Indonesia Membeli 6 Jet Latih T-50 Senilai Rp3,4 Triliun dari Korsel

Pejabat di TNI AU menyebut penambahan pesawat itu “sangat dibutuhkan”.
Ronna Nirmala
2021.07.21
Jakarta
Indonesia Membeli 6 Jet Latih T-50 Senilai Rp3,4 Triliun dari Korsel Sebuah jet latih T-50 Golden Eagle Angkatan Udara Republik Korea melakukan manuver dalam Singapore Airshow, 2 Februari 2010.
Reuters

Indonesia menyepakati pengadaan enam jet tempur latih T-50i senilai total U.S.$240 juta atau berkisar 3,4 triliun rupiah buatan Korea Selatan sebagai bagian dari upaya untuk memodernisasi peralatan pertahanan, demikian kata TNI Angkatan Udara, Rabu (21/7).

Korean Aerospace Industries (KAI) bakal memasok enam jet latih supersonik T-50 Golden Eagle secara bertahap mulai Desember 2021 hingga Oktober 2024, tulis pernyataan perusahaan yang dirilis kantor berita Korsel, Yonhap.

“Pesawat T-50 yang akan datang bakal menambah jumlah pesawat sejenis yang sebelumnya sudah dioperasikan di Skadron Udara 15 Wing 3 Lanud Iswahjudi (Magetan, Jawa Timur),” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma Indan Gilang Buldansyah kepada BenarNews.

Pada 2011, KAI dan Indonesia menyepakati pembelian 16 unit T-50 Golden Eagle senilai U.S.$400 juta. Kesepakatan tersebut menjadikan Indonesia sebagai konsumen pertama di luar Korea dari jet tempur buatan Amerika Serikat-Korea Selatan itu.

Sementara situs pertahanan, Janes, melaporkan Kementerian Pertahanan bakal menggunakan alokasi belanja pertahanan tahun 2022 untuk pembayaran uang muka akuisisi keenam T-50i itu. Sementara sisanya bakal ditutupi melalui pinjaman luar negeri, sebut seorang sumber di kementerian kepada Janes.

Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Ahzar Simanjuntak tidak merespons saat dimintai keterangannya perihal ini.

TNI AU mengatakan saat ini Indonesia memiliki 15 unit T-50 Golden Eagle setelah insiden kecelakaan serius yang terjadi pada Desember 2015. Ketika itu, T-50 Golden Eagle yang tengah melakukan aksi akrobatik terbang rendah dalam acara Yogya Airshow di Lapangan Udara TNI Adisucipto meluncur dengan cepat ke area lapangan di belakang bandara. Pilot dan seorang kru jet meninggal dunia.

Kecelakaan lain juga pernah terjadi pada Agustus 2020, saat T-50 Golden Eagle tergelincir dalam latihan di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. Pilot dan seorang instruktur penerbang menderita luka-luka dari insiden tersebut.

Pejabat di TNI AU yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada BenarNews penambahan ini “sangat dibutuhkan” untuk memperkuat kapasitas personel AU, merujuk terbatasnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang mendukung saat ini.

T-50 Golden Eagle dikembangkan KAI dengan bantuan produsen jet tempur AS, Lockheed Martin, sebagai salah satu jet dengan kemampuan serang yang ringan.

Peneliti pertahanan dan militer senior Marapi Consulting & Advisory, Beni Sukadis, mengatakan T-50 telah menjadi bagian dari skuadron TNI sejak 2013. Oleh angkatan udara Indonesia, jet ini digunakan untuk melatih para pilot agar dapat menerbangkan pesawat tempur F-16.

“Sebagai pesawat latih, sudah cukup memadai untuk transisi ke pesawat F-16. T-50 memiliki kemampuan membawa senjata, tapi senjata ringan, yaitu kanon ukuran kecil 20 mm, misil air to intercept (AIM) jarak menengah, juga bom cluster,” kata Beni kepada BenarNews.

Beni menilai rencana penambahan enam armada T-50 bagi TNI AU sudah cukup untuk menyokong pengembangan kapasitas personel. “Untuk jumlah pesawat latih, saya pikir itu masih cukup,” ujarnya.

Selain jet latih, Indonesia-Korea Selatan juga menjalin kerja sama pengembangan pesawat tempur generasi baru KF-X/IF-X. Prototipe pertama dari proyek tersebut diluncurkan di markas KAI di Sacheon pada April 2021 dalam acara yang dihadiri Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Proyek pengembangan jet senilai lebih dari 100 triliun rupiah itu sempat terkendala setelah Indonesia menunggak pembayaran cicilan hingga U.S.$420 juta atau sekitar Rp6,2 triliun. Yonhap, mengutip seorang sumber di pemerintahan Korsel, ketika itu melaporkan bahwa kedua negara tengah membahas renegosiasi tunggakan, di tengah spekulasi Indonesia bakal mundur dari proyek tersebut.

Seorang sumber familiar dengan kebijakan industri pertahanan mengatakan bahwa dalam buku program prioritas nasional pertahanan, tidak tercantum anggaran untuk program pesawat tempur KF-X.

“Semua ada angkanya dalam milyar atau triliun, kecuali KF-X,” ujarnya.

“Sepertinya program itu tenggelam. Bapak (Prabowo) cenderung ingin membeli saja, alih-alih turut membuat,” ujar sumber itu.

Sukhoi Su-35

Juga pada Rabu, Juru Bicara Badan Kerja Sama Militer Rusia Valeria Reshetnikova mengatakan kepada jurnalis setempat bahwa negara itu akan tetap melanjutkan rencana pengadaan 11 unit Sukhoi Su-35 dengan Indonesia.

“Sejak awal, proyek pengadaan 11 jet tempur multiguna Su-35 ke Jakarta telah menarik perhatian dunia. Tidak mengherankan bahwa setelah penandatanganan kesepakatan, pihak Indonesia menghadapi tekanan dari sejumlah negara,” kata Reshetnikova, dikutip dari kantor berita Rusia, TASS.

“Kendati demikian, kami dengan yakin menegaskan bahwa Rusia akan melanjutkan perjanjian itu,” lanjutnya.

Pada 2018, Indonesia telah menyepakati pembelian 11 unit Sukhoi Su-35 dari Rusia senilai total U.S.$1,14 miliar melalui sistem barter. Namun tidak lama setelahnya, pemerintah AS memberlakukan aturan tentang pemberian sanksi kepada negara yang melakukan kerja sama dengan Rusia.

Sejak itu, rencana pembelian pesawat Sukhoi tidak kunjung menemui titik temu. Beberapa alternatif pun muncul, di antaranya mengubah rencana pembelian 11 Sukhoi Su-35 dengan F-35 dari AS.

BenarNews telah menghubungi Kementerian Pertahanan untuk mengonfirmasi kabar tersebut namun tak kunjung mendapatkan respons.

Menteri Prabowo dalam sebuah acara virtual pada awal Juli, mengatakan pihaknya berharap Indonesia dapat mengakuisisi sejumlah pesawat tempur canggih seperti F-15 dari AS, Rafale dari Prancis, maupun Sukhoi Su-35 dan Su-57 dari Rusia.

“Kalau kita sekarang punya uang dan sudah ada keputusan, saya inginnya beli pesawat tempur canggih jenis, sebut apa, F-15 dari Amerika, Sukhoi Su-35 dan Su-57 dari Rusia, Rafale dari Prancis,” kata Prabowo, seraya menekankan, “kita beli hari ini, langsung tanda tangan kontrak, datang 6 tahun lagi.”

Seorang sumber di kementerian mengatakan bahwa belum ada pembicaraan lagi soal pembelian Sukhoi.

“Soal Sukhoi sedang on hold (tertahan), entah sampai kapan,” kata sumber itu kepada BenarNews.

“Ketika Refale mulai dibicarakan, pembicaraan soal Sukhoi sudah tidak pernah dibicarakan lagi. Terus tiba-tiba kita ditawarkan F-15,” ujarnya.

Pada Juni, Kementerian Pertahanan mengajukan anggaran belanja pertahanan hingga Rp1.760 triliun yang bakal dialokasikan hingga tiga tahun ke depan untuk pengadaan alutsista, pemeliharaan, dan pembayaran bunga.

Kementerian menyebut rencana belanja yang dilakukan secara langsung pada tahun ini bakal meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam mendapatkan alat pertahanan dengan harga yang terjangkau.

Ahmad Syamsudin berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.