Umar Patek Tak Dilibatkan Dalam Upaya Pembebasan Sandera

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.06.30
Jakarta
  Kapal tugboat Charles 001 saat merapat di Pelabuhan Semayang Balikpapan, Kalimantan Timur, 25 Juni 2016.
Gunawan/BeritaBenar

Kemungkinan melibatkan mantan anggota kelompok Jamaah Islamiyah, Umar Patek, dalam upaya pembebasan tujuh warga negara Indonesia (WNI) yang disandera militan di Filipina Selatan sejak 20 Juni lalu dinilai bukan opsi yang efisien.

Opsi menggunakan Umar Patek, yang memiliki kedekatan masa lalu dengan pimpinan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan, pernah mengemuka saat upaya pembebasan 10 awak kapal asal Indonesia setelah disandera pada Maret lalu.

“Keterlibatan Umar Patek saat ini kurang efektif, dan sudah ada tim pemerintah yang berada di sana,” ujar staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang pencegahan, Wawan Purwanto kepada BeritaBenar, Kamis, 30 Juni 2016.

Menurut sumber BeritaBenar, Umar sempat dijadikan sebagai salah satu opsi pada awal upaya pembebasan 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf, April lalu. Tapi, keterlibatannya dihentikan karena informasi itu bocor ke media massa.

Mengupayakan bantuan upaya pembebasan melalui orang-orang dengan latar belakang seperti Umar Patek tidak terbatas pada terpidana 20 tahun penjara atas kasus bom Bali I tahun 2002 yang sudah tobat itu, kata sumber tersebut.

“Ada banyak orang berkemampuan seperti Umar Patek dengan kemampuan dialek dan paham kondisi lokal di Filipina selatan,” ujar Iwan Ong, penulis buku yang juga seorang pemerhati sejarah militer kepada BeritaBenar.

Beberapa langkah awal

Iwan menambahkan, beberapa langkah awal yang dilakukan dalam upaya pembebasan sandera adalah menjalin kontak dengan penyandera, membangun kepercayaan sambil menyusun profil para penyandera dan meminta bukti nyata bahwa para sandera masih hidup.

“Sementara hal itu dijalankan, harus ada manajemen media dan membuat sumber informasi satu pintu (terkait upaya penyelamatan) yang tetap bisa memenuhi rasa ingin tahu masyarakat tanpa membahayakan operasi penyelamatan,” ujar Iwan.

Menurut dia, tekanan pemberitaan media bisa membuat otoritas setempat mengambil langkah tidak perlu hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka tak tinggal diam. Akibatnya prioritas dapat berubah tidak lagi pada keselamatan para sandera.

Klarifikasi pernyataan Ryamizard

Pada hari terakhirnya menjabat, Menteri Pertahanan Filipina, Voltaire Gazmin mengklarifikasi pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu yang dikutip sejumlah media nasional bahwa Filipina sudah memberi izin kepada TNI masuk ke wilayah Filipina untuk membebaskan ketujuh sandera.

"Pemerintah Filipina mengizinkan pengejaran terhadap perompak dan teroris di Filipina Selatan hingga melintasi perbatasan laut RI-Filipina. Semua dilakukan dalam kerangka semangat ASEAN, yakni keamanan dan stabilitas kawasan," kata Ryamizard seperti dikutip Kompas.com. Pernyataan tersebut disampaikan setelah pertemuannya dengan Gazmin di Manila, Minggu, 26 Juni lalu, sebagai tindak lanjut kesepakatan Indonesia, Filipina, dan Malaysia mengenai patroli bersama di perbatasan ketiga negara.

"Filipina sangat positif dan terbuka dalam menyelesaikan persoalan keamanan di Kepulauan Sulu," tambah Ryamizard.

Merespon hal tersebut, seperti dikutip media Filipina, Philstar.com, Gazmin mengatakan upaya pembebasan ketujuh sandera itu menjadi tanggung jawab otoritas keamanan Filipina karena terjadi di wilayahnya.

"Mereka (militer Indonesia) hanya dapat melakukan operasi pengejaran dalam wilayah kita bila insidennya terjadi di perairan mereka, berdasarkan prinsip pengejaran (hot pursuit),” ujar Gazmin, Rabu, 29 Juni 2016.

Hal ini sesuai dengan Perjanjian Penyeberangan Perbatasan 1975 antara kedua negara, dimana militer Indonesia diperbolehkan masuk ke wilayah maritim Filipina berdasarkan konsep hot pursuit. Begitu juga sebaliknya, aparat keamanan Filipina dapat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan konsep yang sama.

“Namun kesepakatan hot pursuit berlaku ke depannya dan tidak berlaku surut, bukan untuk pembebasan ketujuh sandera sekarang,” ujar Iwan.

Gazmin juga menyebutkan, militer kedua negara sedang mempertimbangkan pengerahan marsekal laut untuk mengawal warga sipil memasuk wilayah masing-masing negara.

Tapi, menurut Wawan, pengerahan marsekal laut di kapal sipil dan komersil sebenarnya tidak diperbolehkan berdasarkan aturan di Indonesia. “Tapi ini kondisi tertentu dengan resiko tinggi jadi opsi itu dipertimbangkan,” ujarnya.

Menteri Luar Negeri Indonesia (Menlu) Retno Marsudi dalam konferensi pers, Selasa, 28 Juni 2016, menjelaskan pertemuan Ryamizard dan Gazmin menyetujui dua kesepakatan dalam peningkatan kerjasama untuk penyelamatan sandera dan kerjasama untuk mencegah terjadinya pembajakan di masa mendatang.

Menlu kunjungi Filipina

Sebagai lanjutan pembahasan upaya pembebasan tujuh sandera WNI yang merupakan anak buah kapal (ABK) tugboat Charles 001 itu, Menlu Retno mengunjungi Filipina untuk bertemu Menlu baru, Perfecto R. Yasay, Jr. yang langsung dilantik setelah pelantikan Rodrigo Duterte sebagai Presiden Filipina ke-16, Kamis, 30 Juni 2016.

Dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri disebutkan bahwa Retno juga membawa surat ucapan selamat Presiden Joko Widodo untuk Presiden Filipina yang terpilih dalam pemilihan pada Mei lalu.

“Dalam surat itu juga disebutkan harapan agar kedua negara dapat menjalin kerja sama lebih kuat di masa mendatang, termasuk kerjasama pengamanan lalu lintas pelayaran di laut Sulu,” demikian pernyataan tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.