Papua Nugini, Indonesia ratifikasi perjanjian pertahanan, perluas kerja sama keamanan perbatasan
2024.02.27
Port Moresby
Indonesia dan Papua Nugini pada Selasa menandatangani kerja sama pertahanan untuk memperluas kerja sama keamanan kedua negara bertetangga tersebut, termasuk patroli perbatasan.
Menteri Luar Negeri Papua Nugini Justin Tkatchenko dan Duta Besar RI untuk Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Andriana Supandy, mengumumkan ratifikasi perjanjian yang sempat terhenti sejak ditandatangani satu dekade lalu tersebut pada konferensi pers di Port Moresby.
“Patroli perbatasan bersama dan berbagai jenis kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Papua Nugini tentu saja akan menjadi bagian dari mekanisme keamanan yang terus berkembang,” kata Tkatchenko kepada wartawan.
“Ini akan sangat baik melihat kerja sama saat ini dan di masa depan, di mana pasukan Indonesia dan Papua Nugini bekerja sama secara erat, berdampingan, di perbatasan kita, di dalam negara kita, di dalam negara mereka, berbagi pengetahuan, pelatihan, [dan] banyak hal lainnya juga," kata dia.
Indonesia dan Papua Nugini memiliki perbatasan sepanjang 760 kilometer yang membelah tengah pulau New Guinea. Garis pada peta adalah produk dari era kolonial, yang membagi pulau Melanesia menjadi pemerintahan Belanda, Jerman dan Inggris, dan membagi masyarakat adat yang secara tradisional diorganisir berdasarkan hubungan kekerabatan.
“Indonesia berharap perjanjian ini akan menjamin kawasan Pasifik yang damai dan stabil serta memperkuat hubungan kita dengan Papua Nugini,” kata Supandy.
Tkatchenko, ketika ditanya apakah Papua Nugini dapat terlibat dalam mendukung operasi militer Indonesia melawan pejuang kemerdekaan Papua, mengatakan pemerintah menghormati kedaulatan Indonesia dan tidak mencampuri urusan internal Indonesia.
Indonesia, yang berpenduduk 270 juta jiwa, merupakan kekuatan besar di Asia Tenggara yang menjangkau kawasan Pasifik Selatan dan jauh melampaui Papua Nugini dalam hal populasi, ukuran ekonomi, dan kekuatan militer.
Sebagian kecil masyarakat Papua di provinsi paling timur Indonesia melakukan gerakan separatisme melawan Jakarta sejak pemerintah Indonesia mengambil alih wilayah tersebut dari Belanda pada 1960-an.
Papua Nugini, negara kepulauan Pasifik terpadat dengan perkiraan populasi 12 juta orang, telah bercita-cita selama beberapa dekade untuk memodernisasi dan memperluas kekuatan pertahanannya yang relatif kecil dengan sumber dana yang kurang memadai.
Papua Nugini menandatangani pakta pertahanan dengan Amerika Serikat tahun lalu yang merupakan bagian dari respons AS atas tindakan ofensif China terhadap negara-negara kepulauan Pasifik, sekaligus memanfaatkan kerja sama tersebut untuk meningkatkan kapasitas pasukan Papua Nugini melalui kolaborasi dengan militer canggih terbesar di dunia.
Pada Desember lalu, Papua Nugini menandatangani perjanjian keamanan dengan Australia yang mencakup bantuan untuk meningkatkan jumlah polisi dan bertujuan membantu negara Pasifik tersebut memperbaiki pemahamannya yang lemah mengenai hukum dan ketertiban.
Setidaknya 49 orang tewas dalam kekerasan suku di provinsi Enga awal bulan ini, yang terjadi setelah kerusuhan dan penjarahan di ibu kota Port Moresby pada Januari.
Tkatchenko mengatakan kerja sama pertahanan dengan Indonesia sangat penting karena adanya kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas Papua Nugini dalam mengendalikan perbatasan.
“Jadi kita mempunyai sistem keamanan lebih baik ketika orang berimigrasi dan melakukan perjalanan melalui perbatasan – dan bagaimana kita mengatasinya, bagaimana kita memperbaikinya, bagaimana kita memantaunya, bagaimana kita mengamankannya dan sebagainya. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Tkatchenko.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo, dalam kunjungan kenegaraan ke Papua Nugini tahun lalu, berjanji akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan perdagangan perbatasan yang telah terhambat selama beberapa dekade akibat konflik Indonesia dengan kelompok separatis di provinsi Papua.