padi seluas 2,47 juta hektare, sementara pemerintah telah mengajak para investor untuk proyek tebu dan bioetanol terkait.
Potensi konflik dengan masyarakat adat Papua atau kerusakan lingkungan yang signifikan dan berkepanjangan meliputi sekitar 80% area yang menjadi target pengembangan, menurut analisis Sucofindo.
“Isu dan tantangan” dalam proyek tersebut, menurut Sucofindo, meliputi “deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan habitat flora dan fauna, serta kepunahan spesies.”
Laporan ini memperingatkan tentang degradasi tanah jangka panjang dan erosi serta pencemaran air dan berkurangnya ketersediaan air selama musim kemarau akibat deforestasi.
Sucofindo menyebutkan bahwa komunitas adat di Merauke bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka dan konversi lahan akan mengancam kelangsungan budaya mereka. Peringatan tentang risiko konflik muncul berulang kali, yang di antaranya bisa disebabkan oleh penggusuran dan relokasi.
“Penggusuran berpotensi mengacaukan kondisi sosial dan ekonomi,” kata Sucofindo dalam kajiannya.
Jika seluruh area yang direncanakan untuk dikembangkan dibuka, hal itu akan menambah sekitar 392 juta ton karbon ke atmosfer secara bersih, menurut Sucofindo.
Angka itu setara dengan setengah dari emisi tambahan yang dihasilkan oleh bencana kebakaran di Indonesia pada 2015, saat ratusan ribu hektare lahan gambut yang dikeringkan untuk pulp dan perkebunan kelapa sawit terbakar selama berbulan-bulan.
Kontribusi Indonesia terhadap emisi yang meningkatkan suhu rata-rata global diperburuk secara signifikan oleh kombinasi kebakaran lahan gambut dan deforestasi. Karbon yang tersimpan di hutan tropis Indonesia yang sangat penting secara global dilepaskan ketika hutan tersebut ditebang untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, dan lainnya.
Kontribusi Indonesia terhadap emisi yang meningkatkan suhu global rata-rata diperburuk secara signifikan oleh kombinasi kebakaran lahan gambut dan penggundulan hutan. Karbon yang tersimpan di hutan tropis Indonesia yang sangat penting secara global dilepaskan ketika hutan itu ditebang untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, dan lainnya.
Dalam pidatonya pada hari Senin di konferensi iklim tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, utusan dari Indonesia untuk iklim, Hashim Djojohadikusumo, yang juga adalah adik dari Presiden Prabowo Subianto, mengatakan pemerintahan Prabowo memiliki tujuan jangka panjang untuk memulihkan hutan hingga 31,3 juta hektar yang rusak parah akibat kebakaran pada tahun 2015 dan kebakaran besar sebelumnya pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Pemerintah Indonesia telah membuat janji yang sama pada tahun-tahun sebelumnya termasuk dalam laporan kemajuan resminya tentang kontribusi nasionalnya untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris terkait menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat Celsius.
“Presiden Prabowo pada prinsipnya telah menyetujui program reboisasi besar-besaran terhadap 12,7 juta hektar lahan tersebut dengan keanekaragaman hayati,” kata Hashim Djojohadikusumo dalam pidato yang disiarkan langsung dari Baku, Azerbaijan. “Kami akan segera memulai program ini.”
Pemerintah Prabowo telah mengumumkan rencana untuk mendorong orang luar Papua bertransmigrasi ke Merauke dan wilayah lain di wilayah paling timur Indonesia, demikian dilaporkan media.
Para kritikus mengatakan perpindahan penduduk dalam skala besar seperti itu akan semakin meminggirkan penduduk asli Papua di tanah mereka sendiri dan memperburuk konflik yang telah terjadi sejak Indonesia menguasai wilayah tersebut pada akhir tahun 1960-an.