Pemberontak Papua Serang Proses Evakuasi Jenazah Pekerja Jembatan

Victor Mambor
2018.12.06
Jayapura
181206-ID-Papua-1000.jpg Militer Indonesia dan petugas kepolisian membawa kantung mayat setibanya di Timika, provinsi Papua, pada 6 Desember, 2018. Pasukan keamanan Indonesia telah mengambil mayat 16 orang korban penembakan.
AFP

Pemberontak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sempat menyerang pasukan TNI-Polri yang mengevakuasi 16 jenazah pekerja jembatan dari pedalaman Puncak Kabo, Kabupaten Nduga, Kamis, 6 Desember 2018, sehingga terjadi baku tembak.

“Saat kami melakukan evakuasi 16 jenazah ke lokasi pendaratan helikopter mendapat tembakan dari kelompok separatis,” kata Danrem 172/PWY Kolonel Inf Jonathan Binsar P. Sianipar dalam keterangan yang dirilis Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih.

Menurutnya, proses evakuasi para korban yang dibunuh pada Minggu lalu mengalami kendala karena hutan lebat dan medan yang sulit, ditambah tembakan dari pemberontak Papua.

Tidak ada korban di pihak TNI dalam serangan itu. Sedangkan dari kelompok pemberontak TPNPB belum diperoleh keterangan menyangkut korban.

Pencarian beberapa orang yang dinyatakan hilang masih terus dilakukan oleh tim gabungan TNI dan Polri, kata Pangdam Cenderawasih Mayjen Yosua Pandit Sembiring.

Pasukan TNI-Polri berhasil mencapai Puncak Kabo, yang merupakan lokasi pembunuhan para pekerja yang sedang membangun jembatan Kali Yigi-Kali Aworak, Rabu sore.

Dalam rekaman video, terlihat mayat-mayat korban tergeletak di jalan berbatu. Selain itu terlihat kendaraan dan alat berat yang dibakar, beberapa masih mengeluarkan api.

“Rabu jam enam sore baru semua jenazah bisa dikumpulkan,” Yosua kepada wartawan di Wamena.

Meskipun keluarga korban banyak yang menunggu di Wamena, jenazah korban terpaksa  dibawa ke Timika, Kabupaten Mimika, karena pertimbangan cuaca dan ketersediaan sarana medis untuk proses identifikasi.

Selain 16 jenazah, lanjut Pangdam, ikut dievakuasi empat orang selamat dari PT Istaka Karya, dua guru SMP Mbua, enam orang dari Puskesmas, ditambah satu orang teknisi Telkom.

Yosua memastikan semua keluarga yang menunggu di Wamena akan difasilitasi untuk melihat jenazah korban.

Serangan terbesar

Serangan pemberontak TPNPB terhadap pekerja Jalan Trans Papua yang menyebabkan 16 orang tewas adalah yang terbesar dalam 10 tahun terakhir di Papua.

Jumlah ini bahkan lebih besar dari periode 2014-2017 di mana 11 warga sipil dan 11 aparat keamanan tewas dalam 19 kasus kekerasan bersenjata di Tanah Papua.

Egianus Kogoya, pemimpin TPNPB yang mengklaim pelaku serangan diperkirakan punya sekitar 50 anggota, dengan persenjataan yang tak jauh berbeda dengan milik TNI-Polri.

Kelompok ini beroperasi sepanjang wilayah Nduga hingga Mimika. Egianus adalah putra Silas Kogoya, pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat sekitar tahun 90an.

Dalam satu yang dipublikasikan di Youtube, Egianus mengatakan, senjata yang mereka direbut dan dirampas dari aparat keamanan Indonesia.

Klaim Egianus itu juga dikuatkan dengan pernyataan juru bicara TPNPB, Sebby Sembom, saat berbicara kepada BeritaBenar melalui telepon.

"Semua (senjata) kami ambil dari TNI-Polri. Kita bunuh, ambil, bunuh, ambil," ujarnya, yang menolak menyebutkan jumlah persenjataan kelompok Egianus.

Kapendam Cenderawasih, Kolonel Muhamad Aidi, mengakui jika kelompok Egianus memiliki senjata standar militer dan jumlahnya puluhan.

“Sebagian senjata api itu diambil dari hasil rampasan terhadap TNI-Polri di pos-pos,” katanya

“Sebagian juga yang selama ini berhasil kita sita, senjatanya ada saat kontak tembak, ada yang indeks TNI, Polri, ada juga yang bukan indeks TNI-Polri. Artinya berasal dari luar."

Kelompok Egianus hanya satu dari sekian banyak gerilyawan TPNPB yang diperkirakan lebih dari 1.000 personel dengan kekuatan senjata beragam.

Sebagian besar kelompok TPNPB terkonsentrasi di wilayah pegunungan tengah Papua.

“Serangan yang dilakukan TPNPB sudah dipersiapkan. Kami sudah umumkan perang awal tahun 2018 lalu,” ungkap Sebby.

Ia mengaku dalam serangan pada 2 Desember itu tidak ada anggota TPNPB yang tewas, namun beberapa orang terluka kena tembakan.

Kesepakatan

Sejak 2017 rupanya telah ada kesepakatan antara para pekerja jalan dan TPNPB, di mana para pekerja harus mengosongkan kamp mulai tanggal 24 November setiap tahunnya.

Kesepakatan ini diungkapkan seorang mantan pekerja PT. Istaka Karya. Ia juga mengakui bahwa selama bekerja, tidak ada Surat Perjanjian Kerja (SPK) sebagai jaminan.

“Waktu itu November 2017, dibuat perjanjian bahwa setiap tanggal 24 November mess atau camp harus dikosongkan karena 1 Desember perayaan hari kemerdekaan mereka. Waktu itu kita turun tanggal 27 November 2017,” ungkap Nathal, yang pernah bekerja sebagai operator alat berat di proyek jalan dan jembatan Habema-Mugi.

Walaupun saat itu pimpinan proyek di lapangan berkeras bertahan, Nathal dan pekerja lain tetap keluar dari mess karena tidak ada jaminan mereka bisa selamat.

“Saya menyesal, kenapa mereka masih ada di kamp? Padahal sudah jelas kamp itu harus dikosongkan mulai tanggal 24 November,” ujar Nathal.

Terkait penyerangan pos TNI di Mbua, Makbul, buruh yang sedang bekerja membangun SMP Mbua mengaku baku tembak antara TPNPB dan anggota TNI di pos itu berlangsung dari jam lima pagi hingga tujuh malam.

“Pada saat penyerangan pos TNI itu, kebetulan ada empat orang yang berhasil lolos saat penembakan di distrik Yall yang kabur ke pos TNI sehingga kami diserang,” kata Makbul.

Usai baku tembak mereda, ia bersama empat orang yang selamat dari Yall dan beberapa TNI menggotong mayat anggota TNI yang tertembak itu sambil berlari meninggalkan pos TNI hingga bertemu tim evakuasi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.