Pemerintah Lacak WNI Tertipu ISIS
2017.06.16
Jakarta

Pemerintah sedang mencari tahu keberadaan 16 warga negara Indonesia (WNI) yang dikabarkan menjadi korban propaganda kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan kini berada di kamp pengungsian di Ain Issa, Suriah. Nantinya mereka akan segera dipulangkan ke tanah air.
Direktur perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan Kedutaan Indonesia di Damaskus, Suriah, sedang berusaha menyelidiki lokasi keberadaan mereka.
“Kita baru mengetahui dari media. Kita masih mengidentifikasi lokasi terakhir mereka, kita masih memerlukan koordinasi dengan aparat hukum dan intelijen untuk mendeteksi lebih lanjut,” katanya kepada BeritaBenar, Jumat, 16 Juni 2017.
Kantor berita AFP melaporkan sekitar 16 orang WNI, termasuk anak-anak, kini berada di kamp pengungsian Ain Issa, 50 kilometer utara Kota Raqqa. Mereka sebelumnya sengaja datang ke Raqqa, karena tergiur janji kehidupan sejahtera di bawah kekuasaan Daulah Islamiyah (ISIS).
Nur (19) salah satunya, memutuskan untuk meninggalkan Indonesia sekitar 22 bulan lalu untuk pergi ke Raqqa, daerah yang diklaim ISIS sebagai ibu kota negara kelompok itu.
Ia mengaku tergiur pergi ke Suriah karena informasi yang diterimanya dari internet. Namun setelah hampir dua tahun berada di Raqqa, semua informasi yang diterimanya itu ternyata bohong.
"Saat kami memasuki wilayah ISIS, masuk ke negara mereka, yang kami lihat sangat berbeda dengan apa yang mereka katakan di internet," kata Nur kepada wartawan AFP.
Nur mengaku berangkat ke Suriah melalui Turki, bersama anggota keluarganya yang lain, termasuk ayah dan adik laki-lakinya.
Mereka sebelumnya diiming-imingi akan mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Namun ternyata sampai di Raqqa mereka dipaksa menjadi milisi ISIS. Karena menolak, Ayah dan adiknya kini dipenjara dalam tahanan kelompok teroris tersebut.
Begitu pula dengan Leefa. Perempuan berusia 38 tahun itu memutuskan meninggalkan Indonesia karena melihat di internet bahwa “Daulah Islamiyah adalah tempat untuk tinggal, untuk menjadi Islam yang sesungguhnya”, selain juga karena ingin mengobati lehernya yang sakit, yang menurutnya biaya di Indonesia akan sangat mahal. Kata perekrutnya, di Raqqa biaya pengobatan gratis.
Anggota ISIS yang mengajaknya ke Suriah juga menjanjikan pengembalian biaya transportasi dari Indonesia ke Suriah.
Namun di Raqqa, ia diminta membayar biaya operasi yang tak sanggup ditanggungnya. Alhasil operasi leher Leefa tak pernah terwujud.
Iqbal mengatakan Kemlu akan memeriksa lebih lanjut identitas WNI tersebut dan mengusut dugaan keterlibatan mereka dengan kelompok ISIS.
“Kita akan verifikasi terlebih dahulu informasi itu dan akan kita teliti lebih lanjut. Saat ini pastinya belum dilakukan pemulangan, karena posisi mereka juga belum terkonfirmasi,” katanya.
Buru penyebar propaganda
Kepolisian Republik Indonesia mengaku juga mendapatkan informasi tentang WNI yang menjadi korban propaganda ISIS.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri, Kombes. Pol. Martinus Sitompul, mengatakan pihaknya terus memburu kelompok yang telah membohongi masyarakat lewat media sosial dan internet.
“Ini adalah hal negatif yang tumbuh berkembang di masyarakat kita, akibat kemajuan teknologi,” katanya kepada wartawan.
Polisi menyiapkan empat hal yang dianggap efektif untuk membendung penyebaran propaganda ISIS di Indonesia, di antaranya mengkonter isu-isu dengan informasi yang benar kepada masyarakat.
Pihaknya juga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs yang dianggap membahayakan. Polisi juga akan mencari dalang di balik situs-situs meresahkan itu.
"Kita akan melakukan permohonan kepada Kominfo untuk memblokir. Apabila diblokir masih timbul-timbul lagi dengan situs baru, dengan akun palsu, kita take down, dengan mengejar mereka bahwa mereka ini siapa," tegas Martunis.
Polisi juga terus memburu kelompok-kelompok pendukung ISIS yang berusaha merekrut kadernya melalui media sosial, termasuk menyebarkan propaganda untuk ke Suriah dan wilayah-wilayah yang diklaim sebagai bagian Daulah Islamiah.
“Kita terus melacak keberadaan mereka dan tentu saja akan kita tangkap,” katanya.
Peran semua pihak
Menurut data Kemlu, sejak tahun 2012 hingga 2016, lebih dari 500 WNI yang dideportasi dari sejumlah negara, terutama Turki, karena ingin ke Suriah. Namun tidak diketahui pasti berapa WNI yang terlibat langsung dengan ISIS.
Iqbal mengatakan sebelum memulangkan dan memproses deportasi WNI yang ingin ke Suriah, pihaknya selalu menyerahkan proses verifikasi dan interogasi ke polisi maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Apabila memang terbukti terlibat ISIS, maka akan langsung diproses polisi,” katanya.
Mantan Kepala BNPT, Ansyad Mbai, mengatakan agak sulit mendeteksi mereka yang menjadi korban propaganda maupun terlibat. Aparat, kata dia, harus jeli dalam melakukan verifikasi terhadap mereka.
“Setelah dideportasi dan diidentifikasi mereka juga perlu diawasi. Belum tentu mereka hanya korban, tapi bisa jadi mereka telah terkontaminasi pemahaman radikal,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.
Ia juga menilai dibutuhkan peran serta semua pihak untuk menyadarkan masyarakat bahwa radikalisme dan ISIS tidak sejalan dengan agama mana pun. Karena itu ulama juga diharapkan lebih aktif meluruskan paham menyimpang tersebut.
“Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tentu saja warga negara kita menjadi target aksi mereka. Karena itu semua pihak harus berperan, terutama ulama sebagai pemimpin ummat,” pungkasnya.