PBB Desak Indonesia Investigasi Dugaan Pelanggaran HAM di Papua

Aktivis HAM mengatakan polisi sering menggunakan ular untuk menginterogasi tahanan.
Ahmad Syamsudin
2019.02.22
Jakarta
190222_ID_Papua_1000.jpg Anak-anak Papua belajar di tempat penampungan sementara di Wamena, Papua, 12 Februari 2019.
AFP

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada hari Jumat mengatakan Polri akan mengambil tindakan tegas terhadap petugas yang menginterogasi tahanan di Papua menggunakan ular setelah sejumlah ahli dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Bumi Cendrawasih itu.

Pakar hak asasi manusia (HAM) PBB pada hari Kamis mengatakan penggunaan ular oleh polisi di Papua untuk menakut-nakuti seorang tersangka pencuri agar mengaku, mencerminkan "pola kekerasan yang meluas" yang dilakukan aparat keamanan di Papua.

"Polisi sedang melakukan penyelidikan atas insiden itu dan telah menyatakan bahwa oknum yang terlibat akan dikenakan sanksi disiplin sesuai dengan aturan," kata juru bicara Kemlu, Arrmanatha Nasir.

"Ini adalah tindakan oknum dan bertentangan dengan peraturan Polri," tambahnya, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Para perwakilan PBB itu mengatakan penggunaan ular dan bentuk penyiksaan lainnya sering dilakukan terhadap penduduk asli Papua dan para pembela HAM.

"Insiden terbaru ini merupakan gejala dari diskriminasi dan rasisme yang mengakar kuat yang dihadapi penduduk asli Papua, termasuk yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia," kata mereka.

"Kami mendesak Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah segera untuk mencegah penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat polisi dan militer yang terlibat dalam penegakan hukum di Papua," kata ahli dari PBB itu, "ini termasuk memastikan pertanggungjawaban mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua.”

Para ahli mengatakan mereka juga "sangat prihatin terhadap budaya impunitas dan kurangnya investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua."

Video yang beredar di media sosial awal bulan ini menunjukkan polisi di Kabupaten Jayawijaya melilitkan seekor ular besar di leher seorang laki-laki yang mereka tuduh mencuri ponsel.

Pria itu, dengan tangan diikat ke belakang menjerit ketakutan.

Polda Papua telah meminta maaf atas kejadian itu tetapi mengatakan ular yang digunakan adalah jinak dan tidak dimaksudkan untuk membahayakan tahanan.

Sering gunakan ular untuk interogasi

Seorang pengacara HAM, Veronica Koman, mengatakan polisi sering menggunakan ular saat menginterogasi warga, termasuk mereka yang ditangkap karena dicurigai melakukan kegiatan separatis.

"Ketika video ular ini muncul, banyak orang Papua, terutama aktivis yang keluar masuk penjara karena alasan politik, mengatakan bahwa mereka telah lama mengetahui bahwa ular digunakan oleh polisi dan TNI," katanya kepada BeritaBenar.

Dia mengatakan Sam Lokon, anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang pro-kemerdekaan Papua, juga diinterogasi menggunakan ular setelah dia ditangkap pada Januari.

“Dia dimasukkan ke sel dengan ular. Dia dipukuli, ditendang, ditampar, dan kepalanya didorong ke arah ular untuk memaksanya mengakui bahwa dia telah mencuri sepeda motor,” papar Veronica.

Setidaknya 19 pekerja konstruksi dan seorang tentara tewas pada awal Desember dalam serangan yang diklaim dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, unit bersenjata dari gerakan separatis Papua.

Merespons insiden itu, pasukan keamanan Indonesia telah melakukan operasi untuk memburu para pemberontak separatis di Kabupaten Nduga, di mana pembunuhan terjadi.

Pemberontak mengatakan kampanye antiseparatis telah memaksa ratusan orang melarikan diri ke hutan karena takut akan keberadaan militer. Sekolah-sekolah kosong karena ditinggalkan para pengajar dan pelajar, sementara klinik kesehatan juga ditinggalkan para pekerjanya.

Propinsi yang terletak di wilayah paling timur Indonesia itu memiliki sumber daya alam yang besar. Unit lokal perusahaan tambang raksasa Amerika, Freeport, yang 51 persen dari sahamnya telah dikuasai Indonesia ada di Papua. Namun demikian kesejahteraan rakyatnya masih tertinggal dibanding propinsi-propinsi lainnya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo, adalah presiden yang paling sering berkunjung ke Papua. Sejak terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, ia telah menginjakkan kaki delapan kali di propinsi itu.

Walaupun diakui keberhasilannya dalam membangun sarana infrastruktur di Papua, dan telah membebaskan sejumlah tahanan politik di propinsi itu, Jokowi dinilai belum berhasil menegakkan HAM di tanah Papua.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.