Pengungsi Lajang Afghanistan Protes Lamanya Penempatan
2017.02.06
Jakarta
Menjadi pengungsi yang harus meninggalkan negara asal karena konflik bukanlah hal mudah, tapi bagi sebagian mereka yang belum berkeluarga, status lajang dianggap semakin mempersulit untuk diproses penempatan permanen di negara ketiga.
Hal ini dirasakan sebagian pengungsi Afganistan dari etnis Hazara yang melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Indonesia di Jakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Sekitar 25 pengungsi pria lajang berusia 19 hingga 30-an tahun, memprotes kebijakan UNHCR yang dianggap lebih memprioritaskan pengungsi sudah berkeluarga untuk penempatan permanen dan melupakan mereka yang masih lajang.
Para pengungsi membawa poster dalam bahasa Inggris yang berbunyi antara lain “Mengapa hanya memperhatikan yang berkeluarga”, “Peduli pada kami”, “Saya kehilangan tiga tahun dalam hidup saya tanpa aktivitas apapun”, “Kenapa kami dilupakan”, “Kami juga punya keluarga”, “Apakah ada yang memperhatikan para lajang”.
“Yang sudah berkeluarga lebih cepat prosesnya,” jelas Yahya Rafie kepada BeritaBenar.
Yahya mengaku meninggalkan Afghanistan saat berusia 16 tahun karena sebagai suku Hazara yang merupakan minoritas terbesar merasa terancam keselamatannya dari kelompok Taliban.
Bersama kedua orang tua dan adik-adiknya, pria 19 tahun itu sempat pindah ke Iran dan bekerja sebagai pelayan restoran di sana. Namun dia dideportasi ke Afghanistan, sementara keluarganya tetap berada di Iran. Akhirnya, ia memutuskan mencoba mencari penempatan ke Australia melalui Indonesia.
Dengan membayar sekitar 40 juta rupiah menempuh perjalanan melalui jalur tidak resmi, Yahya berangkat ke Indonesia pada 2014 melalui India dan Malaysia.
“Saya bayar lagi 20 juta rupiah dari Malaysia ke Indonesia melalui Medan,” ujarnya.
Yahya, yang sudah mendapatkan status pengungsi dari UNHCR, berharap dapat ditempatkan di Australia karena sudah ada kerabatnya yang tinggal di sana.
Pengungsi lain, Ali Khan Khashieri yang juga beretnis Hazara, mengatakan ada beberapa dari mereka yang sudah hampir lima tahun di Indonesia.
“Yang berkeluarga menunggu hanya satu tahun, paling lama 2,5 tahun, sementara yang lajang bisa lama sekali,” tuturnya kepada BeritaBenar.
Ali menambahkan mereka hanya sebagian kecil dari ratusan pengungsi lain yang bernasib sama. Selama di Indonesia, mereka tinggal di beberapa lokasi di Jakarta, Bogor, dan Depok.
Muhammad Amin (19) mengaku tak akan meninggalkan Afghanistan tiga tahun lalu bila tidak ada konflik, yang mengakibatkan ayah dan adik laki-lakinya terbunuh dalam serangan oleh Taliban.
“Kami semua di sini sudah mendapat status pengungsi. Dari bahasa Indonesia kami, dapat dilihat bahwa kami sudah cukup lama ada di sini,’ ujarnya kepada BeritaBenar.
Tak peduli kebijakan Trump
Beberapa mengaku tak peduli dengan kebijakan imigrasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang sempat diberlakukan salah satunya untuk menangguhkan penerimaan pengungsi dari seluruh dunia selama 120 hari.
Mereka menyatakan tidak terlalu memilih ditempatkan dimana, karena yang penting mendapatkan penempatan permanen di negara ketiga yang aman sehingga bisa hidup dan beraktivitas secara normal.
Seorang staf UNHCR sempat keluar menemui mereka dan meminta tiga perwakilan demonstran untuk masuk, namun para pengungsi menolak karena mereka ingin semua diterima.
“Kami dapat mengerti frustasi yang dirasakan oleh para pengungsi,” ujar Mitra Salima Suryono, juru bicara UNHCR di Indonesia, kepada BeritaBenar.
Mitra menegaskan bahwa UNHCR melakukan koordinasi dengan berbagai pemerintahan untuk menangani pengungsi dan langkah pertama adalah memastikan mereka memiliki tempat yang aman untuk sementara.
“Kami berterima kasih bahwa Pemerintah Indonesia dapat menerima mereka di sini,” ujar Mitra, sambil menambahkan bahwa UNHCR dan berbagai pemerintahan juga terus mencari solusi jangka panjang untuk para pengungsi.
Menurutnya, penempatan di negara ketiga adalah satu dari beberapa solusi yang ada, termasuk kembali ke negara asal dengan sukarela, bila kondisi aman dan memungkinkan atau menyatukan kembali dengan keluarga, karenanya solusi yang diambil akan tergantung pada kondisi individual.
“Penempatan bukanlah hak pengungsi dan merupakan diskresi negara penerima. Penempatan hanya tersedia untuk pengungsi dalam jumlah kecil di seluruh dunia,” tambahnya.
Perpres
Menurut data UNHCR per Oktober 2016, terdapat sekitar 13.800 pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia.
Indonesia tidak dapat menampung mereka secara permanen karena bukan termasuk dalam penandatangan Konvensi PBB 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi.
Namun pada 31 Desember 2016, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Perpres ini mandat dari Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang menyatakan presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan menteri luar negeri.
Dalam siaran pers Sekretariat Kabinet RI pada 16 Januari 2017, disebutkan Perpres ini mengatur penanganan pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara pemerintah pusat dengan PBB melalui UNHCR di Indonesia beserta organisasi-organisasi internasional lainnya di bidang migrasi atau kemanusiaan.
Perpres ini mengatur kebijakan tentang penemuan, penampungan, pengamanan dan pengawasan keimigrasian pengungsi yang dikoordinasikan oleh menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan.