Pemuda Rohingya, Penghafal Quran, Dipaksa Jadi Budak
2015.06.11
Tutur bahasanya lembut. Dari balik wajahnya, terpancar ketenangan jiwa kendati perjalanan hidupnya penuh nestapa. Dua tahun, dia dipaksa bekerja sebagai budak di Thailand.
Postur tubuhnya kekar. Ia rajin berolahraga. Kumis, jenggot dan jambang baru saja dicukur.
Rambutnya disisir ala bintang sepakbola ternama Portugal Real Madrid, Cristiano Ronaldo.
Muhammad Arif (30) adalah seorang pengungsi Muslim Rohingya, hampir tiga tahun menetap sementara di Hotel Pelangi, Medan.
Dia termasuk seorang dari tujuh pengungsi Rohingya di ibukota Provinsi Sumatera Utara itu, yang mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an.
Arif telah menghafal kitab suci umat Islam sejak berusia 14 tahun.
Hotel Pelangi disewa Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) guna menampung hampir 100 pengungsi Rohingya.
Sebagian mereka ada yang sudah lima tahun tinggal di hotel itu, sambil menunggu proses penempatan ke negara ketiga, tapi belum ada seorangpun mendapat kepastian.
Para pengungsi Rohingya di Medan sangat menghormati Arif. Mereka memanggilnya “ustadz” karena dia seorang ahli agama Islam dan menjadi imam shalat.
Ditangkap tentara Myanmar
Ketika berusia 19 tahun, Arif ditangkap tentara Myanmar karena dia tidak bersedia menyerahkan rumah dan tanah milik keluarganya di Maungdaw, kawasan Rakhine, ke pemerintah junta militer.
Selama dua pekan, dia ditahan dan disiksa.
“Setiap hari dan malam, saya dipukul dan dianiaya. Satu gigi saya patah. Tangan saya disulut api rokok,” ujarnya sambil memperlihatkan luka.
Arif dibebaskan. Kepadanya diberi waktu lima hari untuk berpikir agar dia bersedia menyerahkan rumah dan tanah kepada pemerintah.
Sambil menangis Ibunya bilang pada Arif untuk merelakan harta mereka, jika tidak, Arif akan kembali dijebloskan ke penjara.
“Setelah rumah dan tanah kami diserahkan kepada orang Budha, setiap hari tentara datang kendati kami sudah tinggal di rumah paman saya. Ibu merasa jiwa saya tidak aman lagi sehingga saya memutuskan pergi dari Maungdaw,” jelas Arif.
Arif memutuskan pergi ke Bangladesh. Selama di Kota Chittagong, dia memperdalam agama Islam sambil belajar Al-Qur’an.
Empat tahun, dia belajar pada madrasah yang ada di kota tersebut.
Tahun 2008 setelah Arif tamat dari madrasah, hendak bekerja tapi tidak bisa karena dia bukan warga Bangladesh.
“Suatu hari, saya diajak naik perahu. Saya tak membayar karena saya tidak punya uang. Mereka bilang naik saja karena saya bisa menjadi berkah dalam perjalanan,” ujarnya, mengenang perjalanan tujuh hari bersama 11 warga Rohingya dengan perahu kayu.
Dipaksa jadi budak
Perahu yang mereka tumpangi mendarat di Thailand.
Arif dibawa agen ke pemilik kapal nelayan dan dipaksa bekerja membersihkan kapal itu siang dan malam, tanpa digaji dan jatah makanan sangat sedikit tanpa tahu Bahasa Thailand.
“Kalau saya minta makanan, mereka pukul. Kalau saya tertidur, mereka suntik agar saya kuat. Saya tidak tahu apa yang mereka suntik ke tubuh saya,” tutur Arif.
Setelah setahun bekerja paksa di kapal, Arif dijual ke perkebunan. Nasib tetap tidak berubah, ia dipekerjakan sebagai budak.
“Saya bekerja mulai dari pukul 6 pagi hingga 8 malam. Saya tidak tahu apa nama tempat itu,” ujarnya.
Setelah setahun bekerja di perkebunan, seorang etnis Rohingya dibawa ke situ. Arif merasa senang karena ia sudah punya teman.
Dua bulan kemudian, mereka memutuskan untuk melarikan diri.
“Kami terus berlari, tanpa tahu kemana. Saya berdoa kepada Allah agar kami diselamatkan. Dua hari dua malam, akhirnya menemukan kami sebuah sungai,” kenangnya.
Arif dan rekannya menyusuri sungai sampai akhirnya mereka melihat masjid. Mereka bertemu beberapa warga.
Ternyata keduanya telah masuk ke wilayah Malaysia. Lalu, berkat bantuan warga setempat mereka menghubungi abang kawannya di Penang.
Arif mengajar Al-Qur’an untuk anak-anak dari enam keluarga Melayu.
Ia bergaul dengan banyak pekerja ilegal Rohingya. Dari mereka, Arif mendengar ada harapan untuk memulai hidup baru di Australia.
Berkat bantuan keluarga tempat dia titipkan uang hasil mengajar, Arif diperkenalkan dengan seorang agen perjalanan ilegal dari Indonesia.
“Saya tak tahu berapa keluarga itu kasih uang kepada agen karena saya tidak pernah bertanya,” jelasnya seraya menambahkan perjalanan dari Penang ke Kuala Lumpur menggunakan bus.
Perjalanan panjang membawa Arif ke Baubau di Pulau Buton.
Diselamatkan ikan paus
Dari Baubau, Arif naik perahu bersama 56 pengungsi Rohingya menuju Australia.
Setelah perjalanan selama dua hari, mesin perahu mati. Para penyeludup manusia itu kabur dan meninggalkan pengungsi Rohingya di tengah lautan.
“Dua hari dua malam kami terkatung-katung di tengah laut. Semua orang dalam perahu menangis. Anak-anak dan perempuan menangis kelaparan,” tutur Arif.
“Tengah malam seorang tua bilang pada saya, ‘Ustadz, tolong berdoa kepada Allah agar kita diselamatkan.’ Lalu, saya berdiri dan bilang pada semua orang untuk berdoa bersama dan membaca Al-Qur’an.”
Keajaiban pun datang. Arif mengaku melihat beberapa ekor ikan paus mengipas ekornya untuk membentuk ombak, sehingga perahu mereka terseret ke sebuah pulau kecil.
“Nelayan yang menyelamatkan kami bilang mereka melihat ada empat ekor ikan paus. Saya sangat yakin ini keajaiban,” ujar Arif.
Polisi dan petugas imigrasi datang pagi harinya. Mereka ditangkap. 23 lelaki dijebloskan ke penjara, sedangkan anak-anak dan perempuan dibiarkan bebas.
Arif ditahan 1,4 tahun di Manado. Akhirnya petugas IOM menjemput dan membawanya ke Medan, tinggal bersama 100 pengungsi Rohingya lainnya.
“Saya juga selalu berdoa supaya Muslim Rohingya diakui sebagai warga negara Myanmar, sehingga kami dapat pulang ke kampung halaman,” ujarnya.
“Saya tidak tahu apakah ibu dan adik-adik saya masih hidup di Myanmar.”