Mengantar Pulang Primata Asli Borneo
2016.10.19
Balikpapan
Kent tampak ragu-ragu keluar dari kandangnya meskipun pintu sudah terbuka lebar.
Sesekali primata orangutan (Pongo pygmaeus) mengintip dari sela-sela lubang kandang, suasana Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim).
“Mungkin Kent malu kembali ke habitat alamnya,” tutur tim rescue Borneo Orangutan Survival Foundation (BSOF) Samboja, Suwardi kepada BeritaBenar, Rabu, 19 Oktober 2016.
“Tapi, dia akan cepat sekali beradaptasi dengan kondisi alam hutan di sini,” tambahnya.
Benar saja yang diucapkan salah seorang keeper orangutan Samboja itu karena perlahan tanpa ragu, orangutan berusia 13 tahun itu keluar dari kandang.
Ia langsung meraih batang pohon yang ada di dekatnya. Cengkraman tangannya kokoh, menggapai dahan pohon setinggi 10 meter hingga hilang dalam kerimbunan dedaunan pohon.
Pelepasliaran Kent pada Selasa petang, 18 Oktober 2016, adalah yang kedua kali setelah sebelumnya pernah dilakukan tahun 2014.
Kala itu, sepekan setelah dilepas, tim pemantau mendapati Kent dalam kondisi terluka parah.
Orangutan itu diduga kalah bersaing dengan salah satu pejantan dominan di kawasan Hutan Kehje Sewen.
“Saat itu kami memantau perkembangannya usai dilepasliarkan. Kami temukan terluka parah setelah berkelahi dengan pejantan lain. Terpaksa kami bawa pulang lagi,” kata Suwardi.
Selain Kent, Suwardi dan tim BSOF juga melepaskan empat orangutan lain di sisi selatan Hutan Kehje Sewe. Mereka adalah J-lo, Rafli, Jamur, dan Saprol.
Sudah lulus
Kelima individu orangutan tersebut dianggap sudah lulus tahap peliaran setelah dilatih hampir delapan tahun di Pusat Rehabilitasi BOSF Samboja.
“Mereka kami latih agar mampu bertahan hidup di alam liarnya. Proses peliaran bisa bertahun-tahun dan bahkan ada yang selamanya sampai hidup di pusat rehabilitasi,” tuturnya.
Tim rescue BOSF Samboja menempuh perjalanan darat 12 jam menuju Muara Wahau.
Setiap dua jam, rombongan berhenti untuk memberikan kesempatan dokter hewan memeriksa kondisi kesehatan orangutan sebelum dilepas.
Rombongan tim rescue juga menyeberangi Sungai Telen yang menjadi pembatas hutan Kehje Sewen dengan akses masyarakat.
Humas BOSF Samboja, Nico Hermanu, mengungkapkan Hutan Kehje Sewen merupakan lokasi pelepasliaran orangutan hasil didikannya.
“Hutan Kehje Sewen setidaknya mampu menampung 150 individu. Orangutan BOSF yang sudah lulus rehabilitasi akan dilepaskan di hutan ini,” jelasnya kepada BeritaBenar.
Sejauh ini, BOSF sudah melepasliarkan 49 orangutan di hutan lindung seluas 86.450 hektare itu.
Aktivis memanggul orangutan untuk dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur, Kalimantan Timur, 18 Okotober 2016. (Dok. BOSF Samboja)
200 tunggu giliran
Nico menyebutkan, terdapat 200 orangutan BOSF Samboja lain yang menunggu giliran proses pelepasliaran ke habitat alamnya.
Saat ini, orangutan masih mengikuti pelatihan tentang bagaimana cara bertahan hidup di alam liar.
“Kami ajari cara manjat pohon, membuat sarang, mencari makanan. Mereka tidak boleh bergantung lagi pada manusia,” paparnya.
BOSF Samboja, tambahnya, sedang berupaya memperluas lokasi peliaran orangutan di hutan Kehje Sewen lewat skema Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistim.
Nico menargetkan terdapat 30 ribu hektare area tambahan pelepasliaran orangutan di Kehje Sewen.
“Rehabilitasi orangutan membutuhkan biaya besar. Satu orangutan butuh biaya Rp 35 juta per tahunnya. Itu di luar biaya sewa hutan, kesehatan, gaji pegawai dan lain lain,” ujarnya.
Terancam punah
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Sunandar Trigunajasa mengatakan orangutan masuk satwa kategori sangat terancam punah.
Hasil riset Badan International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebutkan keberadaan orangutan di Kalimantan terdesak akibat aktivitas manusia.
“Sesuai data IUCN, sudah sangat terancam punah saat ini,” ujarnya ketika dihubungi BeritaBenar.
Sunandar menyebutkan, kajian sejumlah badan konservasi tentang populasi orangutan Kalimantan yang mencapai 50 ribu individu.
Tapi ia meragukan akurasi pendataan populasi orangutan ini mengingat keberadaannya sulit dijumpai manusia.
“Orangutan sangat sulit ditemui. Survey jumlah populasi orangutan hanya berdasarkan sarangnya yang berhasil ditemui di pohon-pohon,” jelasnya.
Sunandar meminta seluruh pihak untuk menjaga kelestarian hutan-hutan di Kalimantan.
Pemprov Kaltim, menurutnya, sudah berinisiatif membentuk Tim Satuan Tugas Bahaya Kebakaran di masing-masing perusahaan perkebunan dan hak pengusahaan hutan (HPH) setempat.
“Kebakaran menjadi ancaman utama bagi populasi orangutan. Saat ini sudah terbentuk 50 regu Satgas Kebakaran di seluruh wilayah Kaltim,” tegasnya.
Konflik meningkat
Tim rescue Centre for Orangutan Protection (COP), Ramadani mengungkapkan praktik pembantaian primata orangutan kian meningkat setiap tahunnya.
Mereka mencatatkan terdapat 11 kasus konflik antara masyarakat dan orangutan sepanjang tahun 2016 ini.
“Cenderungnya makin meningkat konfliknya, dari pembakaran, pembunuhan, hingga penangkapan orangutan,” ungkapnya.
Ramadani menyatakan habitat alam orangutan terdesak akibat keberadaan perusahaan kelapa sawit, pertambangan, HPH, hingga pemukiman warga.
“Orangutan ini akhirnya mencari makanan di sekitar pemukiman masyarakat,” katanya.
Dia juga mengeluhkan minimnya pengetahuan masyarakat saat mendapati keberadaan orangutan karena mereka cenderung melukai satwa itu saat berada di pemukiman.
“Mereka tidak tahu mau diapakan. Masyarakat tidak tahu fungsi dari BKSDA yang harus dilapori keberadaan satwa dilindungi ini,” jelasnya.
Bagi Suwardi, dia hanya berharap Kent dan keempat rekannya bisa bertahan di alam liar bersama habitatnya.