Ketua PBNU: Memahami Alquran Harus Kontekstual

Munculnya gerakan radikal dan intoleran, menurut Said Aqil Siradj, lebih dipicu oleh kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dan salah memahami agama.
Arie Firdaus
2017.01.20
Jakarta
170119_ID_NU_1000.jpg Ketua PBNU Said Aqil Siradj saat diwawancara di rumahnya di Jakarta, 18 Januari 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengungkapkan bahwa ada dua kunci supaya seseorang menjadi pemeluk Islam yang baik dan toleran, yaitu paham teks dan menggunakan akal.

Pemahaman teks merujuk pada mengetahui ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Adapun penggunaan akal merujuk pada pemahaman budaya dan kondisi sosial.

Menghilangkan salah satunya, menurutnya, maka hidup berjalan pincang. Ia mengambil contoh pemahaman kelompok-kelompok teror berkedok Islam yang ada di Indonesia, salah satunya Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.

Ba’asyir kini mendekam di penjara Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, setelah divonis 15 tahun penjara pada 2011 karena terbukti terlibat dalam pelatihan militer kelompok JI di pegunungan Jalin, Kabupaten Aceh Besar, awal 2010.

Sebagai pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan anggota mencapai 91 juta orang, Said merasa bertanggung jawab untuk menjaga kedamaian Indonesia yang majemuk. Meskipun kemudian harus “berseberangan” dengan Rais Aam Syuriah (dewan penasehat) PBNU, Ma’ruf Amin, yang kini duduk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Manuver MUI belakangan memang disorot publik. Sebelum menerbitkan fatwa yang mengharamkan Muslim memakai atribut non-Muslim, MUI juga memfatwa bahwa pidato Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, menghina Alquran dan ulama.

Fatwa itu menggiring pembentukan organisasi Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI), yang menjadi motor penggerak aksi massa pada 4 November dan 2 Desember tahun lalu.

Ahok kini duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Perbincangan BeritaBenar dengan tokoh 63 tahun, Rabu, 18 Januari 2017, berlangsung sekitar satu jam hingga lewat tengah malam di kediamannya, kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:

Anda sempat dipanggil Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 11 Januari lalu, yang membahas soal menguatnya Islam radikal dan maraknya intoleran di Indonesia. Bisa diceritakan pertemuan tersebut?

Hanya masalah umum saja. Beliau ingin tahu, memetakan kelompok-kelompok yang ada. Ciri-cirinya seperti apa, jaringannya, dan nama-nama mereka. Begitu saja.

Menurut Anda, kenapa gerakan Islam radikal dan aksi intoleran belakangan marak di Indonesia?

Banyak faktor. Paling banyak dipicu kebodohan, kemiskinan, dan pengangguran. Tapi ada pula dipicu salah memahami agama, seperti Abu Bakar Ba’asyir. Dikira bom itu jihad. Demi Allah, itu salah.

Abu Bakar Ba’ayir ilmunya kurang luas. Memahami Alquran itu harus kontekstual. Di Alquran memang ada ayat jihad. Tapi ayat itu konteksnya lagi perang. Masa lagi kondisi begitu, disuruh sabar? Enggak mungkin, kan. Ada juga ayat Alquran yang suruh untuk sabar. Turunnya dalam kondisi normal. Ayat membunuh itu hanya turun lagi perang.

Bukan dipicu lemahnya penegakan hukum?

Itu second factor, lah. Faktor utamanya itu tadi.

Terkait maraknya intoleransi, ada pendapat yang menyebutkan karena tumbuhnya politik identitas. Tanggapan Anda?

Ya, itu kacamata sosiologis. Kalau kacamata saya orang agama, ya, karena enggak paham agama yang sebenarnya. Mana ada agama yang membolehkan kekerasan atau membunuh? Alquran saja bilang, jangan saling mencaci-maki, jangan merendahkan, jangan suudzon, dan jangan menggunjing.

Bagaimana seharusnya mempelajari Islam, agar tak terjebak menjadi radikal dan intoleran?

Harus sinergi antara Islam dan pemahaman budaya dan kondisi sosial. Bagaimana caranya? Gunakan Alquran dan Hadits sebagai teks serta memakai akal. (Bermodal) Alquran dan hadits saja radikal, akal saja menjadi liar. Keduanya digabung agar berpikir moderat.

Lihat saja di Timur Tengah, sampai kapan konflik sesama Islam? Apakah mereka tidak Islam, shalat, dan membaca Alquran? Integritas dan budaya itu yang hilang.

Soal tafsir kontekstual, bagaimana Anda menjelaskan Al Maidah ayat 51 tentang pemimpin non-muslim?

Saya membaca di buku Imam Ghozali dan Imam Mawardi. Di sana tegas mengatakan: “pemimpin adil yang non-Muslim, lebih baik dari pemimpin Muslim yang zalim.” Syukur-syukur ada pemimpin Muslim yang adil. Kalau enggak ada lagi?

Menurut Anda, apakah Ahok memang menistakan Islam, seperti anggapan orang-orang?

Ya, Ahok emang kurang ajar karena singgung perasaan umat Islam. Mimiknya itu, gimana gitu, meremehkan. Tapi kalau menistakan agama, sampai bilang Islam itu bohong, saya belum sampai ke situ melihatnya.

NU berulang kali melarang ikut aksi demonstrasi anti-Ahok kemarin. Kenapa?

Itu bukan masalah kami mendukung (Ahok) atau enggak. Tapi warga NU, kalau dibiarkan berdemo, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Meninggalkan kerja, sekolah, tugas, …. Apalagi harus ke Jakarta, terpaksa libur, kan? Apalagi jika shalat Jumat di Monas.

Apa salah dengan shalat Jumat di Monas?

Pertama, saya saja shalat Jumat di Masjid yang niatnya ikhlas belum tentu diterima oleh Allah. Apalagi yang niatnya politik? Orang yang shalat di Monas itu, niatnya apa ya? Politik, kan?

Kedua, masak mau kalahkan Ahok saja sampai 2,5 juta orang. Besar amat Ahok?

Ketiga, kami mementingkan keselamatan bangsa. Saya mendapat pesan singkat dari teman-teman kuliah saya yang ada di Turki dan Kuwait yang mengatakan, “Awas, hati-hati Indonesia akan di-Suriah-kan”.

Gus Mus (Mustofa Bisri) menilai MUI menjadi salah satu pendorong demonstrasi menentang Ahok beberapa waktu lalu dan aksi intoleransi di Indonesia belakangan lewat fatwa mereka. Bagaimana pandangan Anda?

MUI itu gak tahu saya, apa itu? Pertama, dia bukan ormas karena enggak ada anggotanya. Kedua, jika disebut Darul Ifta’, yaitu lembaga yang mengeluarkan fatwa seperti di Mesir, bukan juga.

Lalu, perbaikan apa yang harus dilakukan terhadap MUI?

Terserah. bukan urusan saya. MUI kan, lahir di zaman Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Sama halnya dengan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). Meskipun sekarang mereka sudah bukan lagi seperti itu (alat langgengkan kekuasaan).

Anda pernah menyebut Rizieq Shihab bukan ulama, kenapa?

Ulama itu orang yang ahli agama dengan tugasnya yang paling melekat adalah taklim, menyampaikan ilmu agama, ceramah, mengkaji ilmu agama. Lha, apa Habib Rizieq pernah taklim? Ceramah dia isinya apa?

Coba liat (alm) Zainudin M.Z. Itu taklim namanya. Kadang-kadang ada kritik. Ada lucunya juga. Tapi tetap, itu taklim namanya. Yusuf Masyur, itu taklim namanya.

Tapi kalau pidato isinya cuma, ‘Kurang ajar!’ itu taklim bukan? Kalau bukan taklim, ya, bukan ulama. Boleh saja nama yang lain. Orator boleh, … tapi bukan ulama. Saya serius ini. Ilmiah, bukan ngawur.

Terakhir, apa Anda lakukan agar NU terlibat dalam menjaga toleransi di Indonesia?

Saya akan kawal cara berpikir ulama NU, anak muda NU, agar mereka tak melenceng dari cara berpikir Hasim Asy’ari — pendiri NU — yang moderat. Entah mereka mau jadi polisi, jaksa, atau pengusaha, harus tetap moderat dan toleran.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.