Indonesia Percepat Pembangunan 11 Pos Lintas Perbatasan Dengan Empat Negara

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2019.01.28
Jakarta
badau-1000.jpg Sejumlah warga berfose di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau di Kecamanatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, 28 Oktober 2017.
Severianus Endi/BeritaBenar

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo akan menyelesaikan target pembangunan 18 pos lintas batas negara dengan membangun 11 pos dalam tahun terakhir masa jabatannya, setelah tujuh pos berhasil didirikan.

Disebutkannya bahwa membangun wilayah perbatasan penting bagi keamanan nasional yang sementara ini menurutnya rapuh karena terisolir, tidak bisa dijangkau dengan transportasi umum dan tidak ada pemukiman manusia.

“Nanti dengan adanya pos lintas batas, yang dari 18 sudah tujuh terbangun, maka juga akan terbangun kebutuhan lain di lingkungan itu seperti sekolah, pasar, puskesmas, beberapa sentra kerajinan masyarakat yang otomatis terbangun,” ujarnya kepada wartawan usai membuka rapat koordinasi (rakor) pengendalian pengelolaan perbatasan negara yang melibatkan sejumlah kementerian, lembaga dan pemerintah daerah di Jakarta, Senin, 28 Januari 2019.

Menurutnya, pembangunan pos lintas batas akan mendorong terciptanya sentra-sentra ekonomi baru yang nantinya akan berkembang menjadi kota-kota di wilayah perbatasan dan akhirnya akan menguatkan wilayah tersebut karena ada pemukiman manusia.

“Saya juga minta TNI dan Polri mengisi wilayah perbatasan yang terbangun itu dengan kekuatannya untuk mengawasi dan mengamankan perbatasan,” tambahnya.

Rencana pembangunan 11 pos lintas batas negara ini dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2019 yang dikeluarkan pada 11 Januari 2019.

Dalam Inpres tersebut, presiden menginstruksikan 20 lembaga dan kementerian serta lima gubernur dan sembilan bupati untuk mempercepat pembangunan 11 pos lintas batas di lima provinsi yaitu Kepulauan Riau dengan satu pos, Kalimantan Barat dengan dua pos, Kalimantan Utara dengan empat pos, Nusa Tenggara Timur dengan dua pos dan Papua dengan dua pos.

Satu-satunya pos lintas batas laut adalah di Pulau Serasan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang berhadapan langsung dengan Laut China Selatan dan perbatasan maritim dengan Malaysia dan Vietnam.

Dalam sambutannya di rakor, Wiranto mengatakan bahwa negara harus mengelola wilayah perbatasan, sebagai komitmen bahwa negara hadir di sana, yang umumnya berada di wilayah terpencil, dimana ada potensi berbagai kegiatan melanggar hukum seperti pembalakan liar, perdagangan manusia, pertambangan liar, penangkapan ikan liar, penyelundupan narkoba serta pergerakan teroris.

Rencana aksi

Pelaksana tugas Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Widodo Sigit Pudjianto, mengatakan dalam rakor itu bahwa acuan teknis pelaksanaan dan pengalokasian anggaran pembangunan pos lintas batas sudah tertuang dalam Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan Negara.

“Kepada gubernur dan bupati yang daerahnya menjadi tempat pembangunan pos lintas batas negara dimaksud, agar mengoordinasikan penyiapan lahan siap bangun dan proses perizinan dalam upaya percepatan pelaksanaan pembangunan pos lintas batas negara,” ujar Sigit.

Sebelumnya pada minggu lalu, Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara BNPP, Robert Simbolon, mengatakan dari 11 pos, ada empat pos yang menjadi prioritas pertama yaitu pos di Sei Pancang dan Long Midang di Nunukan, Kalimantan Utara; pos Jagoi Babang di Bengkayang, Kalimantan Barat; dan pos Sota di Merauke, Papua.

Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu di laut dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, sementara di darat berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Indonesia dan Malaysia mempunyai lebih dari 2.000 kilometer garis perbatasan di Pulau Kalimantan, yang memisahkan Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara di Indonesia dengan negara bagian Sabah dan Sarawak di Malaysia.

Yosef Riadi, seorang warga Singkawang, Kalimantan Barat, mengatakan situasi di perbatasan Entikong di sisi Indonesia yang berhadapan dengan Tebedu di Sarawak, Malaysia, sudah jauh lebih baik dengan adanya pembangunan jalan dan pengembangan wilayah di sana.

"Dulu jalan di sisi Entikong sempit dan jelek, sekarang lebar dan mulus dan keamanannya juga meningkat. Sebelumnya banyak calo yang memaksa warga untuk menukarkan rupiah ke ringgit kepada mereka. Sekarang mereka sudah tidak ada," ujarnya kepada BeritaBenar melalui telepon.

Yosef menambahkan dia juga pernah melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia melalui Aruk di Sambas, yang berjarak sekitar 165 kilometer dari Singkawang.

"Dulu tidak ada jalan ke sana, sekarang kita bisa ke Aruk dengan mobil sekitar 3 sampai 4 jam," ujarnya.

Menurutnya, aktivitas ekonomi lintas batas kedua negara menjadi lebih lancar karena petani di sekitar Aruk dan Entikong dapat menjual hasil buminya di Sarawak dan warga perbatasan juga lebih mudah menuju Kuching, dimana ada bandara internasional.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pernyataan pers pada awal tahun ini mengatakan Indonesia dalam empat tahun terakhir telah melakukan 129 perundingan perbatasan dengan India, Malaysia, Vietnam, Palau, Filipina, Singapura, Thailand dan Timor-Leste.

“Negosiasi tidak hanya dilakukan pada tingkat teknis. Upaya tambahan juga dilakukan untuk memperkuat negosiasi, seperti penunjukan Utusan Khusus dan perundingan pada tingkat tinggi, yaitu pada tingkat Menteri Luar Negeri,” ujar Retno.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.