Paulus Hartono, Pendeta Perangkul Kelompok Garis Keras Islam di Solo
2017.04.07
Solo

Komandan Korps Hizbullah Yon 99 Sunan Bonang, Solo, Yanni Rusmanto, sempat tidak menanggapi permintaan Paulus Hartono, pendeta Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) yang beraliran Mennonite untuk datang ke markasnya pada 2003.
Sikap Yanni bisa dimaklumi karena Paulus adalah seorang pendeta dan keturunan etnis Tionghoa. Sedangkan, dia sendiri merupakan tokoh kelompok Islam garis keras yang cukup disegani.
“Kami memang sama-sama pengusaha radio. Saya sebatas tahu, tapi tidak mau kenal dengan dia,” kenang Yanni saat ditemui BeritaBenar, akhir Maret lalu.
Yanni juga mengaku enggan menyambut tawaran kerjasama dari Paulus yang mengelola Radio Immanuel, dengan Radio Hiz milik Hizbullah.
Baru setelah tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, Yanni bersedia menerima tawaran Paulus untuk bekerja sama.
Mereka memutuskan menjadi relawan di Aceh untuk membantu para korban tsunami, yang menewaskan lebih dari 170.000 orang dan setengah juta warga Aceh kehilangan tempat tinggal.
“Kami berangkat bersama. Awalnya saya tidak bisa berangkat karena satu dan lain hal, kemudian Paulus mengajak. Akhirnya saya ikut karena tujuan kita sama,” tutur Yanni.
Sepulang dari Aceh, mulai ada keterbukaan antara Paulus dengan Korps Hizbullah, satu dari puluhan organisasi masyarakat di Solo yang dipandang beraliran garis keras.
Ketika terjadi gempa Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2006, Komunitas Gereja Mennonite yang dipimpin Paulus kembali bekerja sama dengan Korps Hizbullah membantu para korban.
Paulus minta pengawalan pada Hizbullah yang saat itu sedang melakukan latihan paramiliter di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, kegiatan yang rutin dilakukan kelompok itu.
“Gereja kami mengirim bantuan yang diangkut dengan belasan truk untuk warga korban gempa dan ratusan laskar Hizbullah mengawal kami supaya bantuan sampai dengan aman,” ungkap Paulus.
Ujaran kebencian
Menurut kajian yang dilakukan seorang peneliti IAIN Surakarta, Anas, tindakan radikal bahkan teror di Kota Solo banyak tersulut karena ujaran kebencian.
“Ujaran kebencian berkontribusi besar terhadap berkembangnya terorisme, berbasis radikalisme keagamaan,” terang Anas kepada BeritaBenar.
Penelitiannya bersama Lembaga Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (LPLAG) yang dibentuk pemerintah Solo, menunjukkan bahwa dari sekitar 35 kelompok organisasi massa (ormas) Islam di kota itu, 15 ormas masuk kategori garis keras dan radikal karena “paling sering melakukan ujaran kebencian".
Sejak 14 tahun lalu, Paulus fokus melakukan kegiatan untuk mengikis konflik dan intoleransi di Solo. Dia mendekati pemimpin kelompok-kelompok yang dipandang radikal.
“Pertemuan-pertemuan formal tidak bisa menjembatani masalah radikalisme, harus ada dialog. Harus dibedakan antara dialog dengan diskusi atau debat,” jelas Paulus yang mengutamakan pendekatan dari hati ke hati melalui dialog informal.
Dalam berdialog, Paulus mengajak pendamping yang diyakini diterima kelompok tersebut, seperti ustadz atau tokoh keagamaan yang disegani.
Paulus selalu menghindari terjadinya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa salah karena baginya, dialog untuk mewujudkan solusi bukan mencari “pemenang”.
“Ia (Paulus) tahu siapa yang diajak bicara,” kata Al Munawar, seorang tokoh perdamaian lintas agama dan golongan di Solo yang pernah diajak Paulus untuk menemui pimpinan kelompok radikal.
Satu persatu pimpinan kelompok garis keras di Solo didekati Paulus. Setelah Hizbullah, dia juga mendekati Koppasgad, sebuah kelompok paramiliter Muslim di Solo.
Komandan Koppasgad Solo, Ustadz Hardono, mengaku ia bisa mengesampingkan hal-hal yang melekat pada diri Paulus, yaitu beragama Kristen dan etnis Tionghoa setelah melihat kerendahan hatinya.
“Dia memiliki penerimaan yang tinggi, dia juga merendahkan dirinya, hal yang tidak mungkin terlihat pada seorang egois,” tutur Hardono yang mulai didekati Paulus sejak tahun 2003.
Intoleransi menurun
Paulus mengaku saat awal-awal ditugaskan di GKMI Solo pada 1990-an, hampir setiap hari ada agenda mediasi karena sering terjadi konflik.
“Solo memang memiliki potensi konflik karena pengaruh endapan trauma masa lalu,” ujarnya mengacu pada konflik antar etnis di Solo yang banyak terjadi sebelum tahun 2000.
Terinspirasi dengan mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Paulus memutuskan untuk meniru pendekatan dari hati ke hati ala Gus Dur yang dinilai banyak kalangan telah berhasil melakukan transformasi pluralisme di Indonesia.
“Tidak bisa memberi kesadaran pada mereka dengan wejangan, dengan nasihat, harus sesuatu yang mengena di hati,” katanya.
Satu cara yang diambil Paulus adalah masuk langsung ke kehidupan kelompok-kelompok garis keras tersebut.
Paulus mengajak jemaat gerejanya untuk merenovasi rumah-rumah anggota laskar yang tak layak huni. Niat baiknya tentu saja tak langsung diterima. Ada prasangka kristenisasi.
“Dari tahun 2003 sampai kini kami merenovasi 20 rumah anggota laskar yang tidak layak huni,” Paulus memaparkan.
Paulus dan para jemaatnya juga mengajarkan sistem pertanian organik yang lebih efektif dan efisien sehingga memberi hasil lebih bagi para laskar.
Paulus membuktikan semua yang dilakukannya bersama para jemaat tak disertai upaya kristenisasi sehingga dia meraih kepercayaan anggota laskar.
Anggota laskar pun membuka diri. Paulus mencontohkan, ketika muncul gereja baru, para pemimpin atau juru bicara laskar akan menghubunginya dan menanyakan mengenai kejelasan izin gereja tersebut.
Setelah dijelaskan Paulus, biasanya mereka bisa menerima. Tetapi seringkali ada saja kelompok yang memilih beraksi di lapangan, baru kemudian menempuh mediasi.
“Banyak yang begitu karena memang belum semua bisa didekati,” pungkas Paulus yang mengaku akan terus berusaha untuk mendekati kelompok-kelompok garis keras lainnya.