Dikecam, pemotongan anggaran di tengah meningkatnya ancaman bencana

Presiden Prabowo pangkas anggaran Rp300T untuk danai program unggulannya termasuk makan bergizi gratis.
Ami Afriatni dan Arie Firdaus
2025.03.11
Jakarta
Dikecam, pemotongan anggaran di tengah meningkatnya ancaman bencana Foto udara memperlihatkan warga menyelamatkan diri ke lantai dua rumah mereka, sementara anggota tim SAR menolong warga yang rumahnya kebanjiran di wilayah Pasar Minggu, Jakarta, 4 Maret 2025.
Bay Ismoyo/AFP

Indonesia, salah satu negara paling rawan bencana di dunia, mendapatkan kritik dari para pengamat setelah memangkas anggaran bagi lembaga-lembaga penanggulangan bencana, di tengah maraknya bencana alam seperti banjir, longsor, dan erupsi gunung berapi.

Selama beberapa hari sejak 3 Maret, hujan lebat di Bogor memicu banjir besar dan longsor di Jakarta serta kota-kota satelitnya, menewaskan sedikitnya tujuh orang dan merendam ribuan rumah. Hampir 100.000 warga terdampak.

Fenny Yunita, warga Bogor berusia 38 tahun, mengeluhkan dampak infrastruktur yang rusak akibat banjir, yang memperparah kemacetan lalu lintas.

“Perjalanan warga jadi terhambat dan makin jauh, karena ada pengalihan arus lalu lintas. Belum lagi akses jalan yang kecil, jadi sering macet dan padat,” ujar Fenny kepada BenarNews

Indonesia juga mengalami sejumlah erupsi gunung berapi sepanjang tahun ini, disertai peningkatan status dan perintah evakuasi warga.

olcano-eruption .jpg
Seorang perempuan menggendong seorang anak menyaksikan abu vulkanik yang membumbung ke udara saat letusan Gunung Ibu, seperti yang terlihat dari Desa Duono di Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, pada 15 Januari 2025. [Azzam/AFP]

Strategi pemangkasan anggaran Presiden Prabowo Subianto sejak Januari bertujuan menghemat lebih dari Rp300 triliun ($19 miliar) untuk mendanai program unggulan pemerintahannya, termasuk makan siang gratis bagi pelajar dan pemeriksaan kesehatan gratis.

Sejumlah lembaga terkena dampak pemotongan ini, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang memiliki peran krusial dalam sistem peringatan dini dan respons bencana.

BNPB mengalami pemangkasan 30% dari anggarannya, turun dari Rp1,4 triliun menjadi Rp956,6 miliar. Sekitar Rp700 miliar dialokasikan untuk program ketahanan bencana jangka panjang, namun para pengamat menilai dana tersebut terlalu minim untuk mendukung respons darurat dan pemulihan pasca-bencana.

BMKG, yang bertanggung jawab atas prakiraan cuaca dan peringatan dini bencana, mengalami pemotongan hampir 50% dari Rp2,8 triliun menjadi Rp1,4 triliun.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Abdul Muhari, menegaskan bahwa lembaganya akan tetap beroperasi secara optimal meskipun mengalami pemotongan anggaran.

"BNPB akan tetap berupaya optimal dalam penanganan bencana, mulai fase prabencana, saat, dan setelah bencana," kata Abdul kepada BenarNews, tanpa memerinci pos-pos anggaran di BNPB yang akan dikurangi untuk menyesuaikan anggaran.

Untuk menutupi kekurangan dana, BNPB berupaya menjalin kemitraan dengan sektor swasta guna mendukung program mitigasi bencana.

"Diupayakan tetap berjalan melalui sumber pendanaan non-APBN, bisa kerja sama dengan donor atau lembaga swadaya masyarakat," ujarnya.

landslide.jpg
Tim penyelamat membawa jenazah seorang korban yang meninggal akibat tanah longsor di Desa Semangat Gunung, Karo, Sumatra Utara, pada 25 November 2024. [Kiki Cahyadi/AFP]

Pendanaan penanggulangan bencana memang kerap tersisih dalam anggaran negara, meskipun Indonesia menghadapi ribuan bencana setiap tahunnya. Data pemerintah mencatat, antara 3.000 hingga 5.000 bencana terjadi setiap tahun di Indonesia.

Dengan pemangkasan anggaran BNPB, pemerintah daerah kini dipaksa mengambil peran lebih besar dalam penanggulangan bencana. Kepala BNPB, Suharyanto, telah meminta para kepala daerah untuk mengalokasikan dana darurat yang hanya bisa digunakan setelah status bencana resmi dinyatakan.

Ia juga mengakui bahwa meskipun pemerintah telah mengalokasikan Rp7,3 triliun ($460 juta) untuk dana tanggap darurat, hambatan birokrasi menghalangi akses terhadap dana tersebut.

Suharyanto juga menyebut dana bencana saat ini mencapai Rp7,3 triliun yang bisa memperkuat dana siap pakai dari APBN tahun ini sebesar Rp170 miliar. Anggaran ini seharusnya bisa dipakai dalam masa pra dan pascabencana.

"Namun sampai sekarang belum bisa dipakai karena belum ada peraturan menteri keuangan,” tandas Suharyanto. 

Mengurangi belanja mitigasi dan kesiapsiagaan justru akan meningkatkan biaya pemulihan pasca-bencana, kata Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Studi Manajemen Bencana di Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta.

“Pengurangan dalam anggaran penanggulangan bencana barangkali perlu hati-hati. Ketika itu dilakukan dan terjadi bencana, maka risikonya atau dampaknya akan jauh lebih besar daripada uang yang tidak dialokasikan atau dihemat,” ujar Eko kepada BenarNews. “Akhirnya kerugian akan lebih besar yang akan ditanggung dikemudian hari, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.” 

Ia juga menyoroti potensi ketidakefisienan dalam penggunaan dana yang tersisa.

“Anggaran harus memikirkan perencanaan jangka panjang. Pencegahan harus dilakukan. Jangan hanya berorientasi pada mitigasi dan penanganan darurat. Ini menjadi kesesatan berpikir,” ujarnya. 

tsunami.jpg

Dalam foto tertanggal 27 Desember 2024 ini, anak-anak tampak bermain di salah satu dari dua kapal yang terdampar akibat tsunami Samudra Hindia tahun 2004 dan dipertahankan atas permintaan warga lokal, di Banda Aceh. Pada 26 Desember 2004, gempa bermagnitudo 9,1 mengguncang Aceh dan pesisir Sumatra yang memicu tsunami besar di seluruh Samudra Hindia yang menewaskan lebih dari 220.000 orang di sejumlah negara dengan korban terbesar di Aceh.

Pihak Kantor Komunikasi Presiden hingga kini belum memberikan tanggapan terkait dampak pemangkasan anggaran terhadap kesiapsiagaan bencana.

Avianto Amri, ketua umum Masyarakat Penanganan Bencana Indonesia, memperingatkan bahwa kurangnya investasi dalam pencegahan dan mitigasi bencana dapat berujung pada konsekuensi fatal.

“Memang sudah sepatutnya pemerintah berinvestasi dalam pencegahan dan mitigasi. Karena pilihannya kalau tidak melakukan pencegahan dan mitigasi, harus siap-siap merespon. Biayanya jauh lebih mahal. Contohnya banjir kemarin. Banyak kendaraan motor yang tenggelam, barang dagangannya rusak, rumah-rumah juga terendam,” ujar Avianto kepada BenarNews.

Agus Pambagio, pakar kebijakan publik, menilai pemangkasan anggaran BNPB sebagai indikasi kurangnya kepedulian pemerintah terhadap keselamatan masyarakat.

"Dengan luas negara seperti ini, enggak akan maksimal (penanganan)," ujarnya.

Ia memperingatkan bahwa jika bencana besar terjadi, pemerintah mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk merespons dengan baik.

"Saya nggak berharap banyak swasta bisa membantu. Jadi saya menilai akan ada respons buruk (penanganan bencana). Fatality rate bisa tinggi andai ada bencana besar ke depan," ujar Agus lagi.

banji-aerial-2.jpg

Foto udara menunjukkan area permukiman yang terendam banjir setelah beberapa sungai meluap akibat hujan deras di Bekasi, Jawa Barat, 5 Maret 2025.
[Aditya Irawan/AFP]

Dengan 40% anggaran BNPB dialokasikan untuk gaji pegawai, dana yang tersisa untuk penanganan bencana menjadi sangat terbatas, kata Gurnadi Ridwan, peneliti di Forum Transparansi Anggaran Indonesia (FITRA).

Ia mengingatkan bahwa pemangkasan ini bisa berdampak pada pemutusan kontrak para pekerja tanggap darurat, yang sering kali menjadi garda terdepan dalam situasi bencana.

"Pasti mengganggu kinerja BNPB. Bisa jadi BNPB tidak bisa apa-apa kalau ada bencana ke depannya," ujarnya kepada BenarNews

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.