Pemerintah Mendapat Tekanan Keras Tentang Pemberian Izin Rumah Ibadah

Oleh Aditya Surya
2015.06.18
150618_ID_ADITYA_PENDIRIAN_TEMPAT_IBADAH_700.jpg Jamaah Kristen Gereja Filadelfia dan GKI-Yasmin mengadakan misa Natal di luar istana presiden di Jakarta pada 25 Desember 2012.
AFP

Pemerintah Indonesia mendapat tekanan keras agar merubah undang-undang tentang pendirian rumah ibadah yang dinilai telah meyebabkan banyak konflik horizontal.

“Aturan ini perlu diperbarui sebagai wujud toleransi dan penghormatan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Selama ini karena eksistensi aturan ini banyak sekali konflik sosial,” kata aktivis Komnas HAM, Imdadun Rahman, kepada BeritaBenar hari Kamis, 18 Juni.

Dia merujuk pada UU tahun 2006 yang mengharuskan pendirian rumah ibadah mendapatkan persetujuan rari 60 kepala keluarga yang  berbeda agama untuk memperoleh izin bangunan. Perselisihan persyaratan ini telah menyebabkan penyegelan dan perusakan gereja dan sarana ibadah minoritas lainnya.

“Masalah tersebut masih merupakan masalah kronis,” ujar Imdadun, sambil mengatakan bahwa di Jawa Barat saja setidaknya ada 81 konflik terjadi tahun lalu berkaitan dengan pendirian rumah ibadah.

Imdadun mengatakan bahwa pihaknya beserta dengan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2015-2019 tapi RUU PUB tersebut tidak lolos dalam sidang.

Salah satu pasal dalam RUU PUB berisi tentang aturan pendirian rumah ibadah.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Musdah Mulia, mengatakan bahwa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang mengatur tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah perlu diperbaiki atau dihapuskan.

“Karena Undang-Undang ini membuat diskriminasi terhadap kelompok minoritas,” kata Musdah kepada BeritaBenar.

“Bagi mereka yang minoritas, angka ini susah dicapai,” katanya lanjut sambil menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Sunni Muslim.

Intoleransi yang mengakar

Sejak tahun 2008, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin telah disegel oleh administrasi kota Bogor, setelah sekelompok orang yang menyebut diri mereka Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) berdemonstrasi di depan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor.

Tetapi Jemaat GKI Yasmin terus menuntut agar pemerintah mengijinkan mereka untuk beribadah di Gereja.

Mahkamah Agung memutuskan pada tahun 2010 bahwa GKI Yasmin memiliki izin bangunan yang valid, namun jemaat masih menunggu pemerintah pusat dan daerah untuk menegakkan putusan dan membuka kembali gereja.

Mereka memprotes dengan terus melakukan ibadah di depan Istana Merdeka dan mengajukan petisi kepada DPR untuk menyampaikan keinginan mereka.

Beribadah di bawah terik matahari bukanlah hal baru bagi kami. Kami telah melalukannya setiap hari,” kata Yefta Sembiring (45) anggota konggregasi GKI Yasmin.

GKI Yasmin berharap bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mampu menjadi penengah sengketa gereja.

"Sayangnya sampai sekarang Presiden Jokowi tidak memberikan keputusan apapun. Meskipun sorotan dunia internasional terhadap intoleransi di Indonesia semakin besar,” lanjut Yefta.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, juga menyayangkan sikap pemerintah kota Bogor.

“Jangankan untuk memberikan ijin bangunan. Tahun lalu permohonan untuk memperingati hari Natal di gereja saja ditolak keras,” kata Bonar.

Penolakan ijin tersebut dilakukan oleh Walikota Bogor Bima Arya beserta Forkami, katanya.

Forkami terkenal sebagai organisasi Islam yang tidak memiliki toleransi terhadap pemeluk agama lain.

“Persengketaan ini hanya bisa diselesaikan lewat jalur hukum,” katanya lanjut.

Tokoh lintas agama dari GKI Maulana Yusuf, Bandung, Albertus Patty, mengatakan bahwa anggota GKI Yasmin juga telah mengajukan tuntutan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dapat beribadah di Gereja mereka.

“Perjuangan untuk beribadah sudah dilakukan dengan semaksimal mungkin termasuk dengan cara memprotes di depan anggota dewan,” katanya.

Penyelesaian secara kelembagaan

Kelompok minoritas, termasuk jemaat GKI Yasmin dan perwakilan Muslim Syiah, telah mengajukan petisi ke Kantor Komisi VIII DPR Republik Indonesia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta tanggal 11 Juni.

“Mereka meminta Departemen Agama untuk menjamin kemerdekaan beribadah bagi setiap warga,” kata Jalaluddin Rakhmat, anggota Komisi VIII kepada BeritaBenar.

“Kita akan memastikan pesan ini tersampaikan. Sudah sepantasnya setiap warga mempunyai hak menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya, UU kita menjamin hal tersebut,” katanya.

Ketika ditanya tentang status RUU PUB yang gagal disahkan, Menag menjawab bahwa pemerintahannya akan terus memperhatikan hal ini.

“Tentunya ini menjadi prioritas Indonesia agar toleransi dan penghormatan terhadap kebebasan beragama terjamin di Indonesia,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 17 Juni.

“Ini perjuangan keras kita bersama,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.