Pasukan Keamanan Tangkap Pemberontak Papua yang Kabur dari Penjara pada 2016

Pakar mendesak Jakarta untuk usut akar permasalahan kenapa Papua ingin “merdeka”.
Ronna Nirmala
2021.07.23
Jakarta
Pasukan Keamanan Tangkap Pemberontak Papua yang Kabur dari Penjara pada 2016 Aktivis Papua melakukan unjuk rasa memperingati kelahiran Organisasi Papua Merdeka, di Surabaya, pada 1 Desember 2020.
AFP

Petugas keamanan gabungan menangkap seorang pemberontak Papua yang kabur dari penjara lima tahun lalu saat menjalani hukuman seumur hidup karena terbukti membunuh petugas dan tindakan kekerasan lainnya, demikian kata kepolisian pada Jumat (23/7).

Osimin Wenda, yang juga dikenal sebagai Usmin Telenggen (30) ditangkap saat sedang mengendarai sepeda motor ke arah Pasar Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya pada Kamis siang, kata juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Musthofa Kamal.

“Pada pukul 1125 WIT, tim memberhentikan pelaku di Kampung Wandigobak dan langsung melakukan penangkapan. Selanjutnya tim mengamankan pelaku ke Mapolres Puncak Jaya,” kata Kamal dalam keterangan tertulis kepada BenarNews.

Menurut polisi, Osimin terlibat dalam sederet aksi penembakan bersama kelompok separatis dan bergabung dengan Lekagak Telenggen, yang memimpin pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di wilayah Kabupaten Puncak.

Osimin divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tinggi Jayapura pada 17 Juni 2014 karena terbukti melakukan tindakan pidana berupa pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan, serta pembakaran yang menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain.

Adapun tindak pidananya meliputi penyerangan kantor Polsek Pirime di Kabupaten Lanny Jaya yang menyebabkan Kapolsek Pirime Ipda Rofli Takubesi dan dua anggotanya meninggal dunia pada pertengahan November 2012.

Selain menyerang, Osimin bersama sekitar 50 gerilyawan turut membakar dan merampas senjata laras panjang dari kantor polisi itu.

Pada akhir bulan yang sama, rombongan Kapolda yang ketika itu dijabat Tito Karnavian diserang kelompok yang sama dalam perjalanan menuju Tiom di Kabupaten Lanny Jaya dari arah Wamena. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

“Yang bersangkutan ditangkap Timsus Polda Papua pada 15 Juli 2013, kemudian divonis pada 2014. Lalu kabur dari Lapas Abepura (tahun) 2016,” kata Kamal kepada BenarNews.

Lapas mengatakan bahwa kaburnya Osimin dan 13 narapidana lainnya saat itu disebabkan oleh lemahnya penjagaan karena kekurangan personel. 

Selama pelariannya, Osimin diduga terlibat dalam penyerangan di Kabupaten Lanny Jaya pada 2018 yang menewaskan seorang tukang ojek bernama Yanmar, kata Kamal.

Pada lokasi dan tahun yang sama, Osimin juga diduga terlibat dalam baku tembak dengan Satgas Nemangkawi, sebut Kamal, merujuk pada satuan operasi yang diluncurkan Jakarta untuk menumpas kelompok separatis bersenjata di Papua yang beraksi dengan kekerasan.

Sementara itu pada 12 Juli, Satgas Nemangkawi juga menangkap kaki tangan Lekagak, Yoniku Murib alias Mbobugu (26) bersama empat gerilyawan lainnya di Distrik Mageabume, Kabupaten Puncak.

Direktur Reserse Pidana Kriminal Umum Polda Papua, Kombes Faisal Ramadhani, mengatakan dalam pemeriksaannya, Mbobugu membeberkan sejumlah aksi penyerangan yang dilakukan kelompok Lekagak di Kabupaten Puncak sepanjang tahun ini.

Aksi penyerangan meliputi perusakan dua menara Telkomsel Palapa Ring pada Januari, penyanderaan pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Wangbe pada Maret, dan pembakaran helikopter di Bandara Aminggaru pada April.

“Keterangan tersangka masih harus didalami karena tidak menutup kemungkinan Mbobugu juga terlibat pada aksi tersebut,” kata Faisal, dalam keterangan tertulis Polda Papua.

Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar perihal penangkapan ini.

Kontak senjata

Kondisi keamanan di Papua dalam sebulan terakhir masih diwarnai serangkaian kontak senjata yang turut melukai sedikitnya enam anggota pasukan gabungan TNI dan Polri.

“Penyelidikan, penangkapan dan pengejaran kepada kelompok kriminal bersenjata masih terus dilakukan personel gabungan,” kata Kamal, seraya memastikan situasi keamanan di wilayah paling timur Indonesia itu semakin terkendali.

“Alhamdulillah beberapa hari ini cukup kondusif,” ujarnya.

Pada 6 Juli, kelompok Egianus Kogoya di Nduga menembaki aparat keamanan yang tengah mengamankan kedatangan bahan makanan di Distrik Yall, Kabupaten Nduga, menyebabkan tiga prajurit mengalami luka tembak dalam kejadian ini, kata Danrem Jayapura Brigjen Izak Pangemanan kepada AntaraNews.

Kemudian pada 11 Juli, kelompok gerilyawan pimpinan Tendius Gwijangge di Kabupaten Yahukimo terlibat baku tembak dengan Satgas Nemangkawi dan menyebabkan seorang anggota kepolisian, Kenny Carlos Julian Kipuw (27), menderita luka tembak di bagian perut bawah.

Sehari setelahnya, kelompok gerilyawan pimpinan Egianus Kogoya di Nduga kembali terlibat kontak senjata dengan tentara dan menyebabkan dua prajurit menderita luka tembak, sebut keterangan Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen Ignatius Yogo Triyono.

Kepolisian memetakan empat kabupaten di Papua yang dianggap sebagai lokasi persembunyian kelompok pemberontak, yakni di Intan Jaya, Mimika, Puncak, dan Nduga.

Di Intan Jaya, kepolisian menyebut ada tiga kelompok pemberontak yang antara lain kelompok Sabinus Waker, kelompok Undius Kogoya, dan kelompok Lewis Kogoya.

Di Puncak, terdapat lima kelompok yang dipimpin oleh Goliath Tabuni, Lekagak Telenggen, Peni Murib dan Ando Waker. Sementara di Mimika terdapat satu kelompok pimpinan Joni Botak dan satu kelompok lain di Nduga yang dipimpin Egianus Kogoya.

Pada akhir April 2021, pemerintah menyatakan kelompok pemberontak di Papua sebagai teroris usai serangkaian bentrok yang turut menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di wilayah itu, Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya.

Akar permasalahan

Peneliti konflik Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, menyebut pelabelan teroris pada kelompok pemberontak Papua semakin mempersempit peluang untuk penyelesaian konflik melalui dialog.

“Dampaknya memang aparat akan semakin membabi buta dalam memburu kelompok pro-kemerdekaan ini. Jadi bukan lagi pendekatan dialog, tapi lagi-lagi konflik diselesaikan dengan kekerasan, dengan kekuatan militer,” kata Cahyo kepada BenarNews.

Cahyo mengatakan, meski kekerasan yang dilakukan kelompok pemberontak tidak bisa dibenarkan, namun pemerintah tetap perlu menyelesaikan persoalan dengan memahami akar permasalahan dari konflik berkepanjangan ini.

“Gerakan ini kan ingin memerdekakan Papua karena merasa ada ketidakadilan, kesejahteraan yang tidak merata, bukan semata-mata menebar teror ke masyarakat,” ujarnya. Papua resmi jadi bagian dari Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 yang dianggap penuh kecurangan oleh kelompok pro-kemerdekaan dan aktivis hak asasi manusia (HAM) karena hanya melibatkan sekitar 1.000-an warga yang telah ditentukan oleh pihak militer. Namun demikian, hasik Pepera itu diakui PBB.

Organisasi hak asasi manusia menilai baik aparat keamanan maupun kelompok separatis sama-sama melakukan pelanggaran HAM di wilayah itu dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.