Terdakwa Penyelundup Manusia Dituntut Sembilan Tahun Penjara
2017.03.03
Jakarta
Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, telah menuntut terdakwa kasus dugaan penyelundupan manusia, Abraham Louhenapessy alias Kapten Bram, sembilan tahun penjara.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Rote Ndao, Kamis, 2 Maret 2017, JPU Alexander Sele menyebutkan terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 120 ayat 1 Undang Undang No. 6 tentang Keimigrasian tahun 2011 menyangkut penyelundupan manusia.
Hukuman untuk kejahatan tersebut adalah penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 500 juta rupiah dan paling banyak 1,5 miliar rupiah.
“Awalnya kami mengajukan dua ayat dakwaan, yaitu ayat 1 dan 2 di pasal 120, namun setelah selama proses persidangan, terdakwa hanya terbukti bersalah melanggar ayat 1,” ujar Alexander melalui telepon kepada BeritaBenar, Jumat.
Selain itu, Abraham juga dituntut membayar denda Rp500 juta atau bisa diganti dengan enam bulan kurungan.
Alexander mengatakan Kapten Bram, yang di persidangan didampingi seorang anaknya yang datang dari Ambon, sudah memberikan pembelaannya secara lisan di pengadilan.
“Abraham mengakui perbuatannya namun dia minta hukuman diringankan mengingat dirinya adalah tulang punggung keluarga,” jelas Alexander.
Sidang berikutnya akan berisi pembacaan pembelaan resmi dari pengacara Abraham, dilaksanakan pada 9 Maret mendatang.
Diperkirakan sidang akan berjalan dua kali lagi sebelum majelis hakim memutuskan hukuman terhadap Kapten Bram.
Pemain lama
Abraham dikenal sebagai pemain lama penyelundupan manusia dan terkait setidaknya dalam dua kasus pelayaran ilegal membawa imigran gelap ke Australia.
Dia pernah ditangkap pada Mei 2007 dan Oktober 2009 karena berusaha menyelundupkan 83 dan 225 imigran gelap ke Australia, tapi dibebaskan karena saat itu Indonesia belum punya undang-undang yang mempidanakan penyelundupan manusia.
Indonesia baru dapat mempidanakan penyelundupan manusia setelah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian diundangkan pada 5 Mei 2011.
Alexander mengatakan Abraham adalah terdakwa kesembilan yang diadili dalam kasus penyelundupan 65 pencari suaka – terdiri dari 54 warga Sri Lanka, 10 warga Bangladesh dan seorang warga Myanmar ke Selandia Baru.
Delapan terdakwa lain, termasuk warga negara Sri Lanka yang bertindak sebagai koordinator jaringan penyelundupan manusia bernama Vishvanathan Thinesh Kumar alias Kugan, yang sudah divonis. Kugan divonis lima tahun enam bulan dan denda Rp500 juta pada 25 Februari 2016.
Terdakwa lain, Yohanis Humiang, juga sudah divonis lima tahun delapan bulan penjara pada 14 Januari 2016.
“Vonis terberat dijatuhkan pada terdakwa Mansur, dengan enam tahun penjara dan denda 500 juta rupiah. Mansur ini berperan sebagai perekrut anak buah kapal atas permintaan Abraham,” ujar Alexander.
Abraham ditangkap polisi di sebuah perumahan di Kalideres, Jakarta Barat, pada 23 September 2016 setelah sebelumnya buron.
“Satu pelaku lagi masih dalam daftar pencarian orang, yaitu Suresh,” ujar Alexander.
Menurut polisi, Suresh diyakini sebagai dalang sindikat penyelundupan manusia yang membawa imigran gelap dari luar negeri ke Indonesia.
Perlu keadilan
Muhammad Hafiz, salah satu ketua jaringan masyarakat sipil sukarela Suaka, beranggota individu dan organisasi yang bekerja bagi perlindungan hak-hak pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, mengingatkan perlunya keadilan dalam putusan pengadilan kepada para terdakwa.
“Jangan sampai beda jarak tuntutan hukuman kepada (Kapten) Bram dan nelayan atau pelaku lain yang tidak paham bahwa perbuatan mereka melanggar hukum Indonesia hanya sedikit. Keadilan dalam putusan pengadilan harus cerminkan peran masing-masing pelaku,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Hafiz mempertanyakan sejauh mana penyelidikan atas peran yang dilakukan Abraham dan posisinya di lapangan sebagai eksekutor penyelundupan manusia.
Menurutnya, berdasarkan informasi di Rote, jaringan ini bekerja sangat rapi dan yang di lapangan sama sekali tak terkait dengan dalang utama sindikat penyelundupan manusia.
“Kasus ini jangan berhenti di Abraham saja, harus terus usut siapa dalang di baliknya,” ujar Hafiz.
Menurut polisi, kasus ini berawal ketika Suresh dan jaringannya memberangkatkan ke-65 imigran dari Tegal, Jawa Tengah, pada Mei 2015 dengan imbalan sekitar Rp4 milyar dari para pencari suaka untuk sekali pemberangkatan.
Kumar menyediakan dana Rp1,6 milyar untuk membeli dua kapal motor yang digunakan untuk menyeberang ke Selandia Baru, tapi mereka dicegat petugas perbatasan dan angkatan laut Australia saat memasuki perairan negara Kangguru itu.
Kedua kapal ini lalu digiring kembali ke perairan Indonesia hingga akhirnya terdampar di Pulau Lanu, Kabupaten Rote Ndao, pada 31 Mei 2015.
Penggiringan kedua kapal tersebut sempat membuat hubungan Jakarta dan Canberra memanas setelah awak kapal mengaku dibayar angkatan laut Australia lebih dari 30 ribu dolar Amerika.
Pemerintah Australia yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Tony Abbott tidak pernah membantah klaim pembayaran tersebut.