Aktivis Kecam Pelarangan Perempuan Keluar Malam di Aceh Utara

Dinilai tak sesuai syariat Islam, Aceh tak mengirim tim sepak bola perempuan dalam Liga Sepak Bola Perempuan Kemenpora, Agustus mendatang.
Nurdin Hasan
2019.07.11
Banda Aceh
aceh-1000.jpg Sejumlah perempuan mengunjungi arena Festival Kuliner Aceh di Banda Aceh, 7 Juli 2019.
Suparta/BeritaBenar

Dinilai diskriminatif, pegiat hak asasi manusia (HAM) mengecam pelarangan perempuan keluar malam jika tidak didampingi suami atau mahramnya di Kabupaten Aceh Utara.

”Kita mengecam keras peraturan dan kebijakan diskriminatif yang menyasar perempuan padahal banyak hal lain yang mesti dikerjakan pemerintah,” kata Soraya Kamaruzzaman, Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Kamis, 11 Juli 2019.

“Apa tujuan mereka membuat aturan begitu. Kenapa sasarannya selalu perempuan? Kalau disebutkan untuk melindungi perempuan, kenapa bukan laki-laki yang dilarang keluar malam.”

Balai Syura Ureung Inong Aceh adalah jaringan organisasi beranggotakan 90 organisasi perempuan di provinsi paling barat Indonesia itu.

“Ini bukan kali pertama aturan yang merugikan perempuan dan diskriminatif seperti itu di Aceh. Sebelumnya sudah pernah ada di beberapa kabupaten/kota, tapi tidak dipatuhi oleh masyarakat,” tambah Soraya.

Sehari sebelumnya, 28 organisasi masyarakat yang tergabung dalam Forum Silaturrahmi Ormas se-Aceh Utara mendeklarasikan upaya dilarangnya perempuan melakukan kegiatan di luar rumah pada malam hari tanpa didampingi suami atau mahram.

Selain itu, mereka juga meminta anak di bawah 17 tahun dilarang berkeliaran saat jam belajar dan malam hari tanpa didampingi orang tua atau wali.

Dalam acara yang dipusatkan di Masjid Agung Baiturrahim Lhoksukon ikut hadir Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib, seluruh pejabat Forkopimda, sejumlah ulama, pimpinan dayah, tokoh masyarakat, dan para pimpinan organisasi masyarakat tersebut.

“Di Aceh Utara, sudah banyak indikasi penyakit-penyakit masyarakat dan yang paling mengkhawatirkan adalah narkoba. Ini perlu mendapat perhatian dan keseriusan kita bersama,” kata Thaib.

Koordinator Forum Silaturrahmi Ormas, Teuku Zulfadli bin Ismail menyatakan imbauan itu sebagai wujud kepedulian kepada “generasi penerus agar selamat dari bencana dunia dan akhirat.”

Tak ada sanksi

Kabag Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Andree Prayuda, menyatakan imbauan itu untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada perempuan apabila keluar malam sendirian.

“Bagi sebagian orang kampung, perempuan keluar malam sendirian masih dianggap tabu. Kalau perempuan keluar jam 10 malam, pandangan masyarakat pasti negatif,” katanya saat dihubungi.

Andree memastikan tidak ada sanksi hukum bila imbauan itu tak dipatuhi warga Aceh Utara dan petugas Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah akan meningkatkan patroli.

“Tidak ada sanksi hukum. Kalau nanti ditemukan di lapangan, dia dibina, dinasehati. Tidak ada aneh-aneh karena kita sifatnya kekeluargaan,” kata Andree.

Namun Soraya meyakini larangan keluar malam bagi perempuan tidak akan dipatuhi oleh warga setempat karena pengalaman di beberapa kabupaten/kota lain sebelumnya, peraturan kontroversi seperti itu tak jalan.

Ia memberi contoh peraturan perempuan harus memakai rok di Aceh Barat, larangan duduk mengangkang bagi perempuan di Lhokseumawe, larangan perempuan makan semeja dengan pria yang bukan mahram di Bireuen, semuanya tidak dipatuhi.

“Seharusnya pejabat di Aceh berkaca dari beberapa kasus sebelumnya. Saya curiga jangan-jangan untuk menutupi ketidakmampuan memimpin, lalu membuat aturan seperti itu yang memang didukung ulama,” ujar Soraya.

Pendapat senada disampaikan Samsidar, Ketua Dewan Pengurus LBH Apik Aceh, dengan menyatakan pelarangan itu hanya untuk mencari "sensasi" karena tak ada kajian juridis, sosial, dan filosofis.

“Pembatasan perempuan keluar malam bukan saja diskriminatif, tetapi juga membatasi hak mendapat pekerjaan, berkumpul, dan berpartisipasi dalam pembangunan,” katanya.

Menurutnya, banyak kasus perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh terjadi bukan malam hari, tapi oleh pelaku yang mayoritas orang dikenal dan orang terdekat.

Hendra Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, menambahkan imbauan tak relevan karena masih ada perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga di Aceh Utara sehingga perlu melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari.

“Pemerintah Aceh Utara seharusnya paham bahwa derah itu sebagai salah satu daerah yang pada masa konflik mengalami intensitas tinggi, dimana berdampak banyak bagi perempuan untuk tulang punggung keluarga,” katanya.

Hendra berharap agar Pemerintah Aceh Utara lebih membuat program yang mendorong perekonomian warga karena kabupaten itu termasuk daerah dengan angka kemiskinan masih cukup tinggi.

Sepak bola perempuan

Sementara itu, Aceh tak akan mengirim tim sepak bola perempuan untuk ikut Liga Sepak Bola Perempuan Kemenpora yang digelar di Bandung, Agustus mendatang karena dinilai tidak sesuai syariat Islam.

Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan syariat Islam secara parsial. Bagi warga Muslim yang melanggar qanun (peraturan daerah) Jinayat akan dihukum cambuk di depan umum.

“Sama sekali tak ada pemberitahuan pada kami menyangkut masalah itu,” kata Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga Aceh, Darmansyah kepada BeritaBenar.

“Saya belum pernah lihat, belum pernah saya dengar dan belum pernah saya menonton pertandingan sepak bola perempuan di Aceh. Jadi belum ada klub bola perempuan di Aceh.”

“Intinya begini. Menurut saya, untuk olah raga di Aceh harus sesuai syariat Islam. Masih banyak olah raga lain yang sesuai syariat,” tegasnya.

Sepak bola perempuan di Aceh heboh setelah ditolak ulama dan organisasi masyarakat terkait pertandingan di Lhokseumawe pada 30 Juni lalu yang disebut-sebut untuk menjaring pemain mewakili Aceh guna ikut Liga Kemenpora.

Kegiatan itu digelar Badan Liga Sepakbola Pelajar Indonesia (BLiSPI) Aceh dan mereka telah meminta maaf kepada masyarakat Aceh.

"Kami atas nama panitia penyelenggara seleksi pemain sepakbola putri tingkat Provinsi Aceh memohon maaf kepada seluruh masyarakat Aceh jika penyelenggaraan kegiatan seleksi pemain itu ada bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam," kata Koordinator BLiSPi Aceh, Ishaq Rizal, seperti dikutip dari laman Detik.com.

Menurutnya, para pemain yang diseleksi memiliki potensi dan semangat mengikuti liga tingkat nasional.

Kepala Biro Humas dan Protokol Provinsi Aceh Rahmad Raden menyatakan Pemerintah Aceh tidak pernah memberi izin pelaksanaan sepak bola perempuan karena tidak sesuai syariat Islam.

“Olah raga yang kira-kira melanggar kearifan lokal, nggak perlu dipaksakan harus ada di Aceh. Olah raga yang bertentangan dengan budaya setempat, tak perlu dipaksakan,” katanya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) Muslim Ibrahim menyatakan belum pernah ada pembicaraan untuk membahas apa sepak bola haram atau tidak.

“Kami belum pernah membahas masalah sepak bola, lebih-lebih sepak bola perempuan. Sama sekali belum. Jadi, MPU belum punya pendapat,” katanya.

“Tapi jika ditanya pendapat pribadi saya, masih sangat banyak olah raga lain yang cocok bagi perempuan. Kenapa harus bola kaki. Sepak bola kurang pas bagi perempuan.”

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.