Perang Pandan, Ritual Menghormati Dewa Perang
2016.07.01
Karangasem
Sasih Kelima atau bulan kelima dalam kalender Desa Tenganan Pegeringsingan adalah puncak hari raya di desa tua di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, di Bali bagian timur ini.
Pada bulan Juni, warga Tenganan menggelar upacara Sasih Sembah, ritual terbesar di desa yang berjarak sekitar 60 km sebelah timur Denpasar. Selama sebulan, warga melakukan berbagai kegiatan adat. Namun, ritual paling ditunggu adalah mekare-kare atau perang pandan.
Tahun ini, mekare-kare diadakan pada Kamis hingga Sabtu lalu. Kamis, 23 Juni 2016, hanya semacam simbolis. “Pada hari pertama hanya ada ritual kecil untuk memulai mekare-kare dua hari selanjutnya,” kata Putu Wiadnyana, warga Desa Tenganan.
Dua hari puncak ritual mekare-kare dengan tempat berpindah-pindah. Jika hari pertama diadakan di depan Bale Petemu Kelod, di bagian paling utara, maka pada hari kedua dan ketiga berpindah ke depan Bale Petemu Tengah dan Bale Petemu Kaja, di bagian paling selatan desa.
Menurut Putu, pelaksanaan di Bale Petemu Kelod merupakan bentuk penghormatan kepada yang paling tua. Dalam kepercayaan warga Tenganan, orang paling tua yang paling harus dihormati.
Pertarungan sesungguhnya
Pada 24 dan 25 Juni 2015, ritual mekare-kare digelar dengan “perang” sesungguhnya. Ratusan warga desa segala usia berkumpul di depan Bale Agung, bangunan 25 meter yang jadi tempat berkumpul warga saat ada acara.
Para lelaki mengenakan sarung khas Bali (kamen) dan bertelanjang dada siap mengikuti perang pandan. Sementara para gadis, atau daha, menyaksikan ritual dari bale. Sesekali mereka berteriak, memberi semangat kepada petarung.
Sebelum bertarung para lelaki memulai dengan ritual minum tuak atau mabuang tuak. Setelah meminum sedikit minuman keras yang terbuat dari pohon aren itu menggunakan daun pisang, tuak itu dibuang.
Gamelan tradisional yang disucikan dan tidak boleh sembarangan dimainkan segera dibunyikan. Tempo gamelan yang lambat di awal menjadi pengantar ratusan laki-laki turun ke lapangan yang dikepung sesama peserta mekare-kare, fotografer, ataupun warga lain yang ikut menonton ritual setahun sekali itu.
Tidak ada kewajiban setiap warga ikut mekare-kare. Namun, bagi warga Tenganan, ritual ini menjadi ajang kebanggaan dan unjuk keberanian. Begitu pula bagi dua anak SD, Komang Adi Wiryawan dan Gede Parta Dika Pratama. Dua sahabat ini bahkan sudah bersepakat untuk menjadi lawan tanding dalam perang pandan.
“Tidak sakit. Saya justru senang bisa ikut,” kata Adi, murid Kelas VI SD 1 Tenganan yang sudah dua kali ikut perang pandan.
Pada saat perang pandan, peserta memang maju sepasang demi sepasang bersama lawannya. Kadang mereka menentukan sendiri lawannya. Namun, sebagian besar justru ditentukan oleh semacam wasit. Pemilihan lawan biasanya dari kesamaan tinggi dan berat badan.
Tangan kanan petarung memegang potongan daun pandan (Pandanus amaryillifolius) sebagai senjata. Tangan kiri memegang tamiang, perisai bundar terbuat dari rotan.
Begitu sang penengah memberi aba-aba, keduanya saling menyerang dengan daun pandan. Bagian yang boleh diserang adalah punggung, leher, dan dada. Tidak boleh muka.
“Kalau bisa melukai leher atau ketiak lawan, akan dianggap sudah pintar karena itu bagian paling sulit,” terang Putu.
Satu dua pasangan yang bertarung ada sampai jatuh. Namun, penengah segera memisahkan mereka. Sebab, menurut Putu, tidak boleh ada emosi selama perang pandan berlangsung.
Keakraban peserta terlihat setelah perang sekitar dua jam berakhir. Mereka saling mengobati luka-luka akibat duri-duri tajam pandan, menggunakan boreh dengan bahan kunyit. Mereka kemudian makan dalam satu wadah bersama atau megibung.
Peserta perang saling memukul dengan daun pandan dalam ritual mekare-kare di Desa Tenganan Pegeringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali, 25 Juni 2016. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Menghormati Dewa Perang
Perang pandan memang bukan mencari siapa kalah atau menang. Ritual ini juga tak boleh dilakukan di luar perayaan Sasih Sembah.
“Mekare-kare adalah bentuk penghormatan warga Tenganan terhadap Dewa Indra,” kata I Nyoman Sadra, tetua Tenganan yang juga mantan anggota DPRD Karangasem.
Menurutnya, Tenganan memang berbeda dengan desa-desa lain di Bali. Begitu pula dengan kepercayaan dan ritualnya.
Umumnya, umat Hindu di Bali memuja tiga dewa sebagai manifestasi Sang Hyang Widhi atau Tri Murti yaitu Shiwa, Wisnu, dan Brahma. Namun, bagi umat Hindu di Tenganan, Dewa Indra atau Dewa Perang dianggap dewa tertinggi.
Karena Dewa Indra adalah dewa perang, ritual upacara di Tenganan banyak berupa ritual menyerupai perang. Selain mekare-kare juga ada ritual tanggung-tanggungan, perang saling lempar hasil bumi sebagai bentuk rasa syukur.
Sebagai desa tua atau Bali Aga, Tenganan tidak melaksanakan ritual layaknya umat Hindu umumnya, seperti Hari Raya Galungan, Kuningan, dan Nyepi.
Bali Aga sudah ada sebelum masuknya orang-orang Jawa pada masa Majapahit yang kemudian dikenal sebagai orang Bali saat ini. Selain Tenganan, Bali Aga lain adalah Trunyan di Kintamani, Bangli dan Sembiran di Tejakula, Buleleng.