Pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto picu keresahan soal kebebasan seni
2024.12.24
Jakarta
Keputusan mendadak untuk membatalkan pameran lukisan karya pelukis Yos Suprapto di Galeri Nasional Jakarta telah memicu kritik keras dari para aktivis dan seniman, yang menyebut insiden ini sebagai tanda bahaya bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Yos, yang dikenal dengan gaya realisme simbolis, awalnya dijadwalkan menggelar pameran bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan mulai 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025. Namun, beberapa jam sebelum pembukaan, pameran itu dibatalkan karena beberapa lukisan dianggap “vulgar” dan “berpotensi menyinggung pihak lain,” menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Salah satu karya yang dipermasalahkan adalah Konoha I, yang menampilkan sosok pria berpakaian seperti raja duduk di singgasana dengan kakinya menginjak orang-orang yang tengkurap. Di belakangnya, tampak individu berseragam menodongkan senjata.
Lukisan lain, Konoha II, menggambarkan dua orang tanpa busana—salah satunya mengenakan atribut Raja Jawa—dikelilingi figur berwarna biru yang menjilati selangkangannya, dengan latar bangunan yang menyerupai istana kepresidenan di Ibu Kota Nusantara.
Para aktivis HAM dan pegiat seni mengutuk pembatalan ini sebagai bentuk sensor yang merugikan kebebasan berekspresi.
“Ini peringatan bagi masyarakat kita bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia sedang dalam keadaan bahaya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam diskusi di Jakarta pada Minggu (22/12).
“Penyensoran atau pembredelan karya seni hanya terjadi di negara otoriter dengan alasan mengganggu stabilitas politik, norma agama, dan norma sosial ekonomi,” ujar Usman lagi.
Istilah Raja Jawa ini sempat menjadi perbincangan menyusul pidato Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam musyawarah nasional partai pada 21 Agustus lalu.
Meski Bahlil kala itu tak pernah memerinci sosok yang dimaksud, tapi sejumlah pengamat politik kala itu menyimpulkan bahwa Raja Jawa yang dimaksud Bahlil adalah Joko “Jokowi” Widodo yang kala itu masih menjabat presiden.
Peneliti Koalisi Seni, Ratri Ninditya, menyebut polemik batalnya pameran lukisan Yos sebagai pertanda negara yang semakin represif terhadap beragam kritik.
“Ini menegaskan bahwa negara semakin melarang suara-suara kritis,” kata Ratri, seraya menyitir sejumlah pelarangan karya-karya yang sempat terjadi sepanjang tahun ini seperti pemutaran film Eksil yang menceritakan pelarian politik pasca 1965 dan Dirty Vote yang membahas dugaan kecurangan pada rangkaian Pemilu 2024.
Ratri menilai kebebasan berekspresi pun berpotensi kian parah di masa-masa mendatang, terlebih jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hasil revisi resmi berlaku 2026, lantaran mereka yang menghina presiden dan pejabat negara dapat dipenjara.
“Sekarang belum berlaku saja sudah banyak pelarangan,” ujarnya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon membantah tuduhan bahwa pemerintah telah membatasi kebebasan berekspresi.
"Saya kira tidak ada bredel. Itu kurator yang menentukan," ujar Fadli kepada wartawan akhir pekan lalu.
"Saya kira, kami mendukung kebebasan berekspresi, tapi tentu kebebasan berekspresi itu jangan sampai melampaui batas kebebasan orang lain."
Pernyataan senada disampaikan Zamrud Setya Nugraha, ketua tim kuratorial dan pameran dari Indonesian Heritage Agency, yang menyebut pembatalan terjadi karena ketidaksepakatan antara Yos dan kurator.
"Tidak (ada arahan). Kurator dalam proses kerja profesional pasti punya ruang yang tidak bisa diintervensi," ujar Zamrud seperti dikutip Kompas.com.
Namun, kritik terus bermunculan. Penulis Okky Madasari melalui akunnya di media sosial X menyebut pembatalan ini sebagai ironi, mengingat Fadli sebelumnya dikenal sebagai pembela kebebasan berekspresi.
Menurut Okky, Fadli dan kementeriannya semestinya menjadi lembaga yang memastikan bahwa tidak ada pemberangusan terhadap produk budaya.
“Ini belum ada tiga bulan pemerintahan baru, sudah ada sensor terhadap pameran di Galeri Nasional,” tulis Okky.
Yos sendiri membantah tudingan bahwa karyanya vulgar.
“Kalau itu dianggap kemesuman, berarti otak orang yang mengatakan bahwa itu mesum, bahwa itu senggama, orang itu berpikirannya sebatas itu,” kata Yos dalam keterangan pers pekan lalu.
“Dalam bahasa seni rupa, telanjang itu simbol kejujuran, simbol kepolosan. Itu hanya simbol kesenian yang harus dipahami dengan bahasa kesenian.”
Dalam lukisan Konoha I, Yos mengatakan hendak menceritakan tentang bagaimana kekuasaan memperlakukan rakyat kecil, di mana mereka akan selalu menanggung kebijakan penguasa.
Sementara dalam Konoha II, Yos mengatakan hendak mengisahkan soal kebiasaan "asal bapak senang". Kebiasaan itu diterjemahkannya lewat visual orang saling menjilat.
"Asal bapak senang itu saya terjemahkan menjilat pantat. Menjilat itu kan ekspresi yang kerap kita dengar. Metafora," ujarnya, seraya menambahkan bahwa kebiasaan "menjilat" itu kemudian membuat masyarakat menjadi hancur lebur.