Pemerintah Dinilai Berperan dalam Mendiskriminasi LGBT

Komnas HAM sedang menyusun kebijakan untuk meredam kekerasan terhadap LGBT di Indonesia.
Zahara Tiba
2016.10.18
Jakarta
161018_ID_LGBT_1000.jpg Anggota kelompok anti-LGBT melakukan protes terhadap keberadaan kelompok LGBT di Yogyakarta, 23 Februari 2016.
AFP

Pegiat hak asasi manusia (HAM) menilai diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia meningkat dan ada kecenderungan aparat negara justru berperan dalam mendiskriminasi kelompok minoritas tersebut, baik disadari atau tidak.

Dalam kasus terbaru, satu pasangan gay di Manado, Sulawesi Utara (Sulut), diamankan polisi, Selasa, 11 Oktober 2016, setelah memuat foto mereka yang tengah bermesraan di Facebook.

Kabid Humas Polda Sulawesi Utara, Kombes Pol Marzuki ketika dihubungi BeritaBenar, Selasa, 18 Oktober 2016, menyebutkan, pasangan berinisial TG (22) dan FA (24) telah ditetapkan sebagai tersangka.

Menurutnya, foto mereka menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat karena dinilai telah menyebarkan sesuatu yang berbau pornografi.

Keduanya dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang-Undang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Selain itu, minggu lalu dalam selebaran Pemilihan Duta Pemuda Kreatif 2016 yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menyebutkan salah satu kriteria “tidak terlibat dalam pergaulan bebas dan penyimpangan perilaku seksual termasuk LGBT, yang dijelaskan melalui surat keterangan dokter”.

Setelah disorot para aktivis karena persyaratan itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi atas LGBT, Kemenpora menghapus kata “LGBT” dan mengubah kalimat menjadi, “Tidak terlibat pergaulan bebas dan penyimpangan perilaku lainnya”.

Asisten Deputi Peningkatan Kreativitas Pemuda Kemenpora, Eny Budi Sri Haryani, saat dikonfirmasi BeritaBenar Selasa, 18 Oktober 2016, mengatakan pihaknya sama sekali tidak bermaksud mendiskriminasi siapapun.

"Kami kan mencari duta pemuda dan kami tidak boleh mendiskriminasikan siapapun. Kita di Indonesia tidak boleh mendiskriminasi kelompok manapun. Sama sekali tidak boleh. Kita menjunjung tinggi hal seperti itu," ujar Eny.

Sebelumnya Eny sempat menyatakan kepada The Jakarta Post pada 11 Oktober 2016 bahwa Kemenpora tidak akan memilih “orang sakit” sebagai duta kreativitas dan mengatakan dicabutnya kata LGBT dalam kriteria pemilihan tersebut bukan berarti persyaratan tersebut dihapus.

Susun kebijakan

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, kasus-kasus yang terkesan anti-LGBT meningkat sejak tahun lalu dan masih terus berlangsung hingga kini.

“Ini bentuk provokasi. Yang tidak mengerti apa-apa turut menyebarkan sikap kebencian, kemudian direproduksi sebagai kebenaran oleh pejabat publik,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, kebanyakan kasus atas LGBT berasal dari ketidaktahuan dasar-dasar HAM sehingga masalah itu menjadi fokus Komnas HAM untuk terus melakukan sosialisasi.

Komnas HAM tengah merancang kebijakan yang dapat meredam kekerasan terhadap LGBT di Indonesia dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan, tambahnya.

“Meski mungkin ada yang berbeda pendapat, tapi setidaknya tak ikut larut dalam upaya mereproduksi kebencian,” ujar Nurkhoiron.

Diskriminasi

Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono sepakat dengan Nurkhoiron soal kecenderungan pemerintah dalam mendorong diskriminasi terhadap LGBT.

“Pemerintah memberikan lampu hijau kepada orang-orang untuk main hakim sendiri,” ujarnya kepada BeritaBenar.

“Penting untuk orang-orang yang ada di puncak, bukan hanya polisi tetapi juga birokrat, untuk punya sikap politik yang benar dan sesuai dengan hukum-hukum kemanusiaan,” ujarnya.

Andreas melihat diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBT muncul sejak reformasi, dimana gerakan politik Islam konservatif menguat.

Fenomena ini, menurutnya, tak hanya membawa dampak negatif bagi LGBT, tapi juga pemeluk agama minoritas.

Terkait penggunaan UU ITE terhadap pasangan gay di Manado, lanjut Andreas, “Polisi tengah menggunakan pasal karet.”

“Pasal ITE kan sebetulnya untuk hal-hal yang terkait dengan KUHP, seperti pencemaran nama baik, penipuan dan pemalsuan identitas lewat internet,” ujarnya.

Dia berharap pasal seperti itu baru benar-benar bisa dipakai ketika ada kekerasan yang nyata.

“Misalnya ada orang mengancam mau mengebom atau membunuh, menciptakan  ketakutan. Itupun masih bisa diperdebatkan apakah mengganggu ketertiban umum atau tidak,” jelas Andreas.

Hartoyo, Sekretaris Jenderal LSM pemberdayaan LGBT, Our Voice, menyayangkan sikap aparat yang menggunakan UU ITE dan Pornografi terhadap TG dan FA.

Ia juga mengatakan ketidaktahuan Kemenpora menyebabkan kementerian tersebut menetapkan syarat diskriminatif dalam Pemilihan Duta Pemuda Kreatif.

“Kemenpora tidak tahu soal isu HAM, sehingga membuat aturan diskriminasi terhadap sekelompok orang. Tetapi saya khawatir mereka tahu dan sengaja untuk memarjinalkan teman-teman LGBT,” ujar Hartoyo.

“Padahal perancang-perancang mode di dunia industri kreatif banyak sekali dikuasai teman-teman LGBT. Memang naif. Seharusnya yang penting dia bisa berkarya,” tegasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.