Polisi Pastikan Pelaku Tunggal Dalam Serangan di Tangerang
2016.10.20
Jakarta
Polisi mengatakan, penyerangan dengan senjata tajam dan dugaan bom pipa terhadap tiga anggota kepolisian di Tangerang, Banten, Kamis, 20 Oktober 2016, dilakukan sendiri tanpa ada kaitan dengan kelompok atau jaringan teroris.
“Ini pelaku tunggal,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiono kepada BeritaBenar.
Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, juga mengatakan bahwa tindakan pelaku yang diidentifikasi dengan inisial, SA (22) lebih tepat dikatakan sebagai fenomena lone wolf.
Lone wolf adalah seseorang yang menyiapkan atau melakukan tindak kekerasan sendiri tanpa struktur komando kelompok tertentu karena aksi yang dilancarkan adalah inisiatif pribadi.
Menurut Harits, sangat mungkin pemicunya adalah problem pribadi atau keluarga, tapi keyakinan yang dipahami SA menjadi legitimasi untuk tindakan yang dilakukannya.
“Aksi SA adalah kekerasan yang tidak terkait motif politik kelompok tertentu bahkan bukan desain dari kelompok yang SA berafiliasi kepadanya,” ujar Harits dalam pernyataan tertulis kepada BeritaBenar.
Harus dianalisa
Namun pakar terorisme dan praktisi kontra terorisme terakreditasi secara internasional, Rakyan Adibrata, kepada BeritaBenar mengatakan untuk memutuskan pelaku lone wolf atau bukan, harus dianalisa terlebih dulu darimana mulai terpapar paham radikal.
“Karena di Indonesia belum pernah ada contoh kasus serangan teror yang benar-benar murni lone wolf,” ujarnya.
Untuk melihat bagaimana awalnya pelaku terpapar paham radikal, Rakyan mengatakan hal itu bisa dilacak dari jejak aktivitasnya di internet dan media sosial.
Tetapi, pelaku meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Polri Kramat Jati, setelah beberapa jam sebelumnya menyerang pos polisi di Cikokol.
Dalam aksinya, SA menusuk Kapolsek Tangerang Kota Kompol Efendi, Kanit Dalmas Polres Metro Tangerang Kota Iptu Bambang Haryadi, dan Anggota Satuan Lalu Lintas Bripka Sukardi, dengan senjata tajam.
Pelaku juga sempat mengeluarkan pipa yang diduga sebagai bahan peledak namun pipa tersebut tidak sempat meledak.
Ketiga petugas polisi yang saat itu sedang bertugas untuk mengatur lalu lintas di Jalan Perintis Kemerdekaan, Cikokol, Tangerang Kota, Kamis pagi, mengalami luka-luka.
Sebelum melakukan penyerangan, SA mencoba menempelkan stiker bergambar logo Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di pos polisi tersebut.
Anjuran ISIS
Rakyan mengatakan, penggunaan senjata tajam dalam penyerangan konsisten dengan anjuran ISIS kepada simpatisannya untuk menggunakan pisau atau senjata tajam saat melakukan aksinya.
Namun, video amatir yang beredar di internet memperlihatkan pelaku ingin mengincar pistol karena dia telah mencuri peluru milik kakaknya, seorang anggota polisi. Keinginan pelaku tersebut terlihat dalam jawabannya atas beberapa pertanyaan yang diberikan kepadanya saat terbaring di tempat tidur rumah sakit.
"Iya. Saya ambil. Dia nggak tahu tapi. Biar saya dapat senjata," katanya di satu ruangan perawatan rumah sakit, seperti dikutip dari detik.com.
Senjata yang hendak diincarnya akan digunakan untuk membunuh orang lain. Pemuda pengangguran itu menyatakan bahwa ingin membunuh ansor thogut – sebutan yang sering digunakan kelompok radikal untuk kafir.
Awi mengatakan bahwa video itu diambil pada saat pelaku masih di Tangerang, namun media melaporkan pelaku langsung dibawa ke Kramat Jati setelah dilumpuhkan polisi dengan tembakan yang mengenai kedua kakinya dan bagian perut.
“Pelaku meninggal karena kehabisan darah,” ujar Awi.
Sering diingatkan polisi
Menurut Harits, SA pernah terafiliasi dengan Fauzan Al-Anshari, pimpinan pesantren dan kelompok pengajian Anshorulloh di Ciamis, Jawa Barat.
Fauzan sudah meninggal dunia karena sakit pada Desember 2015 dan sebelumnya ia dikenal sebagai pendukung ISIS.
“Sikapnya SA menjadi keras ketika berinteraksi dengan kelompok Ciamis ini,” ujar Harits.
Dia menambahkan, SA sebelumnya sering menempel stiker bertuliskan kalimat tauhid dan sudah diingatkan petugas kepolisian.
Bahkan, kakaknya telah meminta pada kawan sesama polisi untuk memberikan nasehat kepadanya, tetapi tidak didengarnya dan SA semakin antipati kepada polisi.
Harist mengatakan sejatinya seseorang berpotensi melakukan kekerasan bahkan teror dengan beragam alasan dan tidak selalu karena keyakinan yang kaku, namun juga bisa didorong oleh kondisi labil dan depresi sehingga seseorang bisa melakukan aksi nekat.
“Kita harus hindari generalisasi bahkan tidak mudah untuk mengaitkan dengan jaringan atau kelompok tertentu hingga keluar jauh dari substansi kekerasan seperti yang terjadi di tempat kejadian perkara,” ujar Harits.
Dengan meninggalnya pelaku, Rakyan mengatakan sangat besar kemungkinan kasus ini tidak berlanjut, namun Awi mengatakan meninggalnya pelaku tidak akan menghentikan penyelidikan kasus ini.
“Kita akan dalami melalui keluarganya. Kita juga akan melacak aktivitasnya (di internet),” ujar Awi.
Rakyan mengakui, serangan amatir seperti ini atau seperti yang terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Medan, Sumatera Utara, Agustus lalu, akan sangat mungkin terjadi lagi di masa mendatang.
“Ini karena pemerintah belum banyak berperan dalam mengkontranarasikan paham radikalisme,” ujar Rakyan.