Perempuan Pendana Teror Divonis Empat Tahun Penjara

Bekas TKW di Hong Kong tersebut didakwa sebagai penyandang dana dan penggagas aksi teror ke beberapa markas Syiah di Indonesia.
Arie Firdaus
2017.10.11
Jakarta
171011_ID_Terror_1000.jpg Terdakwa kasus terorisme Ika Puspitasari (bercadar) berbincang dengan kuasa hukumnya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 11 Oktober 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu 11 Oktober 2017, memvonis empat tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta atas Ika Puspitasari, seorang bekas tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong, atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme.

Perempuan 35 tahun itu dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat terorisme karena mendanai dan menginisiasi rencana amaliyah, istilah yang digunakan kelompok militan untuk aksi teror, ke beberapa markas kelompok Syiah di Indonesia, seperti Bandung, Jawa Barat; Pekanbaru, Riau; dan Pekalongan, Jawa Tengah, demikian putusan pengadilan.

"Terdakwa membuat grup WhatsApp dan menjadi admin," kata hakim ketua Nelson Marbun dalam persidangan tersebut.

"Dalam grup itu, terdakwa bersama anggota lain membahas rencana amaliyah, termasuk rincian dana."

Kepolisian sebelumnya sempat menyebut Ika sebagai calon pengantin alias pelaku bom bunuh diri saat malam pergantian tahun 2017.

Namun dalam pertimbangan putusan, majelis hakim mengatakan tak menemukan fakta tersebut.

Ika hanya dinyatakan sebagai penyandang dana dan penggagas aksi teror ke beberapa markas Syiah.

"Terdakwa Ika diketahui menghubungi salah seorang ikhwan yang masuk DPO (daftar pencarian orang) kepolisian dan menanyakan, 'Kenapa DPO? Kenapa tidak sekalian amaliyah? Kalau mau, sekalian saya danai'," tambah hakim Nelson.

"Sehingga unsur pemufakatan jahat dan percobaan perbantuan dengan sengaja menggunakan kekerasan terpenuhi secara sah dan meyakinkan."

Faris selaku kuasa hukum Ika mengatakan, dana yang digunakan untuk rencana aksi teror sepenuhnya berasal dari kocek pribadi kliennya. Hanya saja, dia tak memerinci jumlah uang yang telah dikeluarkan Ika.

"Tapi itu semua duit pribadinya (Ika)," kata Faris kepada BeritaBenar seusai persidangan.

Ika ditangkap tim Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri di Purworejo, Jawa Tengah, pada 15 Desember 2016 atau beberapa hari setelah aparat menangkap Dian Yulia Novi, perempuan yang berencana meledakkan dirinya dengan bom panci saat pergantian pasukan pengamanan presiden di Istana Negara, Jakarta, pada akhir Desember 2016.

Dian Yulia Novi – yang pernah bekerja sebagai buruh migran di Taiwan –  telah dihukum 7,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 25 Agustus lalu. Sedangkan suaminya, Muhammad Nur Solikin, yang memfasilitasi keinginan Dian dan juga pemimpin sel militan yang telah berbaiat dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dihukum 11 tahun penjara.

Awalnya, polisi sempat menyatakan Ika dan Dian berasal dari jaringan teror sama, tapi belakangan diketahui bahwa keduanya tak berkaitan. Ika dikatakan terkait jaringan Abu Zaid di Solo, Jawa Tengah.

"Yang menghubungkan mereka adalah sama-sama pernah menyumbang pada keluarga korban teroris yang ditangkap kepolisian saja. Tak ada kaitan langsung," jelas Faris.

Atas vonis empat tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim, Ika dan kuasa hukum menerimanya.

"Cukuplah. Bisa turun dari tuntutan," pungkas Faris.

Sebelumnya, Ika dituntut lima tahun penjara.

Fenomena buruh migran

Fenomena buruh migran Indonesia terlibat kelompok ISIS seperti Ika Puspitasari dan Dian Yulia Novi sempat disorot Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) dalam laporannya yang dirilis pada 26 Juli silam.

Peneliti IPAC Nava Nuraniyah menyatakan bahwa paparan radikal menyusup lewat internet, menyasar para buruh migran yang masih mencari jati diri. Paham itu kemudian menguat lewat pengajian-pengajian.

"Memang jumlahnya sedikit dibanding buruh migran di sana (Hong Kong), tapi tetap potensi bahaya," katanya kepada BeritaBenar, 27 Juli 2017.

Menurut catatan IPAC, sebanyak 45 dari 153 ribu buruh migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong terlibat kegiatan-kegiatan pro-ISIS.

IPAC menyangkal anggapan bahwa para buruh migran perempuan itu berubah radikal setelah menikahi pria radikal. Sebaliknya, beberapa di antaranya justru mencari lelaki untuk menikah setelah tertarik dengan paham radikal.

Contohnya Dian yang mau menikahi Muhammad Nur Solikin justru untuk melancarkan rencana amaliyah padahal suaminya itu sudah beristri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.