Mama-Mama Papua Tagih Janji Presiden Jokowi untuk Bangun Pasar
2015.10.06
Jayapura
"Kami punya kebun sendiri. Tapi kalau kebun belum ada hasilnya, setiap pagi kami ke pasar Youtefa jam tiga (pagi). Kami beli barang dagangan kami di situ. Lalu kami bawa pulang. Jam tiga sore baru kami bawa ke pasar untuk dijual lagi," kata Yuliana Pigay kepada BeritaBenar di pasar sementara untuk mama-mama Papua.
Mama Yuli, begitu ia kerap dipanggil oleh rekan-rekannya di pasar mama-mama Papua menambahkan, setelah membeli sayur di pasar Youtefa, ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya sebelum pergi ke kebunnya. Di kebun ia merawat tanamannya hingga jam 12 siang. Setelah itu ia pulang ke rumahnya untuk bersiap berdagang di pasar.
Perempuan asli Papua lainnya yang berdagang di Pasar Sementara Mama-Mama Papua ini menyebutkan keuntungan yang mereka dapatkan setiap hari tidak banyak.
“Kami bisa dapat 100 sampai 300 ribu (rupiah) setiap hari. Tapi kebutuhan kami sehari-hari bisa mencapai 150 ribu atau lebih. Kita semua tahu, di Papua ini biaya hidup paling mahal,” jelas Hermina Hubi, mama pedagang lainnya.
Tulang punggung keluarga dan perekonomian Papua
Sebagian besar perempuan-perempuan tangguh ini sudah berkeluarga. Namun beberapa dari mereka sudah ditinggalkan suaminya sehingga harus menanggung beban hidup keluarga mereka.
Ada juga yang suaminya tidak punya pekerjaan tetap atau bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun para perempuan ini tidak pernah merasakan penghasilan suami-suami mereka.
“Kalau suami gajian, mereka tidak kasih gajinya ke kami. Tidak tahu mereka bikin apa dengan uang itu. Kalau kami tidak jualan, siapa yang bayar anak-anak punya uang sekolah? Siapa yang kasih makan anak-anak?” ujar Mama Hermina, yang bersuamikan PNS di Kantor Gubernur Papua.
Mama Hermina mengaku, satu-satunya tempat ia berdagang sayur mayur hanya di Pasar Sementara Mama-Mama Papua ini. Ia tidak bisa berdagang di pasar lainnya karena pasti tersingkir oleh pedagang pendatang dari luar Papua.
Ia juga tidak bisa berdagang di salah satu ruas jalan Kota Jayapura karena lokasi-lokasi yang ramai didatangi oleh para pembeli sudah dipenuhi pedagang lain.
Ribuan perempuan asli Papua yang berjuang menghidupi keluarganya seperti Yuliana Pigay dan Hermina Hubi. Di Pasar Sementara Mama-Mama Papua, yang letaknya tepat di jantung Kota Jayapura, ada puluhan mama yang berdagang sayur-sayuran, ikan, buah-buahan dan keperluan rumah tangga lainnya.
Ratusan lainnya berdagang di pinggir jalan, sepanjang ruas jalan Sentani hingga Jayapura. Masih banyak perempuan-perempuan asli Papua di kabupaten lainnya yang menjalani siklus kehidupan sehari-hari seperti dua perempuan di pasar bagi mama-mama Papua ini.
Para perempuan di pasar Jigibama, Lembah Baliem, Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Keuntungan yang mereka dapatkan sangat kecil, hanya mencapai Rp 150 ribu setiap hari. (BeritaBenar)
Menagih janji Presiden membangun pasar
Saat mengunjungi Pasar Sementara Mama-Mama Papua ketika berkampanye bulan Juni 2014, Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, berjanji akan membangun pasar permanen khusus untuk mama-mama pedagang Asli Papua.
Di hadapan ratusan pedagang asli Papua itu, Jokowi menyebutkan pembangunan pasar untuk para mama ini adalah salah satu prioritasnya jika ia terpilih jadi presiden.
“Saya sendiri yang kasih surat kepada Jokowi waktu dia datang kampanye di pasar. Dia janji akan bangun pasar untuk kami. Waktu pelantikan Jokowi sebagai presiden, dia undang saya ke Jakarta. Dia ulangi lagi janjinya. Tapi sampai hari ini, tidak ada tanda-tanda pasar untuk kami ini akan dibangun,” ungkap Mama Yuli, salah satu perempuan yang menerima potongan tumpeng dari Presiden Jokowi di acara Syukuran Rakyat, perayaan pelantikan pasangan Jokowi-JK di Jakarta bulan Oktober tahun lalu.
Perjuangan mama-mama pedagang asli Papua ini sudah berlangsung sejak tahun 2003. Mereka menginginkan pasar khusus untuk berjualan.
Ini tak berlebihan mengingat mandat Undang-Undang No. 1 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Papua yang menyuratkan tiga kata kunci Pemberdayaan, Perlindungan dan Keberpihakan kepada Orang Asli Papua.
Dibantu Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) yang terdiri dari elemen masyarakat sipil, profesional dan wartawan, para perempuan pedagang asli Papua ini tak henti-hentinya menyuarakan pembangunan pasar.
“Masalah pembangunan pasar ini sudah dipolitisir. Dipakai oleh politikus lokal untuk kepentingan politik mereka. Presiden Indonesia sudah memerintahkan pembangunan pasar ini, tapi pemerintah provinsi, kota dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua baku tolak,” jelas Robert Jitmau, Kordinator Solpap kepada BeritaBenar.
“Dari tahun 2003 kami berjuang, pemerintah provinsi hanya bisa kasih pasar sementara. Sedangkan pasar permanen seperti yang dijanjikan Jokowi belum ada tanda-tanda akan direalisasikan,” tambahnya.
Masih berupa janji
Di tempat terpisah, Ketua Komisi IV DPR Papua bidang infrastruktur, Boy Markus Dawir mengatakan, dana tahap awal pembangunan sudah dianggarkan dalam APBD Perubahan Provinsi Papua 2015 senilai Rp 4,3 miliar.
“Nanti kemungkinan Oktober sudah mulai, dan 2016 full untuk pembangunan. Diharapkan 2017 selesai, dan mama–mama Papua sudah punya pasar. Kami Komisi IV DPRP yang bertanggungjawab atas pasar ini akan mengawal terus. Jadi mama–mama Papua berdoa semoga semua berjalan sesuai yang diharapkan dan secepatnya selesai,” kata Boy Dawir.
Pembangunan pasar ini makan waktu lama karena persoalan tanah. Kepada BeritaBenar, Kepala Bidang Cipta Karya dan Air Bersih Dinas Pekerjaan Umum Papua, Yan Ukago mengatakan, pasar akan dibangun di lokasi pangkalan Damri saat ini berada. Sehingga, pangkalan Damri ini harus dipindahkan terlebih dulu.
“Yang saya tangani adalah bagaimana Damri bisa pindah ke lokasi baru di Pasir II yang selama ini merupakan bengkel induk. Ini yang membuat pembangunan pasar untuk mama-mama Papua makan waktu lama,” jelas Yan Ukago.
Akan tetapi, baik Yuliana Pigay maupun Hermina Hubi tak peduli dengan alasan para birokrat dan legislator ini. Mereka hanya tahu bahwa Jokowi, Presiden Republik Indonesia, menjanjikan pasar khusus untuk mereka agar bisa menghidupi keluarga mereka, dan itulah yang mereka tagih.