Pemerintah berubah sikap, akui Hambali sebagai WNI
2025.01.22
Jakarta

Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan untuk memulangkan Encep Nurjaman alias Hambali tersangka utama bom Bali 2002 dari pangkalan militer AS di Guantanamo Bay, Kuba.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, pemerintah Indonesia peduli terhadap warganya yang dipenjara di luar negeri seperti juga berupaya memulangkan narapidana asing.
Pengakuan pemerintah bahwa Hambali adalah warga negara Indonesia (WNI) merupakan perubahan sikap. Para analis berpendapat, perubahan ini mungkin terkait dengan bubarnya Jemaah Islamiyah kelompok militan yang dipimpin Hambali atau perhatian historis Presiden Prabowo Subianto terhadap hak-hak warga negara di luar negeri.
Menteri Yusril mengaitkannya pada langkah Indonesia sebelumnya yang memulangkan seorang warga Filipina dan lima narapidana narkoba asal Australia bulan lalu.
“Concern kita adalah kita harus memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap warga negara Indonesia di luar negeri walaupun kita berbeda pandangan, walaupun yang bersangkutan itu melakukan kejahatan,” ucap Yusril dalam keterangan pers Selasa.
Sebelumnya Yusril mengatakan pemerintah mempertimbangkan memulangkan Hambali “supaya masyarakat tahu bahwa kita tidak hanya mengurusi narapidana asing yang ada di Indonesia tapi juga mengurusi WNI yang ada di luar negeri.”
Encep Nurjaman, yang juga dikenal sebagai Hambali, terlihat dalam foto yang tidak bertanggal ini yang disediakan oleh Kantor Pembela Umum Federal, di pangkalan AS di Teluk Guantanamo, Kuba. [Kantor Pembela Umum Federal via AP]
Hambali dan kasus yang belum selesai
Hambali telah ditahan tanpa pengadilan selama 18 tahun di penjara militer AS di Guantanamo Bay. Kasusnya hingga kini masih belum selesai.
Hambali menghadapi dakwaan terkait dengan bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang dan tercatat sebagai serangan teror paling fatal di Indonesia hingga saat ini – dan pengeboman di J.W. Hotel Marriot di Jakarta pada tahun 2003. Hambali yang merupakan salah satu pimpinan utama JI dituduh berada dibalik pemboman itu.
Setelah ditangkap pada tahun 2003 di Thailand, dia dibawa ke situs hitam rahasia CIA sebelum dipindahkan ke penjara Teluk Guantanamo di Kuba pada tahun 2006.
Sebuah laporan Senat AS yang dirilis pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa terdakwa disiksa selama berada di situs tersebut.
Kini berusia 60 tahun, Hambali pertama kali dihadapkan ke hakim militer AS pada 2021. Sidang pendahuluan kasusnya dijadwalkan berlangsung minggu depan, pada 27 - 31 Januari.
Rusman Gunawan alias Gun Gun (kiri), adik dari tersangka utama pengeboman Bali Hambali (Encep Nurjaman), yang dituduh membantu menyediakan atau mengumpulkan dana untuk serangan bom pada Agustus 2003 di hotel JW Marriott di Jakarta, terlihat bersama pengacaranya dalam persidangannya di Jakarta, 26 Oktober 2004. Rusman dihukum dan dibebaskan pada tahun 2006 karena berkelakuan baik. [Adek Berry/AFP]
Langkah repatriasi
Upaya baru terkait kasus Hambali muncul setelah dua rekan Hambali yang terlibat dalam bom Bali asal Malaysia, dipulangkan secara diam-diam ke negara mereka.
Yusril menambahkan pemerintah sudah mencoba membuka akses komunikasi dengan Hambali yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri saat dipimpin oleh Retno Marsudi. Namun, upaya itu belum berhasil.
"Pemerintah juga pernah meminta agar yang bersangkutan segera diadili, tapi sampai hari ini juga belum diadili dan juga dulu pernah ada pembicaraan pada kesimpulan dia direpatriasi untuk diadili di Indonesia, tapi sampai hari ini juga belum berhasil," jelas Yusril.
Penasihat senior Institute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, mendukung upaya untuk merepatriasi Hambali ke Tanah Air karena tidak ada kejelasan waktu atas penahananya di Guantanamo.
“Tidak ada yang membenarkan perlakuan yang diterima Hambali, termasuk laporan penyiksaan dan penahanan tanpa batas waktu. Memulangkannya adalah langkah yang tepat,” ujar Jones kepada BenarNews.
Jones menilai ada bukti kuat mengenai peran Hambali dalam merencanakan bom Bali, dan seandainya dia dipulangkan ke Indonesia dan diadili setelah ditangkap pada 2003, dia mungkin akan dijatuhi hukuman seumur hidup.
“Meskipun tidak jelas apakah ada dasar hukum untuk penahanannya jika ia kembali, saya yakin Detasemen 88 dapat memantau dirinya dengan efektif dan memastikan ia tidak kembali ke dunia terorisme,” ucap dia.
Namun, Jones tidak yakin pemerintah Indonesia memiliki sikap yang seragam terkait pemulangan Hambali.
”Pasti ada pro dan kontra di berbagai lembaga dan bahkan pandangan yang berbeda dalam satu lembaga yang sama terkait wacana ini,” ujarnya. “Saya rasa kita tidak dapat membicarakan perubahan di bawah pemerintahan Prabowo sampai keputusan benar-benar diambil.”
Sikap pemerintah yang berubah
Seorang juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menolak berkomentar tentang alasan pemerintah mengubah pendiriannya tentang Hambali.
Pada 2021 di bawah kepemimpinan Joko “Jokowi”Widodo, pemerintah membantah bahwa Hambali adalah warga negara Indonesia, dengan alasan kepemilikan paspor asing, dan menolak segala pertimbangan untuk memulangkannya.
Terkait hal itu, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Al Chaidar Abdurrahman Puteh mengatakan, “Rezim Jokowi memang kita tahu paranoid terhadap teroris,” ujar Al Chaidar kepada BenarNews.
Aktivis berdemonstrasi menyerukan penutupan penjara Teluk Guantanamo di depan Gedung Putih di Washington, 2 April 2022. [Stefani Reynolds/AFP]
Teluk Guantanamo, sebuah fasilitas yang dikritik secara global karena menahan tersangka tanpa batas waktu tanpa diadili, telah lama menjadi simbol perang melawan teror pasca-9/11, kata Al Chaidar.
“Ini adalah kegagalan terbesar Amerika Serikat – mengklaim menegakkan demokrasi tetapi mengabaikan supremasi hukum,” katanya. “Hambali telah ditahan selama lebih dari 20 tahun tanpa penyelesaian.”
Yanuardi Syukur, peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, mengatakan keinginan pemerintah untuk memulangkan Hambali karena terorisme di Indonesia telah mengalami penurunan drastis.
“Ini seiring dengan taubatnya beberapa pelaku teror dan bubarnya organisasi yang menaunginya, yakni Jemaah Islamiyah,” ujar dia kepada BenarNews.
Adlini Ilma Ghaisany Sjah, seorang peneliti terorisme di Universitas Teknologi Nanyang, mengatakan kepada BenarNews “mungkin saja” bahwa perubahan yang dilakukan pemerintah Indonesia ini terkait dengan berakhirnya JI.
“Kepolisian Indonesia juga telah mengumumkan rencana untuk memulangkan 16 mantan anggota JI dari Suriah dan 10 dari Filipina, yang dapat mengindikasikan perubahan kebijakan yang lebih luas,” kata Adlini, dari Pusat Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme Universitas Singapura.
Selain itu, Prabowo sebelumnya telah memperjuangkan hak-hak warga negara Indonesia di luar negeri.
Misalnya, Prabowo sendiri mengadvokasi agar seorang pekerja rumah tangga Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di Malaysia akhirnya berhasil dipulangkan pada tahun 2021.
Ian Wilson, dosen politik dan studi keamanan di Universitas Murdoch, mengatakan bahwa permintaan pemulangan Hambali mungkin akan ditolak pemerintahan baru AS di bawah Donald Trump.
“Melihat dukungan Trump untuk menjaga keberlanjutan kamp Guantanamo, tampaknya tidak mungkin dia akan menerima ide pemulangan Hambali kecuali itu menjadi bagian dari kesepakatan yang dianggap memiliki manfaat jelas bagi pemerintahannya,” kata Wilson.
Adik Hambali, Kankan Abdulkodir, mengatakan bahwa dia telah mendengar pembicaraan mengenai kemungkinan pemulangan Hambali ke Indonesia dan mengungkapkan harapan yang terbaik.
“Jika memang sudah takdirnya untuk dibebaskan, saya harap itu akan terjadi. Tetapi jika dia harus tetap berada di Guantanamo Bay, ya sudah, itu takdirnya,” kata Kankan.
Kankan mengatakan bahwa keluarga terakhir kali berbicara dengan Hambali melalui panggilan video pada bulan Desember lalu, di mana Hambali mengatakan bahwa dia dalam kondisi kesehatan yang baik, namun mereka tidak diizinkan untuk membicarakan kasus hukumnya.
Aisyah Llewellyn di Medan berkontribusi pada laporan ini.