Triliunan Pendapatan Papua Lenyap Akibat Pencurian Kayu
2018.03.12
Jayapura

Triliunan rupiah potensi pendapatan daerah Papua diduga lenyap akibat pencurian kayu yang marak terjadi di wilayah paling timur Indonesia itu.
“Kami perkirakan dalam lima tahun belakangan, kerugian Papua akibat pencurian kayu mencapai Rp 25 triliun,” tutur Ruben Magai, anggota Komisi I Bidang Pemerintahan dan Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), kepada BeritaBenar, Senin, 12 Maret 2018.
Dia menambahkan, kayu merbau atau kayu besi adalah yang paling banyak dicuri karena harganya bisa mencapai Rp 470 ribu perlembar ukuran lebar tebal 6 cm, lebar 15 cm dan panjang 4 meter.
Magai diminta komentarnya menyusul keberhasilan aparat gabungan dari Balai Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk Maluku dan Papua bersama kepolisian menggagalkan pengiriman 21 kontainer kayu merbau dari Kaimana, Papua Barat, pekan lalu.
Kayu-kayu ini rencananya akan diseluduhkan ke Surabaya menggunakan jasa ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) PT. SPIL dengan dokumen angkut atas nama CV. Duta Layar Terkembang.
Menurut Magai, Kabupaten Sarmi, Keerom, dan Jayapura adalah wilayah dengan tingkat pencurian kayu paling tinggi di Provinsi Papua, diduga melibatkan berbagai pihak, bukan hanya para pengusaha kayu saja.
Pencurian kayu di Sarmi, menurut Magai, mendapat perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir tahun lalu karena daerah itu melaporkan potensi Pendapatan Asli Daerahnya hilang sekitar Rp 4,2 miliar per tahun akibat pencurian kayu.
KPK mencatat total kerugian negara yang bersumber dari produksi kayu tidak tercatat sejak tahun 2003 hingga 2014 mencapai US$ 60,7–US$ 81,4 miliar atau setara Rp 598,0- Rp 799,3 triliun.
Bila dihitung per tahun diduga kerugian negara itu mencapai US$ 5,0-Rp 6,8 miliar atau Rp 49,8-Rp 66,6 triliun.
“Ini sekitar 77-81 persen pendapatan yang hilang dari 35 juta hektar hutan yang dikelola negara,” ungkap Magai.
Pengalihan pengawasan
YL Frangky, Direktur Yayasan Pusaka yang selama ini sering mendampingi masyarakat adat dalam konflik lahan dengan perkebunan kelapa sawit, menyatakan pencurian kayu di Tanah Papua terjadi sejak pengalihan pengawasan hutan dari kabupaten ke provinsi.
Penghapusan dinas kehutanan di kabupaten membuat banyak celah untuk pencuri kayu, ditambah lagi ketidaktahuan masyarakat atas peralihan kewenangan tersebut.
“Biasanya masyarakat cuma jadi bantal stempel saja, dapat cap untuk masuk hutan dan dikasih uang kecil. Dokumen bisa pakai atas nama perusahaan pemegang ijin,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, masyarakat adat sebagai pemilik asli hutan, sering tidak tahu kalau setiap batang kayu dari wilayah izin pemanfaatan hutan harus diberi barcode atau nomor log.
Akibatnya, mereka memberikan izin pada pengusaha kayu masuk ke hutan mereka dan mengambil kayu sesuka hati tanpa memperhatikan lagi berapa kubik kayu yang diambil dari hutan.
“Ada petugas pemberian nomor log, dari perusahaan dan kehutanan. Jika skala besar perusahaan besar, ada petugas dari masyarakat adat untuk hitung kompensasi kayu yang diambil,” ujar Frangky.
Modus seperti ini, menurut Frangky, seringkali terjadi dalam praktik pencurian kayu di Papua. Perusahaan dan pengawas dinas kehutanan hanya memberikan laporan saja.
Yan Ormusreay, Kepala Dinas Kehutanan Papua membenarkan kurangnya pengawasan di kabupaten.
Pencurian kayu, menurutnya, semakin marak di Papua sejak diberlakukannya Undang-undang No. 23/2014, dengan peralihan kewenangan izin kehutanan dari kabupaten ke provinsi.
“Padahal kita ketahui luas wilayah Papua sangat besar dan potensi kehutanan begitu luar biasa. Sehingga sekali lagi butuh pengawasan di kabupaten,” ujar Ormuseray.
Kampanye hutan adat
Pencurian kayu tak hanya merugikan negara saja, namun sangat merugikan masyarakat adat Papua, yang tak terlalu mempersoalkan pendapatan finansial dari kayu.
Mereka lebih mepersoalkan rusaknya ekosistem karena pencurian kayu yang sering kali berbentuk pembalakan liar atau alih fungsi lahan menjadi kebun sawit.
Charles Tawaru, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mendesak agar diterapkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat.
Menurutnya, masyarakat adat mampu berperan sebagai garda pelindung terdepan dari perusakan hutan Papua dan pencurian kayu.
Penggagalan penyeludupan merbau dari Kaimanan, pekan lalu, “terhitung kecil apabila dibandingkan dengan praktik penyeludupan yang selama ini terjadi di Tanah Papua,” katanya.
Greenpeace, tambah Tawaru, sejak tahun 2008 telah mengampanyekan hutan berbasis masyarakat adat.
”Sebaiknya penerapan hutan sosial dan industri untuk Papua berdasarkan skema batasan adat,” ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Arkilaus Kladit, tokoh masyarakat Kampung Manggroholo-Sira, Sorong, yang merasakan manfaat status hutan desa dalam memberi kepastian hukum bagi warga untuk mengelola hutan adat.
“Kami berharap setiap kampung dalam wilayah adat Knasaimos merasakan program hutan adat untuk melindungi masa depan hutan dan hak hidup komunitas di Papua dan pencurian kayu,” jelasnya.
Tawaru menambahkan, Greenpeace menggunakan kapal legendaris ‘Rainbow Warior’ sebagai alat kampanye untuk mendorong hutan berbasis masyarakat adat tak hanya di Papua, namun juga di wilayah lain Indonesia.
“Rainbow Warior baru sampai di Manokwari. Dari sini, kami akan ke Raja Ampat untuk mengampanyekan hutan berbasis masyarakat adat agar hutan di Papua tidak bernasib sama seperti di Sumatera dan Kalimantan,” pungkas Tawaru.