Menjelang 20 tahun Bom Bali, para penyintas mengenang peristiwa yang mengubah hidup mereka
2022.10.10
Denpasar
Dua puluh tahun setelah bom Bali, sebagian dari korban yang selamat telah berdamai dengan luka dan pedihnya kehilangan orang yang mereka cintai, serta beberapa telah memaafkan para militan yang melakukan serangan yang menewaskan 202 orang itu.
Namun kabar bahwa Umar Patek, terpidana yang membantu merakit bom yang digunakan dalam aksi terorisme paling mematikan di Indonesia itu, mungkin dibebaskan karena perilaku baik, telah membuat luka itu kembali terkoyak.
Ni Luh Erniati, yang kehilangan suaminya Gede Badrawan dalam bom Bali pada 12 Oktober 2022 itu, mengatakan dia bertemu Umar di penjara Porong, Jawa Timur, bulan lalu, sebagai bagian dari program deradikalisasi pemerintah.
“Dia cium kaki saya dan minta maaf. Saya bingung harus bagaimana. Dia menangis,” kata Erniati kepada BenarNews.
Gede, suaminya, adalah kepala pramusaji di kelab malam Sari Club di Kuta yang luluh lantak dibom selain Restoran Paddy pada 12 Oktober 2002. Satu bom juga meledak di depan konsulat Amerika di Denpasar.
“Saya bilang saya sudah memaafkan Bapak. Mari jaga negara kita tercinta agar damai, tidak terjadi kejadian bom Bali lagi,” kata ibu dua anak ini, menambahkan Umar pada saat itu berjanji tidak akan pernah melakukan aksi teror lagi.
Agustus lalu, pemerintah mengatakan Umar dapat segera dibebaskan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga dari hukumannya setelah menerima serangkaian remisi “berkelakuan baik”.
Umar, yang bernama asli Hisyam bin Ali Zein, ditangkap di Abbottabad, Pakistan pada Januari 2011, empat bulan sebelum Pasukan Khusus Amerika Serikat membunuh pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden di daerah yang sama. Umar dideportasi ke Indonesia pada Agustus tahun itu.
Dalam persidangannya pada tahun 2012 dia mengakui terlibat dalam merakit bahan peledak yang digunakan dalam bom Bali tetapi membantah ikut merencanakan serangan itu. Pada 2012, ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas kejahatan yang biasanya dijatuhi hukuman mati itu.
Pihak berwenang Indonesia mengatakan Umar adalah kisah sukses deradikalisasi, tetapi berita tentang rencana pembebasannya itu membuat marah pemerintah Australia, yang kehilangan 88 warganya dalam aksi teror yang disebut pemerintah dan para analis kontraterorisme dilakukan oleh Jemaah Islamiyah, jaringan militan al-Qaeda di Asia Tenggara.
Sejak bom Bali, lebih dari 1.000 orang telah divonis dan dipenjara atas tuduhan terkait terorisme, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Tiga militan Jemaah Islamiyah – Imam Samudra, Muhammad Ali Ghufron dan Amrozi bin Nurhasyim, yang dikenal juga sebagai Trio Pelaku Bom Bali, – dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003. Ketiganya dieksekusi pada 2008.
Tidak adil
Di antara korban yang menentang pembebasan bersyarat Umar adalah Thiolina Marpaung, 49, yang setelah dua dekade tragedi masih harus melakukan pemeriksaan medis rutin, karena lensa matanya pecah terkena beling. Ia bahkan harus dioperasi pada malam kejadian itu.
Ia mengungkapkan rasa traumanya menyaksikan temannya satu mobil tewas terbakar setelah bom dengan kekuatan besar meledak.
“Dua orang teman saya sampai kebakar dan kita bertiga masih hidup. Kita bertiga mendapatkan kesusahan berbeda beda dari Bom Bali itu,” kata Thiolina kepada BenarNews.
Ia merasa pembebasan cepat Umar sebagai sebuah ketidakadilan.
“Harusnya 20 tahun tapi didiskon. Tidak bisa dicegah, karena aturan pemerintah,” ujarnya, “korban mendapat apa? Saya lahir tidak cacat, karena kejadian itu cacat seumur hidup,” keluhnya.
Thiolina mendirikan Isana Dewata, sebuah yayasan yang membantu anak-anak dan janda korban peristiwa bom Bali.
Dia mengadvokasi pembangunan “Taman Perdamaian” sebuah peringatan untuk para korban yang berdiri di tempat di mana Sari Club dulu pernah berdiri.
Trauma berlanjut, memaafkan, dan berdamai
Sementara Erniati yang telah memafkan Umar tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa bom Bali telah membuatnya menjadi single parent, dan membesarkan anak sendirian dalam trauma.
Namun dia memilih untuk berdamai dengan kenyataan itu.
“Jangan sampai punya dendam. Saya juga harus bekerja, menjalankan usaha menjahit. Saya merasakan ketika marah, bersedih berhari-hari membuat makin sakit dan terpuruk,” tuturnya.
Erniati masih teringat tragedi 20 tahun itu, bagaimana pada malam kejadian tetangganya menceritakan bahwa ada bom di Sari Club tempat suaminya bekerja, namun dia tidak mau mempercayainya.
“Lama kelamaan saya semakin khawatir, kemudian tiba-tiba ada telepon berbunyi dan itu ternyata dari temannya suami. Dia tanya, ‘Pak Gede sudah pulang?’ Saya jawab, ‘belum’, lalu dia tanya kenapa tidak dicari? Bagaimana saya bisa cari, tidak ada motor, anak tertidur," kata Erniati.
Setelah hingga pukul 4 pagi suaminya belum datang akhirnya Erniati mencarinya ke lokasi ledakan. “Ketika saya tiba, semua sudah terbakar habis. Saya menyadari bahwa tidak mungkin suami saya untuk bertahan hidup,” katanya.
Tubuh suaminya diidentifikasi empat bulan kemudian.
Limna Rarasanti, anak korban, almarhum I Made Sujana, petugas keamanan yang meninggal di Sari Club juga memiliki harapan perdamaian.
“Harapannya karena sudah 20 tahun, berharap sudah damai kembali dan menjalani kehidupan sendiri, apa yang dikerjakan bisa sukses,” katanya tenang.
“Makin banyak yang datang ke rumah mencari Bapak tapi tidak ketemu sampai sebulan,” ujarnya, mengenang kejadian itu. Akhirnya keluarga memutuskan ngaben (ritual kremasi di Bali) tanpa jenazah hanya dengan simbol kayu cendana.
Kemudian petugas forensik Australia meminta sikat gigi dan celana yang belum dicuci untuk identifikasi. Keluarga kemudian diberikan sebuah amplop dengan serpihan delapan potong daging saja yang berhasil dikumpulkan.
“Padahal Bapak saya besar tinggi 170-180 cm, yang tersisa hanya delapan potongan. Diserahkan ke rumah sakit karena sudah ngaben. Mereka yang mengupacarai,” urai Limna.
Limna mengaku sudah menerima santunan dari pemerintah Provinsi Bali dan yayasan lain untuk dana pendidikan. Ada juga bantuan perseorangan dari Australia untuk anak korban sampai 18 tahun. Limna sekarang sudah punya dua anak.
Penyintas lainnya, Tumini, mengatakan pentingnya untuk saling menghormati dan tidak saling membenci walaupun ada perbedaan. Perempuan itu sempat menjadi saksi persidangan Amrozi dan Imam Samudera.
“Dia membenci orang kulit putih, (pelaku mengatakan) tidak bisa bawa bahan ke sana, terpaksa meledakkan di Bali,” katanya.
Tumini berharap semua manusia bisa hidup dalam damai. Ia juga berpesan kepada para penyintas untuk saling menguatkan.