Indonesia Segera Cabut Blokir Telegram

Kemenkominfo akan melakukan pertemuan serupa dengan platform media lainnya seperti Facebook, WhatsApp, dan Google.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.08.01
Jakarta
170801_ID_Telegram_1000.jpg Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara (kiri) bersalaman dengan CEO Telegram, Pavel Durov, saat mengadakan pertemuan di Jakarta, 1 Agustus 2017.
Dok. Kemkominfo

Pemerintah Indonesia akan segera membuka kembali akses aplikasi pesan Telegram setelah CEO Telegram Pavel Durov menemui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, dan berjanji akan memblokir konten propaganda terorisme di kanal-kanal aplikasi tersebut.

Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Kemenkominfo, Jakarta, Selasa, 1 Agustus 2017, kedua pihak membahas penanganan isu terorisme dan konten radikal yang berkembang dalam platform Telegram sebagai tindak lanjut dari diblokirnya11 Domain Name System (DNS) layanan Telegram berbasis web di Indonesia sejak 14 Juli 2017.

Durov mengakui pihaknya lalai menanggapi email-email dari Kemenkominfo terkait permintaan agar Telegram membersihkan konten-konten mengandung radikalisme dan terorisme dari seluruh kanal yang mereka fasilitasi.

Kemenkominfo mengirimkan enam email sejak 29 Maret 2016 sampai 11 Juli 2017 namun tidak mendapatkan tanggapan sampai 13 Juli lalu, sehingga pemerintah memutuskan untuk memblokir Telegram berbasis web keesokan harinya.

“Kami telah mendiskusikan cara-cara untuk memblokir kanal-kanal publik yang dapat digunakan untuk propaganda terorisme, yang merupakan komitmen kami untuk melakukannya secara global, khususnya di Indonesia, dan kami mendiskusikan cara untuk melakukannya dengan lebih efisien,” ujar Durov dalam jumpa pers usai bertemu Rudiantara.

Durov juga mengatakan bahwa mereka membicarakan mengenai propaganda pribadi di kanal-kanal publik “di situlah tempat ISIS merekrut anggota”.

Pihak Telegram mengatakan bahwa dapat memblokir kanal terorisme dalam beberapa jam dan menambahkan personil yang mampu berbahasa Indonesia untuk membantu seleksi konten terkait propaganda terorisme.

Hal ini sesuai dengan yang tiga hal ditawarkan Durov pada 16 Juli ketika merespon pemblokiran Telegram, yaitu memblokir kanal-kanal terkait terorisme yang diminta Kemenkominfo, membentuk jalur komunikasi langsung dengan kementerian tersebut, dan membentuk tim moderator yang paham bahasa dan budaya Indonesia untuk merespon konten yang terkait terorisme dengan lebih cepat dan akurat.

“Kita akan siapkan langkah-langkahnya untuk normalisasi dalam minggu ini,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Semuel A. Pangerapan, dalam jumpa pers tersebut, merujuk pada persiapan pencabutan blokir atas 11 DNS Telegram berbasis web.

Bukan hanya Telegram

Semuel mengatakan pertemuan yang dilakukan Rudiantara dan Durov bukan hanya untuk Telegram saja. Kemenkominfo, menurutnya, akan melakukan pertemuan serupa dengan semua platform seperti Facebook, WhatsApp, dan Google.

Dalam pertemuan sub regional enam negara yang diadakan di Manado, Sabtu lalu, mengenai pencegahan terorisme lintas batas yang mengancam negara-negara sub kawasan sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi, para peserta sepakat untuk mendorong kerja sama melawan propaganda teroris termasuk propaganda melalui media sosial.

“Jadi perusahaan-perusahaan media sosial nantinya akan membantu kami mencari keberadaan teroris atau menangkal secara langsung,” ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, usai pertemuan tersebut.

Rudiantara adalah salah satu dari tujuh pejabat setingkat menteri yang hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan bersama oleh Indonesia dan Australia dan dihadiri delegasi Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Selandia Baru.

Sebelumnya, Kemenkominfo mengatakan pihaknya memiliki sebanyak 17 ribu lembar halaman yang dicetak sebagai bukti, dari laman-laman kanal Telegram berbasis web berisi konten radikal dan terorisme. Kementerian tersebut juga sudah mengidentifikasi 55 kanal di Telegram yang mengandung radikalisme, terorisme, dan panduan menyiapkan aksi terorisme.

Pemblokiran dilakukan karena interaksi dalam kanal-kanal yang dianggap berbahaya banyak terjadi di Telegram berbasis web, yang memungkinkan transfer dokumen dalam ukuran besar hingga 1,5 giga byte.

Selain itu, hampir semua pelaku terorisme yang ditangkap dan ditindak sejak 2015 hingga Juli 2017 mengaku menggunakan aplikasi ini untuk berkomunikasi dan hanya dua dari mereka yang tidak menggunakan Telegram.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.