Mahasiswa Papua Tuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri
2018.08.02
Jakarta
Dari baris belakang kerumunan kecil yang berkumpul di depan Istana Kepresidenan Jakarta, remaja itu berulang kali meneriakkan, “Papua... Papua...!”
Panas terik matahari tepat di ubun-ubun dan bising kendaraan yang lalu-lalang tidak mengganggunya. Sesekali, ia bahkan meningkahi teriakan itu dengan kibaran bendera bertuliskan Aliansi Mahasiswa Papua.
"Ini demi nasionalisme Papua," katanya.
Begitulah sekilas aksi Gideon Mathias Adii (19), remaja tersebut, dalam aksi damai memperingati referendum ke-49 Papua atau dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 2 Agustus 2018.
Bersama sekitar 20 orang lain yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), mereka bernyanyi, membentangkan spanduk, dan berorasi.
Isinya seragam: mengecam keberadaan referendum 1969 yang dianggap tidak demokratis dan penuh intimidasi tentara, serta menuntut kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
"Harus digelar referendum ulang dengan sistem satu orang satu suara. Tidak seperti 1969," kata Gideon.
Unjuk rasa di depan Istana merupakan satu dari 13 aksi serupa yang digelar di beragam daerah di Indonesia untuk memperingati 49 tahun Pepera. Adapula aksi di Bali dan Maluku Utara.
"Tapi yang di Maluku dibubarkan paksa polisi karena tidak mendapatkan izin. Tiga orang ditangkap," ujarnya lagi.
Aksi di depan Istana Kepresidenan sejatinya juga tidak mendapatkan izin dari aparat keamanan.
Tapi seperti dikatakan juru bicara FRI-WP, Surya Anta, "Mau bagaimana lagi? Kami hanya ingin mengutarakan pendapat. Dari dulu, aksi seperti ini juga tidak pernah diberi izin."
Ketiadaan izin ini sempat menimbulkan sedikit ketegangan antara Surya dengan Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Jefri Siagian yang mendatangi lokasi.
Namun setelah bernegosiasi, aksi peringatan Pepera diperbolehkan hingga pukul 14.00 WIB --berlangsung sekitar dua jam.
"Hal seperti itu sudah biasa. Kami sudah siap dengan konsekuensinya," tutur Gideon.
Tuntutan lain
Gideon Cs dalam tuntutannya juga meminta pemerintah Indonesia memberikan akses bagi jurnalis asing untuk memasuki wilayah Papua.
Mereka juga mendesak pemerintah menghentikan aktivitas perusahaan tambang yang beroperasi di Papua seperti Freeport atau Medco, dan menarik militer dari Bumi Cendrawasih.
"Kami diperkosa, dibunuh, disiksa," seru seorang pengunjuk rasa, kepada massa aksi.
Demonstrator yang hanya ingin disebut namanya sebagai Tina itu, menambahkan masyarakat Papua selama ini tidak pernah merasa menjadi bagian dari Indonesia, lantaran, menurutnya, secara hukum Papua telah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 1 Desember 1961, setelah lepas dari Belanda.
"Kami sudah ada simbol sendiri, bendera sendiri, tapi kemudian Presiden Sukarno (presiden pertama Indonesia) mempersoalkan status negara Papua Barat," ujarnya lagi.
Pernyataan serupa disampaikan Surya Anta yang menyebut integrasi Papua ke Indonesia terjadi lewat paksaan dan manipulasi.
Saat Pepera digelar pada 1969, terang Surya, hanya sekitar 1.025 orang Papua yang diikutkan dalam jajak pendapat. Padahal sesuai kesepakatan New York, pemungutan suara dilakukan dengan sistem satu orang memiliki satu suara.
"Padahal ada 800 ribu orang Papua yang memiliki hak ketika itu," terang Surya.
"Indonesia melaksanakan Pepera dengan tidak demokratis, penuh teror, pelanggaran hak asasi manusia, intimidasi, dan manipulasi."
Pernyataan Tina dan Surya ini sempat menimbulkan kegaduhan di area demonstrasi lantaran sejumlah orang yang mengatasnamakan Relawan NKRI berteriak-teriak ke arah pengunjuk rasa dan memaksa mahasiswa Papua membubarkan diri.
Namun aparat kepolisian menahan mereka dan membuat barikade sehingga tidak muncul keributan lanjutan.
Pernyataan pemerintah
Terkait desakan agar Papua bisa menentukan nasib sendiri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Wiranto tidak berkomentar banyak.
"Itu kan sudah sejak dulu ada seperti itu. Enggak usah kita gaduhkan, enggak usah kita cemaskan," kata Wiranto kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam.
"Masyarakat sudah tak mudah terpengaruh ajakan seperti itu," lanjutnya.
Di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo pembangunan di wilayah paling timur Indonesia itu digenjot terutama melalui proyek infrastruktur.
Namun kritik mengatakan Jokowi, yang sejak menjadi presiden telah berkunjung delapan kali ke Papua, hanya memprioritaskan pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Jokowi, dinilai tidak memprioritaskan penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua, walaupun ia menjanjikan hal tersebut dalam kampanye kepresidenannya.
“Di tahun pertama, Presiden Jokowi menunjukkan harapan lewat janji-janjinya. Namun di tahun kedua, pembunuhan justru meningkat. Tahun ketiga seperti tidak ada sama sekali,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, bulan lalu, menanggapi masih banyaknya kekerasan di Papua.
Menanggapi hal tersebut tenaga ahli kantor staf presiden, Sylvana Maria Apituley, mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM tetap menjadi agenda Pemerintahan Jokowi.
“Kami minta diberi waktu karena kami juga menangani masalah-masalah lain di Papua. Ini bukan suara yang diabaikan oleh pemerintah,” ujarnya Juli lalu.