Retno Marsudi: Pelibatan Perempuan Kunci Demokrasi Inklusif
2019.12.05
Badung
![191205_ID_BDF_1000.jpg 191205_ID_BDF_1000.jpg](https://www.benarnews.org/indonesian/berita/perempuan-demokrasi-12052019152551.html/191205_ID_BDF_1000.jpg/@@images/3c7a8e6d-830f-42bb-afde-88b930eeb35c.jpeg)
Pelibatan perempuan adalah hal penting untuk mewujudkan demokrasi yang inklusif, demikian kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, saat membuka Bali Democracy Forum (BDF), dimana tiga menteri perempuan lainnya dari Australia, Kenya, dan Namibia, juga ikut berbagi pengalaman.
“Untuk membuat demokrasi lebih inklusif, kita harus memulai dengan perempuan,” kata Menlu Retno LP Marsudi, membuka BDF ke-12, di Nusa Dua, Bali, 5 Desember 2019.
BDF, yang diadakan pertama kali pada 2008 silam, tahun ini membawa tema Demokrasi dan Inklusi.
Pertemuan dua hari ini diikuti 90 perwakilan negara dan 7 perwakilan organisasi internasional serta perwakilan perempuan, pemuda, masyarakat sipil, akademisi, dan kalangan pengusaha.
Mengutip hasil riset The Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Indeks Demokrasi 2018, Menlu Retno mengaku senang dengan temuan lembaga tersebut bahwa partisipasi perempuan dalam politik telah membuat peningkatan signifikan selama dekade terakhir.
Retno menambahkan, indeks The Global Women, Peace, and Security (WPS) mengukur dimensi lain dari kesejahteraan perempuan yaitu keterbukaan (inklusi), keadilan, dan keamanan.
Hasilnya, negara-negara yang memberikan perempuan kesetaraan hak dan kesempatan akan cenderung lebih damai dan sejahtera.
Karena itulah, Retno melanjutkan, Indonesia juga terus mendorong keterlibatan perempuan dalam demokrasi sekaligus membagi pengalamannya kepada negara-negara lain.
Dari sisi diplomasi internasional, Retno menyatakan Kementerian Luar Negeri Indonesia juga terus mendorong penerapan Resolusi PBB Nomor 1325 tentang Perempuan, Kedamaian, dan Keamanan.
Resolusi ini secara khusus menyebut bagaimana perempuan dan anak-anak terdampak secara berbeda akibat konflik dan perang serta mengakui pentingnya peran perempuan dalam upaya membangun perdamaian.
Resolusi itu juga menyebutkan bahwa perdamaian dan keamanan akan lebih berkelanjutan ketika perempuan menjadi mitra setara untuk mencegah konflik dengan kekerasan, menyalurkan bantuan dan upaya perbaikan, serta mengupayakan perdamaian.
Diskriminasi ganda
Dalam panel bertema Women Leadership, Inclusion and State of Democracy yang digelar setelah pembukaan, Menlu Namibia Netumbo Nandi-Ndaitwah menceritakan pengalaman negaranya dalam memberikan kesempatan setara kepada perempuan.
Menurutnya, ketika Namibia baru merdeka, perempuan di Afrika bagian selatan itu menghadapi diskriminasi ganda karena politik apartheid.
“Saya sendiri termasuk perempuan yang menghadapi diskriminasi ganda sebagai orang kulit hitam maupun perempuan,” kata politisi perempuan kelahiran 1952 ini.
Saat itu, katanya, perempuan tidak bisa mendapatkan akses yang sama begitu negaranya merdeka.
Dia mengaku tidak bisa mendapatkan akses kesehatan setara dengan laki-laki. Perempuan juga tidak bisa menjadi pemimpin di perusahaan.
“Saat ini, perempuan sudah mendapatkan hak-hak setara termasuk persamaan di depan hukum, sesuatu yang dulu tidak bisa kami dapatkan pada masa politik apartheid,” lanjutnya.
Netumbo menambahkan, ketika berbicara tentang peran perempuan dalam demokrasi, tidak bisa hanya membicarakan tentang keterwakilan, tetapi juga manfaat dari keterwakilan tersebut.
“Kita tidak bisa berbicara hanya pada jumlah, berapa banyak perempuan dalam sebuah sistem, tapi juga apakah peran mereka sudah berdampak terhadap pemberantasan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman di Namibia, menurut Netumbo, tantangan terbesar adalah kemiskinan dan pengangguran.
Karena itu perempuan berperan penting dalam demokrasi karena secara naluriah mereka juga akan bekerja untuk keluarga.
“Pemberdayaan ekonomi dengan melibatkan perempuan sangat penting karena jika perempuan mendapatkan pekerjaan, maka akan berdampak juga terhadap kesejahteraan keluarga,” katanya.
“Demokrasi harus membawa kesejahteraan.”
Serangan terhadap demokrasi
Meskipun secara umum peran perempuan meningkat dalam politik, menurut Menlu Australia Marise Payne, masih banyak perempuan di dunia menghadapi ketidaksetaraan gender.
“Kita juga melihat bahwa potensi perempuan masih menghadapi banyak tantangan. Kita harus mengatasi ini. Inilah tantangan kita,” tegasnya.
Ketidaksetaraan gender di seluruh dunia telah merusak upaya peningkatan ekonomi, peningkatan sumber daya manusia, dan pemberantasan kemiskinan.
“Serangan terhadap perempuan juga serangan terhadap demokrasi dan tatakelola pemerintahan yang baik karena serangan itu juga merusak ketahanan terhadap konflik,” katanya.
Menurut Payne, demokrasi memerlukan kerja terus menerus. Oleh karena itu perempuan harus terlibat untuk masa depan negaranya. Perempuan harus memiliki peran sama.
“Diskusi (di BDF) hari ini menjadi upaya untuk menghilangkan penghalang keterlibatan perempuan. Kita tahu dalam diskusi ini bahwa perempuan berperan di semua sektor, rumah tangga, kesehatan, militer, dan lain-lain. Semua mengagumkan,” lanjutnya.
Payne sendiri adalah Menlu dan Menteri Urusan Perempuan sehingga membuatnya punya peran unik karena berarti harus memastikan kebijakan luar negeri Australia juga mendukung pemberdayaan perempuan seluruh dunia.
Dia menambahkan memastikan keterwakilan perempuan juga sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa jika perempuan terpilih dalam sebuah kepemimpinan demokratis, maka negara tersebut akan meningkat taraf hidupnya dan masyarakat juga akan lebih baik dan melindungi warganya.
Di sisi lain Payne juga mengapresiasi upaya Indonesia mendorong Resolusi PBB Nomor 1325 sebagai pengakuan terhadap perempuan dalam proses perdamaian.
“Kami di Australia sangat berkomitmen melaksanakan resolusi tersebut,” lanjutnya.
“Saya sepenuhnya yakin bahwa peran perempuan amat penting untuk mewujudkan kedamaian dan keamanan global.”