Banyaknya anggota DPR terkait dinasti politik picu kekhawatiran atas demokrasi
2024.10.01
Jakarta
Banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dilantik pada Selasa yang memiliki hubungan dengan dinasti politik telah memicu kekhawatiran di kalangan pengamat tentang kualitas demokrasi di Indonesia.
Para analis berpendapat bahwa fenomena ini terus memperkuat ketidaksetaraan dan menghalangi terwujudnya demokrasi partisipatif yang sejati. Dinasti politik bukanlah hal yang asing di Asia, dan rakyat Indonesia sempat berharap dominasi ini akan berakhir setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada tahun 2014. Namun, para analis mengatakan justru dia kini tengah membangun dinastinya sendiri.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengatakan dari 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilantik, sedikitnya 79 di antaranya terafiliasi dengan dinasti politik, dengan indikator mempunyai relasi kekerabatan dengan pemangku kekuasaan dan elite partai, mulai di tingkat kepala daerah hingga pejabat di tingkat pusat.
Jumlah ini naik secara signifikan dari 48 anggota DPR terafiliasi dinasti politik pada komposisi DPR periode 2019-2024.
“Kita menemukan misalnya ada anggota DPR terpilih suami istri tapi dari daerah pemilihan (dapil) berbeda, terus ada ibu dan anak, lebih banyak anak elite partai, anak kepala daerah, itu semua yang kita kategorikan masuk dinasti politik,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus, kepada BenarNews.
Salah satu contoh yang disebutkan yaitu Diah Pikatan Putri Harpani, putri Ketua DPR Puan Maharani, yang maju dari dapil Jawa Tengah IV.
Selain itu, ditemukan pula anggota DPR yang berstatus suami-istri. Misalnya, kader Partai Gerindra seperti Himmatul Aliyah yang merupakan istri Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani.
Menurut temuan Litbang Kompas, 285 dari 732 anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2024-2029 atau 38,9 persen yang terindikasi memiliki ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional.
Sebanyak 220 orang dari jumlah itu adalah anggota DPR dan 65 orang sisanya merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Total angota DPD untuk periode 2024-2029 adalah 152 orang.
Sebuah penelitian pada tahun 2022 menemukan 23% anggota DPR periode sebelumnya terkait dengan dinasti politik.
“Khianati suara rakyat”
Lucius mengakui bahwa politisi yang terkait dinasti tetap memiliki hak politik untuk mengikuti kontestasi, tapi di sisi lain mereka mendapat keistimewaan dibanding rakyat biasa untuk dapat lolos ke Senayan.
“Di situ saya kira ketidakadilannya muncul kalau kita bicara soal hak politik karena hak politik warga tersumbat karena kuasa menentukan pencalonan legislatif ada di parpol, dan parpol itu oligarkis,” jelas Lucius.
Dia juga menyoroti fenomena mundurnya calon terpilih yang mundur demi memberikan jalan bagi calon yang terafiliasi dinasti politilk, seperti terjadi pada Sri Rahayu dan Arteria Dahlan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang digantikan oleh cucu Soekarno, Hendra Rahtomo Soekarno atau akrab disapa Romy Soekarno.
“Ini fenomena baru juga yang membuat prihatin karena semakin terlihat arogansi partai politik karena memotong suara rakyat,” ujar dia.
Menurut Lucius, pemilu langsung itu dilakukan agar wakil di DPR itu adalah orang yang langsung mendapat kepercayaan dari publik. Oleh karena itu, mereka tidak bisa diganti begitu saja oleh partai politik.
“Ini mengkhianati suara rakyat, tidak bagus untuk demokrasi kita ke depan,” jelas dia.
Pada tahun 2015, DPR mensahkan undang-undang yang melarang kerabat legislator yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri pada jabatan daerah seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Namun, Mahkamah Konstitusi kemudian memutuskan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional dan membatalkannya.
Saat ini, tidak ada undang-undang atau regulasi khusus yang mengatur masalah tersebut. Kondisi ini telah memicu seruan reformasi dari berbagai kalangan, termasuk organisasi masyarakat sipil, termasuk usulan untuk membatasi jumlah anggota keluarga yang dapat menjabat secara bersamaan, guna mencegah satu keluarga mendominasi posisi politik atau daerah tertentu.
Usulan juga mencakup peningkatan akses terhadap pendanaan dan sumber daya politik bagi kandidat baru dan independen, dengan harapan menciptakan persaingan yang lebih setara. Di samping itu, ada seruan untuk mereformasi pembiayaan kampanye agar pengaruh donor kaya dan keluarga politik dapat diminimalkan.
Sumber daya besar
Yoes Kenawas, peneliti politik dari Institute for Advanced Research Universitas Katolik Atma Jaya, mengatakan parpol menyukai dinasti pada pemilu legislatif karena calon yang terafiliasi dinasti politik sudah memiliki sumber daya dan nama untuk dicalonkan dan bertarung dalam pemilu.
“Dalam konteks pileg (pemilihan legislatif), nama-nama politisi dinasti politik itu dipakai untuk mendulang suara di pemilu,” ujar Yoes kepada BenarNews.
Dia menambahkan caleg-caleg terafiliasi dinasti politik sangat memudahkan dapat suara karena sudah memiliki dukungan politik dari bapaknya, ibunya, dan kakaknya, termasuk dukungan finansial.
“Kerabat-kerabat mereka bisa digerakkan untuk mendulang suara. Akses finansial yang dimiliki keluarganya bisa diwariskan ke anaknya atau keluarganya,” kata Yoes.
Menurut Yoes, dampak negatif dari maraknya dinasti politik dalam pemilu legislative membuat kandidat-kandidat yang memiliki rekam jejak baik kadang harus dipaksa mengalah oleh politik dinasti.
“Di dapil juga orang yang selama ini mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk partai bisa-bisa kalah dengan yang ‘berdarah biru,’” jelas dia.