Pencatatan Perkawinan Penganut Kepercayaan Ditanggapi Dingin Sejumlah Warga

PP yang mengakui perkawinan bagi penganut kepercayaan diapresiasi, namun ada yang melihat peraturan itu tidak menghilangkan diskriminasi.
Ami Afriatni
2019.07.26
Jakarta
190726_ID_Indigenous_1000.jpg Dalam foto tertanggal 19 Mei 2017 ini memperlihatkan dua perempuan dewasa dari suku Orang Rimba yang telah menganut agama Islam dan meningalkan budaya nomaden mereka, di Batanghari, Jambi.
AFP

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40/ 2019 yang mengakui dan mengatur pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan ternyata tidak sepenuhnya ditanggapi positif oleh sejumlah penghayat kepercayaan itu sendiri.

“Melalui peraturan pemerintah ini, negara memandang penghayat kepercayaan seolah-olah seperti organisasi massa atau politik,” kata seorang penganut ajaran Sunda Wiwitan, Dewi Kanti, kepada BeritaBenar, Jumat, 26 Juli 2019.

Ia merujuk pada salah satu artikel dalam peraturan tersebut yang mensyaratkan bahwa perkawinan dapat dicatat di depan pemuka penghayat kepercayaan yang tercatat di kementerian dan juga bernaung dalam organisasi kepercayaan.

Dewi menegaskan para penghayat bukan berarti tidak mau tertib administrasi dan mereka selalu berupaya melaporkan peristiwa-peristiwa yang berakibat hukum.

"Tapi negara seolah-olah memiliki persyaratan yang membuat kami tidak punya keadilan. Kenapa kami seperti diawasi, ada pembinaan. Apa itu sebuah kesetaraan? ujarnya.

Pengalaman Dewi bertolak belakang dari tujuan dikeluarkannya PP tersebut awal minggu ini, yang salah satunya adalah untuk menghilangkan diskriminasi bagi para penghayat kepercayaan.

"Selama lebih dari 40 tahun penghayat kepercayaan didiskriminasi dan tidak dapat mencatatkan perkawinannya secara resmi karena harus menikah berdasarkan salah satu agama yang diakui oleh negara," ujar Sigit Widodo, juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) - partai yang vocal dalam memperjuangkan keadilan bagi minoritas, mengapresiasi PP tersebut, seperti dikutip di Detik.com.

Namun Gunretno, salah seorang penganut ajaran Samin atau Sedulur Sikep di Desa Baturejo, Kecamatan Sukalilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah malah menilai langkah pemerintah itu tidak berpengaruh terhadap kelompok Samin di tempatnya,

"Kayaknya kok gak ada (pengaruh) ya, karena mereka yang awalnya tidak dicatat juga ngak ada persoalan,” katanya saat dihubungi.

“Apa yang dipermasalahkan? Tercatat atau tidak? Misalnya sekarang diakui, tapi ketika diakui itu kebanggaannya apa? Kami punya keyakinan itu wujud kami ada saat lahir. Saat administrasi tak mengakui, ya sudah.”

Menurutnya, perkawinan itu kalau ada syarat sendiri tidak ada masalah dan tidak dicatat juga tidak menjadi persoalan bagi mereka.

“Dari nenek moyang sampe sekarang, adat dan lain-lain juga dijalankan sampai sekarang. Faktanya tidak ada konflik persoalan itu. Semoga pemerintah paham pilihan sedulur seperti ini," katanya.

Namun tidak semua penghayat Sedulur Sikep memiliki pandangan yang sama dengan Gunretno.

Tokoh Komunitas Sedulur Sikep Kudus, Budi Santoso, menyambut terbitnya PP Nomor 40 tahun 2019 itu. Ia berterima kasih kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang akhirnya mengeluarkan keputusan yang menurutnya seharusnya sudah dikeluarkan pada masa pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Ia mengatakan selama ini perkawinan warga Samin tidak tercatat. “Apa yang menjadi kebutuhan, khususnya dalam hal yang ada kaitannya dengan urusan administrasi kependudukan, banyak kendala. Seakan-akan banyak ganjalan," ujar Budi, seperti dikutip di Detik.com.

Tertib administrasi

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan pencatatan seperti termaktub dalam PP itu berfungsi untuk mempertegas saja karena yang menjadi masalah, justru tak semua penghayat berorganisasi.

"Padahal kalau UU ini mencatat harus ada organisasinya, kemudian ditunjuk siapa yang jadi penghulunya. Bagi mereka yang bergabung dalam organisasi dan afilisiasi Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, itu tidak masalah. Tetapi bagi temen-temen penghayat yang tidak berorganisasi dan tak bergabung menjadi masalah. Bagaimana mereka hendak menikah dan anak cucu mereka ingin menikah? Itu saja masalahnya," ujar Bonar kepada BeritaBenar.

Namun jika tak tercatat, lanjutnya, apakah perkawinan mereka bisa dianggap tidak sah oleh negara.

"Kalau nanti ada pertengkaran, kan tidak jelas gono gininya. Kemudian soal hak waris, anak-anak mereka tidak jelas karena tak tercatat. Selama ini anak di kalangan penghayat mengacu pada nama ibu di akte kelahirannya, tidak ada nama ayah. Karena perkawinan mereka tidak diakui negara. Dengan adanya pencatatan perkawinan, artinya sah," tukas Tigor.

Pencatatan tersebut, tambahnya, berguna bagi para penghayat untuk proses administrasi pelayanan hak warga negara, seperti kartu sehat.

"Itu pentingnya aturan disusun negara. Sebagai satu negara, dalam relasi dengan negara butuh birokrasi itu sulitnya. Ngak bisa kita menolak, karena negara juga saat memberikan pelayanan yang tentu ada aturan main dan administrasinya,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.