Mantan komandan TNI disidang dalam kasus pelanggaran HAM Paniai

Kasus yang menyebabkan tewasnya empat warga setempat itu disebut aktivis sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Arie Firdaus
2022.09.21
Jakarta
Mantan komandan TNI disidang dalam kasus pelanggaran HAM Paniai Sejumlah mahasiswa Papua berdemonstrasi menuntut kemerdekaan wilayah paling timur Indonesia itu, di markas polisi di Surabaya pada 1 Desember 2021, bertepatan dengan peringatan hari jadi Organisasi Papua Merdeka (OPM).
[Juni Kriswanto/AFP]

Seorang mantan anggota TNI menjalani sidang perdana Rabu (21/9) dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus penembakan warga sipil oleh tentara yang menewaskan empat pemuda dan melukai 17 orang lainnya pada 2014 di Kabupaten Paniai, Papua.

Terdakwa pensiunan Mayor Inf. Isak Settu mendengarkan dakwaan di Pengadilan Negeri Makassar di Sulawesi Selatan dan dijerat pasal berlapis menurut undang-undang pengadilan hak asasi manusia (HAM) dengan ancaman 20 tahun penjara, kata juru bicara Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.

"Tim penuntut meyakini bahwa pasal yang didakwakan terhadap Isak Sattu telah sesuai dengan keterangan saksi dan alat bukti yang dikumpulkan dalam penyidikan," kata Ketut dalam keterangan tertulisnya.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut menilai Isak yang merupakan perwira dengan pangkat tertinggi tidak mampu menghentikan anggotanya dari mengambil senjata di gudang Koramil 1705-02/Enarotali di Paniai.

"Terdakwa melihat dan membiarkan anggotanya mengambil senjata api dan peluru tajam dari gudang senjata, tapi tidak mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut," kata Ketua Tim Jaksa Errly Prima Putera Agoes.

"Terdakwa juga tidak memberikan petunjuk kepada bawahan dan tidak melakukan tindakan yang layak dan tidak diperlukan untuk menghentikan tindakan anggota yang telah melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan empat warga sipil meninggal dunia."

Empat warga Papua yang meninggal itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei.

Terkait dakwaan tersebut, terdakwa Isak tidak mengajukan penolakan.

Sidang lanjutan bakal digelar pada 28 September mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari jaksa penuntut.

Kuasa hukum Isak, Syahrir Cakari, menilai dakwaan jaksa tidak tepat sasaran lantaran Isak sejatinya hanya perwira penghubung yang tidak memiliki kewenangan teritorial dan pasukan.

"Dakwaan itu tidak tepat karena Isak bukan pemegang komando di tempat," kata Syahrir kepada BenarNews.

Merujuk kronologis yang disusun Kejaksaan Agung, insiden berdarah di Paniai itu bermula dari kegiatan meminta sumbangan di jalan yang dilakukan warga kampung Ipakite Tanah Merah di Paniai pada 7 Desember 2014.

Dalam momen itu, seorang anggota TNI yang mengendarai sepeda motor hampir menabrak salah seorang warga peminta sumbangan yang kemudian memicu adu mulut.

Tak terima dengan perlakuan warga, anggota TNI itu kemudian mengajak rekan-rekannya untuk mendatangi warga peminta sumbangan yang berujung pemukulan terhadap warga.

Memprotes insiden itu, sekelompok warga kemudian memalang jalan di titik pemukulan pada 8 Desember 2014. Kepolisian setempat sempat bernegosiasi dengan warga, tapi situasi memanas dan berujung pemukulan kaca mobil Polres Paniai hingga pecah.

Negosiasi yang dipimpin Kepala Polres Paniai kala itu Kompol Hanifiah kemudian justru kian memanas tatkala seorang anggota TNI yang ikut mengamankan aksi berteriak memaki ke arah warga.

Tak lama, rentetan 5-6 tembakan terdengar dari salah satu sudut jalan. Berdasarkan laporan Kejaksaan, tembakan berasal dari anggota Satgas Yonif 753/AVT.

Situasi semakin memanas dan warga melakukan tarian perang di depan markas Koramil 1705-02/Enarotali. Beberapa di antaranya kemudian memanjat pagar Koramil yang kemudian dibalas anggota TNI dengan melepas tembakan ke arah massa.

Menyusul rangkaian insiden itu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo membentuk tim investigasi pada Desember 2014 untuk mengusut kasus tersebut.

Komnas HAM yang turut menginvestigasi peristiwa menyatakan kasus tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.

Insiden ini sempat tertahan bertahun-tahun karena Kejaksaan Agung beberapa kali mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM dengan alasan berkas perkara belum lengkap.

Kejaksaan baru menyatakan bahwa berkas telah lengkap dan siap disidangkan pada 6 April 2022.

Anggota Komnas HAM Choirul Anam saat dihubungi berharap pengadilan ad hoc hak asasi dapat mengungkap aktor lain yang terlibat dalam peristiwa di Paniai.

Saat ini, baru Isak yang ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut.

"Kami berharap pengadilan bisa mengungkap struktur komando dan pertanggungjawaban serta alur komunikasi dalam peristiwa Paniai," ujarnya kepada BenarNews.

"Hal itu penting agar memberikan keadilan kepada korban dan rakyat Papua."

Sementara LSM hak asasi KontraS meminta Komisi Yudisial mengawasi independensi majelis hakim yang menyidangkan kasus Paniai.

Hal tersebut dibutuhkan agar peradilan dapat menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat, terutama warga Papua yang selama ini kerap menjadi korban kekerasan oleh aparat hukum, kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty Stephanie.

"Menurut kami, tidak hanya pemantau secara etik, tapi juga substantif guna mendorong Pengadilan HAM mampu mengungkap kebenaran dan keadilan," kata Tioria dalam keterangan pers yang diterima BenarNews.

"Jangan sampai pengadilan HAM ini menghadirkan peradilan fiktif dan menjadi preseden atau bahkan legitimasi ajang pencucian dosa bagi terduga pelaku pelanggar HAM serta melanggengkan impunitas."

Beberapa waktu lalu, Jokowi sendiri telah menekan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang memuat tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi berat masa lalu.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, selain Paniai, terdapat pula 11 kasus lain yang dikategorikan pelanggaran berat dan belum tuntas hingga kini yakni Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung, Peristiwa Trisakti, Semanggi dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, serta Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998.

Memperpanjang daftar tersebut adalah Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, dan sejumlah pelanggaran HAM di Aceh yaitu Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.