KontraS: Angka penyiksaan aparat terhadap anak meningkat
2024.06.26
Jakarta
Penyiksaan aparat hukum dan keamanan terhadap anak-anak di Indonesia meningkat signifikan dalam setahun terakhir, demikian laporan terbaru organisasi pemantau hak asasi manusia pada Rabu (26/6).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan tahunan memperingati Hari Dukungan bagi Korban Penyiksaan Sedunia 2024 mencatat sebanyak 14 kasus penyiksaan terhadap anak-anak terjadi sepanjang Juni 2023 hingga Mei 2024.
Jumlah tersebut meningkat hampir tiga kali lipat dibanding periode sebelumnya yakni Juni 2022 hingga Mei 2023, sebanyak lima kasus penyiksaan.
Angka penyiksaan temuan KontraS itu belum termasuk kasus Afif Maulana, 13, yang diduga disiksa polisi pada 9 Juni di Padang, Sumatra Barat. Jenazah Afif ditemukan di bawah sebuah jembatan dengan sejumlah luka di badan.
"Ini fenomena baru yang terus meningkat. Bahwa kekerasan kini tak lagi menyasar orang dewasa," kata Helmy Hidayat Mahendra, anggota Divisi Riset KontraS dalam pemaparan laporan berjudul "Impunitas dan Minimnya Komitmen Penghapusan Penyiksaan di Indonesia".
"Kasus terbaru kan ada Afif di Padang yang kematiannya diduga disiksa polisi, dan itu hanya fenomena 'gunung es' penyiksaan anak di Indonesia," ujar Helmy, seraya menambahkan kasus Afif tidak termasuk dalam rekapitulasi penyiksaan terhadap anak yang dilansir KontraS.
Konvensi internasional soal penentangan penyiksaan mendefinisikan tindakan itu sebagai perbuatan yang dengan sengaja dapat menimbulkan rasa sakit atau penderitaan luar biasa pada seseorang untuk memperoleh pengakuan. Praktik ini lazim terjadi saat interogasi oleh aparat penegak hukum, terang KontraS.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-undang Konvensi Menentang Penyiksaan Nomor 5 pada 1998, namun KontraS menilai pelaksanaannya tidak pernah dilakukan secara serius.
Helmy mengatakan peningkatan kasus penyiksaan terhadap anak-anak oleh aparat, antara lain, didorong oleh gencarnya "perang" terhadap narkotika yang secara ironis dalam pelaksanaannya justru kerap melanggar aturan dan hak asasi manusia.
Dia mencontohkan perkara anak berinisial IK,16, yang disiksa polisi serta dipaksa mengaku sebagai kurir narkotika. Dalam interogasi terhadap IK, anggota polisi ditemukan memukul korban, bahkan menodongnya dengan senjata api.
Padahal sesuai Undang-Undang Peradilan Anak, sekali pun seorang anak terbukti sebagai pelaku tindak pidana, penyiksaan tidak boleh dilakukan, terang Helmy.
"Penyiksaan yang menimpa anak di bawah umur menunjukkan bahwa walau dalam konteks penegakan hukum anak telah dilindungi, namun pada praktiknya aparat masih belum sadar dan sepenuhnya mematuhi hal tersebut," lanjut Helmy.
Selain peningkatan penyiksaan terhadap anak-anak, KontraS juga mencatat jumlah penyiksaan oleh aparat hukum dan keamanan terus meningkat dalam setahun terakhir.
Sepanjang Juni 2023 hingga Mei 2024, KontraS mencatat 60 kasus penyiksaan, naik dari periode sama tahun sebelumnya yakni 54 peristiwa.
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan kepolisian juga masih menjadi mayoritas pelaku penyiksaan dengan 40 peristiwa, disusul Tentara Nasional Indonesia (TNI) 14 kasus, dan sipir penjara enam kasus.
Jumlah ini bertambah dibanding periode sebelumnya yaitu kepolisian melakukan 34 peristiwa penyiksaan, TNI 10 kasus, sipir delapan kasus, dan petugas imigrasi sebanyak dua peristiwa.
Dari 60 kasus penyiksaan dalam kurun Juni 2023 hingga Mei tahun ini, KontraS mencatat 74 orang luka-luka dan 18 orang meninggal dunia. Periode sebelumnya, sebanyak 68 orang luka-luka dan 18 meninggal dunia.
Dimas menambahkan selain disebabkan praktik impunitas dan kultur kekerasan yang masih sulit dihapuskan di internal institusi aparat keamanan dan hukum, peningkatan penyiksaan juga dipicu oleh meningkatnya jumlah proyek strategis nasional yang digagas pemerintah.
"Itu (penyiksaan) berbanding lurus dengan kebijakan nasional. Proyek strategis nasional menjadi pintu masuk kekerasan negara, baik secara fisik maupun psikis," kata Dimas, seraya merujuk penyiksaan aparat terhadap warga Rempang di Kepulauan Riau pada September tahun lalu.
"Faktor eksternal itu melandasi bertambahnya praktik penyiksaan, selain memang ketidakmauan polisi untuk mengawasi dan menegakkan hukum internal."
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam keterangan pada 10 Juni menyatakan bahwa mereka menemukan 1.675 kasus pelanggaran HAM selama tiga tahun terakhir terkait proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN).
Analis Pelanggaran Hak Asasi Manusia Komnas HAM, Darmadi dalam kesempatan sama menambahkan, aparat hukum memang memiliki banyak cara dalam merawat impunitas, mulai dari menunda penyidikan, mencari alibi untuk merekayasa kasus, atau melobi keluarga korban agar bersedia menerima uang kompensasi.
"Kita melihat banyak kasus, kalau tidak viral maka kecenderungan membela institusi itu sangat tinggi. Bahkan, mencari alibi untuk merekayasa kasus," kata Darmadi.
Dia mencontohkan langkah kepolisian yang beralibi Afif jatuh ke sungai, padahal kematiannya punya kecenderungan tidak wajar.
"Impunitas dalam penegakan hak asasi manusia itu merupakan salah satu tindakan yang menyuburkan praktik penyiksaan," kata Darmadi lagi, sembari menambahkan bahwa Komnas HAM telah mengirimkan tim ke Sumatera Barat untuk mendalami kasus tersebut, namun ia tak memerinci kapan komisi akan menjabarkan temuannya.
BenarNews menghubungi Juru Bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu terkait temuan KontraS, namun ia enggan berkomentar lebih lanjut dengan alasan, "Saya belum baca laporannya."
Adapun terkait kasus Afif, ia meminta masyarakat tidak berspekulasi lantaran penyidik polisi setempat masih melakukan pemeriksaan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dalam laporan awal menyatakan bahwa Afif meninggal karena disiksa anggota kepolisian daerah Sumatra Barat yang sedang berpatroli pencegahan tawuran.
Mereka mendapati luka lebam di sekujur tubuh Afif yang diduga berasal dari penyiksaan dengan rotan, tendangan, disetrum, hingga disundut rokok.
Menanggapi hal tersebut Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto mengklaim pihaknya selalu melakukan evaluasi terkait laporan yang ada.
Terkait kekerasan aparat, dia menganalisis dari tahap penangkapan masuk ke tahap pemeriksaan dan penahanan ada kekerasan yang dilakukan.
“Berbagai bentuk kekerasan dilakukan. Ini kelemahan kami,” ujar Benny.
Menurut dia, faktor terjadinya kekerasan bermacam-macam. Ketika penangkapan ada faktor perlawanan, ditangkap ketika mabuk, atau sedang menggunakan narkoba, sehingga potensial terjadi kekerasan. Pemeriksaan juga begitu karena mengejar pengakuan.
Benny merekomendasikan Polri untuk selalu mengedepankan scientific evidence investigations, dan menyediakan bank data kriminal untuk menekan angka kekerasan yang terjadi.
“Misalnya DNA, ketika kriminal ada DNA melekat pasti sudah efektif akurat, kemudian mengedepankan CCTV, jejak digital, mendorong penggunaan body camera pada petugas sehingga bisa merekam, siapa salah dan mendahului kelihatan jelas,” kata dia.
Benny mengharapkan penyidik tidak perlu mengejar pengakuan dengan kekerasan. Menurut dia, aduan yang paling sering di Kompolnas merupakan bagian Reserse seperti pelayanan buruk, diskriminatif, kekerasan.
“Kami dari Kompolnas melakukan penelitian dan melakukan perbaikan terhadap Polri, peran psikologi diperkuat, anggota perlu konseling harus ditangani, penanganan tersangka, sehingga mereka bisa lebih profesional,” kata dia.