Menlu: Pekerja migran korban penipuan di Kamboja meningkat tajam
2022.09.01
Jakarta
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia mengatakan pada Kamis (1/9) kenaikan signifikan jumlah dari korban penipuan terhadap pekerja migran Indonesia di Kamboja pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam rapat dengan DPR, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan lebih dari 400 pekerja migran Indonesia telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kamboja sepanjang Januari hingga Agustus 2022.
“Terjadi peningkatan tajam jumlah korban WNI dari total 119 pada tahun 2021 menjadi 446 orang pada Januari sampai Agustus 2022," kata Retno di hadapan anggota DPR, Kamis, menambahkan seluruh korban sudah berhasil dipulangkan ke Indonesia secara bertahap.
Antara Juli hingga Agustus, kata Retno, Kemlu memulangkan 241 warga Indonesia korban TPPO.
Retno juga mengungkapkan bahwa melalui kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian Kamboja, Kementeriannya berhasil membebaskan korban yang disekap di daerah pesisir Sihanoukville.
“Pada 4 Agustus kami melakukan pertemuan dengan Mendagri Kamboja yang juga sekaligus membawahi kepolisian dan migrasi di Kamboja," ucap Retno, menambahkan bahwa warga Indonesia ditipu dengan janji gaji tinggi untuk mau bekerja di Kamboja.
Retno menambahkan kasus penipuan terhadap pekerja Indonesia tidak hanya terjadi di Kamboja, namun juga di Myanmar, Laos, Thailand, dan Filipina.
“Perekrutan dan pemberangkatan pekerja migran Indonesia secara ilegal sampai saat ini masih terus terjadi," imbuh Retno.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu Judha Nugraha mengungkapkan pada 12 Agustus lalu Kementeriannya menggagalkan pengiriman 214 orang pekerja migran Indonesia yang hendak diberangkatkan ke Sihanoukville, dengan memblokir penerbangan pesawat.
“Mereka menggunakan charter flight ke Sihanoukville. Alhamdullah, berkat kerja sama berbagai pihak, kita berhasil gagalkan dan tangkap pelakunya,” ujar Judha, kepada BenarNews
Pencegahan
Judha mengatakan untuk mengantisipasi kejadian terulang, Kemlu telah meningkatkan pengawasan atas arus keberangkatan pekerja migran, terutama di perbatasan dan titik keluar pelabuhan dan bandara internasional.
Selanjutnya, kata Judha, upaya lainnya adalah memberatkan hukuman para pelaku yang terlibat dengan memasukkan Undang-Undang 21 tahun 2007 mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Kemudian usul lain adalah melakukan edukasi publik mengenai migrasi aman dan modus-modus dari TPPU,” ujar Judha.
Undang-Undang 21 tahun 2007 mengriminalisasikan tindak pidana perdagangan orang dan menetapkan standar hukuman maksimum hingga 15 tahun.
Sementara sanksi pelaku TPPU adalah penjara maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak Rp10 miliar.
“Negara harus hadir sejak dari desa dari berbagai macam kasus wawancara yang kami lakukan terhadap kasus-kasus pekerja migran,” ujar Judha, menambahkan bahwa mayoritas pekerja migran Indonesia mendapatkan informasi dari calo atau sponsor bukan dari negara.
Anggota DPR Sukamta menyebut langkah-langkah yang disampaikan Kemlu itu masih normatif karena kasus penipuan terhadap para pekerja migran Indonesia selalu berulang melalui para Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) nakal dan mafia perdagangan orang.
“Memang edukasi masyarakat itu ideal. Kalau ada yang menawari kerja di luar negeri dengan gaji Rp 5 juta (per bulan), mereka akan langsung berangkat. Mereka tidak berpikir itu siapa, bagaimana risikonya, apa prosedurnya,” ujar dia dalam rapat dengan Retno dan jajarannya.
Anggota DPR lainnya, Nihayatul Wafiroh, mengatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga mengamanatkan perlindungan tenaga kerja sejak rekrutmen.
“Harus ada koordinasi yang diperkuat antar-stakeholder ketenagakerjaan,” ujarnya kepada BenarNews.
Edukasi calon pekerja menurun pada masa pandemi
Direktur Migrant CARE Anis Hidayah juga mengkritik kinerja pemerintah yang dinilainya kurang maksimal.
“Selama pandemi, saya menilai sosialisasi pemerintah memang sangat turun jauh soal bagaimana mewaspadai sindikat, bagaimana mengantisipasi trafficking, bagaimana mengantisipasi calo-calo yang berkeliaran,” ujar Anis saat dihubungi BenarNews.
Di sisi lain, lanjut Anis, penegakan hukum terhadap pelaku penipuan penempatan kerja di Kamboja juga tidak berjalan.
“Misalnya yang sudah dipulangkan 119 orang pada tahun lalu itu, tidak ada proses hukumnya. Pelakunya ada, korbannya ada, tapi proses hukumnya tidak ada sehingga ini juga memicu kenapa kasus terupa terus terjadi,” ucap Anis.
Pengajar isu Migran dan Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia, Yuherina Gusman, mengatakan berbagai pihak harus mewaspadai jika ada lowongan pekerja migran Indonesia ke Kamboja.
“Pola umum migrasi biasanya dari negara menengah atau di bawah ke negara yang lebih maju. Indonesia yang secara ekonomi lebih baik dari Kamboja. Dari situ saja sudah patut dicurigai,” ujar Yuherina.
Sayangnya, kata dia, masyarakat Indonesia belum teredukasi mengenai hal ini.
“Kawasan ASEAN rate bagi pekerja migran masih di bawah Rp5 juta. Iming-iming kerja di Kamboja 9 juta, sehingga di atas rata-rata ASEAN,” ungkap Yuherina yang juga Manajer Program Union Migrant Indonesia.
Dia menegaskan banyak agen-agen ilegal aktif mencari calon korban ke kantong-kantong wilayah pekerja migran Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Sebelum direkrut, ucap Yuherina, calon pekerja juga diberi edukasi tentang bagaimana jenis pekerjaan dan ada proses penandatanganan kontrak.
Ketika sampai di negara tujuan, ada agen yang menjemput, baik ke pabrik atau rumah majikan jika bekerja sebagai perawat orang tua atau sebagai pekerja domestik.
“Pola-pola seperti ini tidak ada dalam proses perekrutan tenaga kerja ke Kamboja ini.”
“Memang harusnya informasi lowongan kerja menjadi tugas pemerintah. (Tapi) pemerintah hanya mempublikasikan di website Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sedangkan orang kampung tidak melihat website,” ujar Yuherina.
Dandy Koswaraputra dan Nazaruddin Latif berkontribusi untuk berita ini.