Puluhan pegawai rutan KPK terlibat korupsi sampaikan permintaan maaf terbuka
2024.02.26
Jakarta
Puluhan pegawai rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (26/2) di Jakarta meminta maaf secara terbuka kepada pimpinan dan dewan pengawas komisi antirasuah itu setelah divonis bersalah meminta pungutan liar kepada tahanan.
Dalam sidang etik yang berlangsung pada Kamis (15/2), Dewan Pengawas KPK menyatakan 78 dari 90 pegawai itu terbukti melanggar etik berat dan memerintahkan mereka menyampaikan permintaan maaf terbuka.
Sisanya, sebanyak 12 pegawai diserahkan kepada Sekretariat Jenderal KPK karena mereka melakukan aksi tak bermoral tersebut sebelum Dewan Pengawas KPK dibentuk.
Sejumlah pengamat dan pegiat antikorupsi menilai perintah permintaan maaf tersebut sebagai hukuman yang tidak adil dan meruntuhkan kehormatan KPK.
Dalam pernyataan maaf terbuka di Gedung KPK Jakarta, para pegawai tersebut mengaku telah menyalahgunakan pengaruh dan posisi mereka demi keuntungan pribadi.
“Dengan ini menyampaikan permintaan maaf kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan atau insan KPK atas pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang telah dilakukan, berupa menyalahgunakan jabatan dan atau kewenangan yang dimiliki," kata salah seorang pegawai yang diikuti puluhan pegawai lain.
Keberadaan pungutan liar di rumah tahanan pertama kali diungkap anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho pada Juni 2023, setelah dia menemukan dugaan perbuatan asusila petugas KPK terhadap istri salah seorang tahanan.
Albertina kala itu mengatakan bahwa para pegawai memeras para tahanan yang ingin mendapat fasilitas tambahan seperti telepon seluler dan makanan. Pungutan dibayarkan secara tunai atau melalui rekening pihak ketiga, dengan nominal bervariasi mulai dari Rp1 juta hingga Rp500 juta per orang.
Ketua Majelis Etik Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan dalam keterangan pers usai pembacaan vonis pada 15 Februari mengatakan pungli di rutan KPK terjadi secara terstruktur lewat koordinasi salah seorang mantan pegawai yang diperbantukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pegawai itu pulalah yang menetapkan tarif pungutan, seperti besaran Rp20-30 juta untuk memasukkan telepon pintar ke rumah tahanan dan setoran Rp5 juta per bulan untuk izin penggunaannya serta bertugas. Dia juga bertindak sebagai koordinator pungutan liar yang diistilahkan sebagai "lurah".
"Sekarang sudah tidak di sini lagi (KPK)... Dalam kasus ini kami tidak memeriksa dia karena menurut pembuktian semua yang diperiksa mengaku sebagai lurah," ujar Tumpak kala itu.
Skandal pungutan liar ini merupakan pukulan terbaru bagi KPK, yang telah mengalami penurunan kepercayaan publik tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2023, tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK hanya 58,8 persen, sedikit di atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
KPK, yang didirikan pada tahun 2003, dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling efektif dan independen dalam upaya Indonesia melawan korupsi, tapi pada tahun 2019, DPR mengesahkan revisi undang-undang KPK yang menurut banyak kritikus mengurangi kewenangan lembaga tersebut dan membuatnya lebih rentan terhadap pengaruh politik.
Revisi tersebut memperkenalkan dewan pengawas baru, yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permintaan penyadapan dan penyelidikan oleh KPK, dan juga menjadikan pegawai KPK sebagai aparat sipil negara di bawah lembaga eksekutif.
Pada tahun 2020, KPK melakukan tes "wawasan kebangsaan" yang kontroversial bagi pegawainya, yang bertujuan untuk menilai loyalitas mereka terhadap Pancasila dan UUD 1945. Tes tersebut mengakibatkan pemecatan 75 pegawai, banyak di antaranya dianggap penyidik yang andal dan berdedikasi tinggi.
Sidang etik para pegawai rumah tahanan ini menjadi sidang kedua yang digelar Dewan Pengawas sejak Desember 2023, setelah sebelumnya menyatakan mantan Ketua KPK Firli Bahuri bersalah melanggar kode etik karena bertemu dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang tengah berperkara di KPK.
Firli, yang merupakan pensiunan jenderal bintang tiga polisi, diminta untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK karena dianggap telah menimbulkan konflik kepentingan dan merusak citra lembaga antirasuah. Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani surat pemberhentian Firli pada akhir Desember 2023.
'Tidak pantas dan tidak adil'
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai sanksi permintaan maaf bagi para pegawai rutan yang melakukan pungli sebagai hukuman tidak pantas dan tidak adil.
Fickar menilai para pegawai tersebut semestinya dipecat karena mereka telah menjatuhkan wibawa KPK yang notabene lembaga pemberantasan korupsi.
"Sekecil apa pun kerugian harus tetap dibawa ke peradilan pidana karena oknum KPK itu merupakan lembaga pemberantasan korupsi," kata Fickar kepada BenarNews.
"Seharusnya dipecat dan dikenakan hukuman pidana. Jika tidak, akan menjatuhkan muruah KPK."
Kelompok antikorupsi IM57+ menilai KPK semestinya dapat menjadi contoh penanganan korupsi di Tanah Air dengan memberikan hukuman berat bagi para pegawai terlibat pungutan liar, alih-alih sekadar menjatuhkan sanksi permintaan maaf.
"Sanksi permintaan maaf tidak menunjukkan pemberian sanksi serius. Tidak mencerminkan rasa keadilan," kata Ketua IM57+ Praswad Nugraha kepada BenarNews, sembari mendesak KPK untuk turut mengusut dugaan pidana terhadap para pegawai.
"Tanpa adanya pidana, hanya jadi menjadi cermin betapa rapuhnya KPK. Ketika ada korupsi di lembaga korupsi, tapi hanya dituntut meminta maaf."
Begitu pula pernyataan Peneliti Departemen Politik dari CSIS, Dominique Nicky Fahrizal, yang menilai sanksi permintaan maaf tidak akan menimbulkan efek jera di internal KPK.
"Seharusnya untuk ukuran KPK yang menjadi simbol pemberantasan korupsi harusnya adalah sanksi berat, salah satunya ya dipecat dari institusi," kata Nicky.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman menilai sanksi rendah terhadap para pegawai itu menunjukkan kebobrokan revisi Undang-undang KPK yang dilakukan pemerintah pada 2019.
Menurut Zaenur, pemerintah membentuk dewan pengawas untuk mengurusi perkara etik tapi tidak membekalinya dengan kewenangan yang luas.
Peralihan status menjadi aparatur sipil negara juga membuat para pegawai hanya dapat diberikan sanksi disiplin oleh kesekretariatan, bukan oleh dewan pengawas.
"Maka, dewan pengawas tidak punya taji sama sekali untuk penegakan kode etik internal. Sanksi terberat yang bisa diberikan hanya berbentuk permintaan maaf terbuka," ujar Zaenur kepada BenarNews.
"Ini menjadi bukti bahwa revisi UU KPK yg dilakukan pemerintah buruk dan tidak jelas."
BenarNews menghubungi Juru Bicara KPK Ali Fikri terkait putusan dan kritik sejumlah pihak, tapi tak beroleh balasan.
Namun dikutip dari Media Indonesia, Ali menyebut permintaan maaf ini bukan merupakan hukuman akhir bagi para pegawai yang terlibat pungutan liar.
Dia mengklaim ke-90 pegawai itu akan kembali diperiksa oleh tim khusus untuk menjatuhkan sanksi disiplin. Tim tersebut terdiri dari inspektorat jenderal KPK, biro sumber daya manusia, biro umum, dan atasan langsung para pegawai.
"Saat ini masih tahap penyelesaian administrasi penyidikan," ujar Ali seperti dikutip dari Media Indonesia.