Malaysia, Thailand Menutup Wilayah Pantai Untuk Mencegah Pengungsi Yang Terus Mengalir
2015.05.14

Negara-negara Asia Tenggara pada Kamis mempertahankan keputusan mereka untuk menjaga masuknya kapal-kapal kayu bermuatan pengungsi etnis Rohingya dan Bangladesh yang kelaparan di wilayah pantai mereka, kritikan dunia internasional dan nasional beranjut atas kebijakan tersebut.
"Angkatan laut Thailand, Malaysia dan Indonesia seharusnya tidak memperlakukan para pengungsi seperti bola ping pong. Mereka seharusnya bekerja sama untuk menyelamatkan pengungsi diatas kapal-kapal naas tersebut," kata Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch Asia, dalam sebuah pernyataan.
"Pemerintah Burma telah menyebabkan krisis ini karena penganiayaan yang terus berlanjut terhadap etnis Rohingya," katanya.
"Thailand, Malaysia dan Indonesia membuat keadaan menjadi lebih buruk dengan kebijakan dingin yang memaksa ‘manusia perahu’ kembali ke laut dan menempatkan ribuan nyawa dalam resiko kematian.
"Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon "khawatir dengan laporan bahwa beberapa negara menolak masuknya kapal-kapal yang membawa pengungsi," kata sebuah pernyataan PBB.
"Sekjen mendesak pemerintah untuk memastikan kewajiban penyelamatan di laut ditegakkan ... Dia juga mendesak pemerintahan untuk memfasilitasi debarkasi tepat waktu dan membuka pelabuhan mereka untuk membantu pengungsi yang dalam keadaan rentan dan membutuhkan bantuan," kata pernyataan tersebut.
"Apakah itu adil?"
Angkatan Laut Thailand pada hari Kamis mengatakan telah memperbaiki kapal-kapal pengungsi dan memberikan persediaan bagi 300 pengungsi yang terdampar sekitar 17 kilometer dari provinsi Satun, namun pejabat mengklaim pengungsi tidak ingin datang ke pantai.
"Tak satu pun dari mereka ingin pergi ke pantai Thailand. Mereka ingin meneruskan perjalanan ke negara ketiga," kata juru bicara Wakil Pemerintah Mayor Jenderal Sansern Kaewkamnerd, Associated Press melaporkan.
Sementara itu, Malaysia mengembalikan ke negara asal sebuah kapal yang membawa sekitar 500 pengungsi dekat utara negara bagian Penang dan kapal lain dengan 300 pengungsi di dekat Pulau Langkawi, menurut laporan berita.
"Kami memberikan sinyal yang tepat, untuk mengirim mereka ke tempat asal," lapor Reuters mengutip perkataan Deputi Menteri Dalam Negeri Malaysia Wan Junaidi Tuanku Jaafar.
"Negara mereka tidak dalam keadaan perang. Jika tidak ada yang salah dengan kapal, mereka harus berlayar kembali ke negara mereka sendiri."
Di Bangkok, Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha mengatakan Thailand telah lama mengijinkan para pengungsi yang melintasi tetapi tidak bisa mengijinkan mereka untuk tinggal menetap di Thailand.
"Jika kita membuka perbatasan dengan bebas, siapa pun bisa datang sesuka hati," katanya.
Thailand telah memiliki sekitar 100.000 pengungsi di sembilan kamp sepanjang perbatasan dengan Burma, katanya.
"Jangan berbicara tentang bagaimana jika negara-negara ketiga akan memulangkan mereka. Tak seorang pun menginginkan mereka. Tapi semua orang ingin negara ketiga untuk mengambil tanggung jawab tersebut. Apakah itu adil? "
‘Tindakan kemanusiaan yang Islami segera diperlukan’
Aktivis dan tokoh agama menyatakan kemarahan atas keputusan pemerintah mengirim pulang pengungsi.
"Ini tidak mengembalikan ke negara asal, ini mengirimkan mereka kepada kematian," kata Nur Khan, direktur sebuah organisasi bantuan hukum Ain o Shalish Kendro di Bangladesh.
"Situasi ini harus dilihat dari sudut pandang kemanusiaan. Di laut, orang tidak bersalah terkatung-katung, dimanfaatkan oleh pedagang manusia. Dengan tidak menyediakan penampungan bagi mereka ini sangat tidak manusiawi dan hanya akan mengirim mereka ke ajal kematian,” katanya kepada BeritaBenar.
Amidi Abdul Manan, ketua Gerakan Pemuda Muslim dari Malaysia, mendesak negara agar bertindak bersama dengan negara-negara Muslim lainnya membantu para pengungsi.
"Meskipun mereka telah diberi makanan dan minuman di kapal, banyak dari mereka sakit. Mereka harus diberikan pengobatan segera, bukan hanya ditinggalkan di sana, "katanya.
"Jika biaya untuk menampung pengungsi menjadi pertanyaan, Malaysia sebagai anggota OKI harus menggunakan koneksinya dan mendiskusikan bagaimana menangani kebutuhan pengungsi ini dengan negara-negara Islam lainnya,” katanya, mengacu pada 57-anggota Organisasi Kerjasama Islam.
"Langkah-langkah kemanusiaan yang Islami dibutuhkan segera," katanya mendesak.
Di Indonesia sekitar 600 pengungsi mendarat di perairan Aceh telah diselamatkan awal pekan ini, tetapi satu perahu lainnya dikembalikan ke laut. Kepala Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyerukan respon kemanusiaan.
"Kita harus membantu mereka tidak hanya untuk kepentingan agama, tetapi untuk kepentingan kemanusiaan, dan ini sesuai dengan ajaran Islam. Kita harus membantu," Din Syamsuddin mengatakan BeritaBenar.
'Satu juta orang masih menunggu’
Malaysia memutuskan untuk tidak menerima lebih banyak perahu pengungsi setelah 1.158 pengungsi dari Burma dan Bangladesh mencapai perairan mereka pada hari Senin. Para pengungsi saat ini sedang dipindahkan ke fasilitas penahanan di Sik, daerah terpencil di negara bagian Kedah.
"Setelah beberapa kapal yang membawa pengungsi ilegal masuk, kami siaga untuk mencegah," Mohamed Thajudeen Abdul Wahab, Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Malaysia, mengatakan kepada Bernama pada hari Kamis.
"Kita tidak bisa mengkompromikan hal ini karena arus masuknya pengungsi ilegal tidak akan ada akhirnya. Sekitar satu juta orang dilaporkan menunggu di Myanmar dan Bangladesh untuk berlayar ke Malaysia," katanya.
Profesor dari Universiti Teknologi Malaysia (UTM) mengatakan bahwa meskipun ekonomi Malaysia relatif tinggi, terlalu kecil untuk bisa menangani masuknya arus pengungsi dalam jumlah besar.
Pemerintah saat ini telah menghabiskan RM 30 - RM50 (US $8-14) per imigran setiap harinya, Azmi Hassan mengatakan kepada Bernama.
"Jika kita menerima lebih banyak pengungsi, situasi tidak akan terkendali dan akan membahayakan keamanan nasional serta kemakmuran," katanya.
"Kami adalah negara kecil dan bukan negara kuat."