Pasca Teror Paris, Pemerintah Tingkatkan Pengamanan
2015.11.16
Jakarta
Aksi teror di Paris, Perancis, Jumat lalu yang menewaskan 129 orang juga membuat pemerintah Indonesia meningkatkan penjagaan keamanan. Sementara itu pengamat mengingatkan pemerintah untuk tidak mengambil tindakan represif, melainkan harus lebih serius mempromosikan toleransi.
Sebelumnya Presiden Perancis Francois Hollande menyebut ISIS sebagai dalang dibalik teror yang menyerang sejumlah tempat seperti lokasi konser musik, restoran, dan stadion sepak bola tersebut.
Di Jakarta, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan akan memaksimalkan segala komponennya untuk mencegah teror serupa di Tanah Air.
"Kami akan meningkatkan kewaspadaan,” kata juru bicara BNPT Irfan Idris saat dihubungi, namun ia tak merinci lebih lanjut.
Sementara Kepolisian Republik Indonesia mengatakan juga menjaga ketat kantor-kantor kedutaan besar negara asing.
"Kami prioritaskan kantor kedutaan negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia," kata juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Muhammad Iqbal kepada BeritaBenar.
Penjagaan itu menurutnya akan dilakukan hingga kondisi dianggap aman. Peningkatan penjagaan itu, lanjut Iqbal, sudah disampaikan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian kepada semua duta besar.
"Pokoknya, jangan sampai kecolongan. Ini menyangkut nama baik negara," kata Iqbal lagi.
Pemerintah diminta tak represif
Pengamat terorisme dari Setara Institut, Ismail Hasani, mengingatkan Pemerintah Indonesia tak bersikap represif dalam merespons aksi teror di ibukota Perancis itu.
Ia sendiri belum yakin bahwa teror tersebut dilakukan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), meski telah muncul klaim dari kelompok garis keras itu.
"Bisa jadi dia (ISIS) sebenarnya tidak terlibat tapi (hanya) mengaku, untuk menunjukkan eksistensi," kata Ismail Hasani kepada BeritaBenar, Senin, 16 November 2015.
"Jadi tak perlu represif dengan melarang orang kumpul-kumpul, misalnya menggelar ceramah. Bahaya itu namanya, karena memberangus kebebasan individu,” ujarnya.
Menurut Ismail, ketimbang menyimpan kekhawatiran berlebih, pemerintah seharusnya mulai serius memperkuat imunitas publik terhadap beragam virus radikal yang mengarah kepada kekerasan. Dia juga mengimbau agar pemerintah serius mempromosikan toleransi dan mengajarkan masyarakat untuk mengutamakan pilihan logis dalam menuntaskan masalah.
Langkah-langkah tersebut dinilai Ismail bisa mencegah teror dan kekerasan di masa mendatang. "Karena, kebencian itu bisa melampaui teritori negara. Dan, dalam aksi teror, balas-membalas adalah hal jamak terjadi," katanya lagi.
Tak ada korban WNI
Sebelumnya secara terpisah, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan tak ada warga Indonesia yang menjadi korban dalam insiden teror lalu.
"KBRI Paris melakukan penelusuran mengenai kemungkinan ada korban WNI. Sejauh ini belum ada informasi korban dari WNI," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat mendampingi Presiden Joko Widodo di Turki, seperti dilansir laman Liputan6 hari Minggu.
Namun kementerian tetap mengawasi perkembangan pasca teror di Paris dengan menyediakan lima nomor hotline, jika ada warga Indonesia yang menjadi korban.
Selain itu, kata Menteri Retno, Presiden Jokowi akan menyampaikan solusi penyelesaian masalah terorisme di pertemuan para pemimpin negara-negara G20 di Turki, tanggal 15 -16 November.
"Presiden Jokowi menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam memberantas terorisme. Tidak ada negara yang aman dari terorisme sehingga cara yang ditempuh adalah kerja sama," kata Retno.