Pemerintah Berencana Revisi UU Antiterorisme
2016.01.19
Jakarta
Empat hari pascateror di jantung Kota Jakarta, pemerintah menggelar rapat khusus yang membahas tindakan-tindakan yang diharapkan dapat mengantisipasi kejadian serupa ke depannya. Salah satu hal penting yang dibahas dalam rapat yang digelar di Istana Negara Jakarta, pada hari Selasa ini adalah pengkajian ulang Undang-Undang No. 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh pimpinan lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan sejumlah menteri itu, Presiden Joko Widodo mengajak para kepala lembaga negara yang hadir untuk berpartisipasi dalam mengkaji ulang peraturan tersebut.
“Karena memang perubahan ideologi sangat cepat, yang tentu saja perlu kita sikapi dengan secepat-cepatnya pula,” kata Presiden di Istana Negara, seperti dilansir Tempo.co.
Sementara itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menambahkan pemerintah sebenarnya sudah mendeteksi adanya aktivitas-aktivitas di luar kewajaran sejak November lalu.
“Tapi ada bagian-bagian di dalam UU No. 15/2003 dimana pemerintah tidak bisa melakukan tindakan. Sebagai contoh adalah diketahui adanya latihan dan simulasi rancangan membuat bom. Simulasi itu menggunakan bahan dari kayu. Ketika sebagai alat bukti, tidak bisa dijerat hukum, karena UU tidak memungkinkan. Maka pemerintah ingin mendengarkan masukan dari kepala-kepala lembaga tinggi negara,” ujar Pramono.
Usai rapat tersebut, pemerintah mengatakan seluruh pimpinan lembaga sepakat bahwa harus ada revisi aturan yang sudah ada untuk mencegah tindak terorisme, namun untuk saat ini belum diputuskan apakah perubahan itu akan dilakukan lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ataupun revisi UU.
Sebelumnya, kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah berkali-kali meminta agar UU direvisi agar penegak hukum diberi kewenangan yang lebih besar untuk menindak orang-orang yang diketahui aparat pernah melakukan pelatihan senjata di negara lain.
Revisi dibutuhkan
Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malikus Saleh Aceh, mengatakan banyak sekali payung hukum yang diperlukan aparat keamanan terutama polisi dalam menangani isu ini.
“Kalau polisi meminta kewenangannya ditambah, harusnya dipenuhi. Yang jelas harus satu institusi saja yang diberi kewenangan, jangan sampai lebih dari itu. Karena kita punya tentara dan lain-lain. Mereka bisa diperbantukan kalau diperlukan,” ujar Al Chaidar kepada Berita Benar.
Al Chaidar menekankan revisi harus difokuskan dalam penanganan tindakan-tindakan tertentu yang mengarah pada terorisme.
“Jika muncul tindakan-tindakan tersebut, pelaku bisa ditangkap. Dan yang paling penting pemerintah harus mengeluarkan UU atau Perppu tentang definisi dan daftar organisasi-organisasi teroris atau terlarang. Dengan adanya daftar tersebut, masyarakat bisa mengetahui mana saja daftar organisasi terlarang. Orang jadi paham hanya karena ikut organisasi tersebut saja bisa ditangkap,” tegas Al Chaidar.
Dia juga mengatakan efektivitas sebuah peraturan tergantung mandat yang diberikan kepada aparat. Seperti di Malaysia atau Singapura, peraturan antiterorisme cukup efektif karena kewenangan yang diberikan sangat besar.
“Mereka jadi sangat berkuasa,” tegasnya.
Al Chaidar juga menekankan pentingnya upaya pemerintah untuk memberikan akomodasi politik bagi umat Muslim secara umum, agar paham-paham radikal yang muncul dari kelompok-kelompok Islami dapat ditangani.
“Zaman Orde Baru dulu ada Kompilasi Hukum Islam, sebaiknya ini diperluas. Jadi [kelompok-kelompok radikal] kehilangan alasan untuk membenci negara ini. Akomodasi politik penting. Pemerintah bisa mengajak para pemuka agama untuk merumuskan peraturan ini,” ungkapnya.
Mengenai adanya kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan diberlakukannya pembatasan berorganisasi tersebut, Al Chaidar menanggapi dengan enteng.
“Ini terkait hak asasi manusia yang lebih luas. Organisasi-organisasi intoleran itu harus ditindak, karena dari awalnya memang berencana untuk melakukan pelanggaran HAM. (Nabi) Muhammad saja menghormati kaum Yahudi dan Nasrani. Organisasi-organisasi eksklusif ini malah muncul dan mengklaim diri berhak melanggar HAM,” tegasnya.
Revisi 'langkah reaktif'
Pandangan berbeda diungkapkan SETARA Institute, organisasi yang mengkaji isu-isu HAM dan demokrasi. SETARA mengatakan revisi UU maupun Perppu merupakan langkah reaktif pemerintah yang memanjakan aparat keamanan, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN).
“UU tersebut sudah lebih dari cukup untuk memberantas terorisme dan terbukti Polri/BNPT selama ini mampu menangani terorisme dan mengurai jaringan teror di Tanah Air,” kata Ketua Setara Institute, Hendardi, seperti dilansir dalam akun Twitter @SuaraSETARA.
Dia menganggap, UU telah menyediakan kemewahan bagi aparat untuk mengatasi terorisme, termasuk mengatur berbagai kekhususan penindakan, kategori alat bukti, dan mekanisme kerja. Demikian juga penindakan terkait pendanaan aksi teror, telah diatur dalam UU 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teorisme.
“Jadi tidak relevan menjawab teror di Jl. MH. Thamrin dengan menerbitkan Perppu,” tambah Hendardi.
Isu utama pemberantasan terorisme, lanjutnya, adalah kinerja deradikalisasi yang tidak komprehensif, sinergis, dan berkelanjutan.
“Perppu harus ditolak apalagi dengan rencana pemberian kewenangan pada BIN untuk melakukan penangkapan. BIN adalah pengepul informasi yang secara cepat dan mekanistik harus disalurkan ke aparat penegak hukum,” lanjutnya.
Sehari setelah serangan yang menewaskan empat warga sipil dan keempat terduga pelaku itu, Kepala BIN Sutiyoso menuai kontroversi dengan meminta kewenangan yang lebih besar bagi lembaganya untuk bisa melakukan penangkapan.
Hendardi menilai, potensi pelanggaran HAM akan sangat kuat jika pemberantasan terorisme dilakukan membabi buta, termasuk keluar jalur dari sistem peradilan pidana, dimana Polri lah yang memiliki kewenangan menegakkan hukum.
Dia menganggap, dalam penindakan, masalah terbesar selama ini adalah koordinasi antarinstitusi keamanan dan ego sektoral antarinstitusi yang perlu dihilangkan. Karena, menurutnya, Pasal 53 dalam KUHP sudah mengatur bahwa setiap ada dugaan kuat dengan alat bukti yang cukup, pelaku bisa ditindak.