Mencegah Pernikahan Anak di Nusa Tenggara Barat
2017.02.24
Mataram
Rukaiyah baru 15 tahun ketika bibinya memaksanya menikah dengan pacarnya yang berusia 17 tahun. Alasannya sang kekasih telat mengantarnya pulang ke rumah bibinya usai waktu shalat Isya.
Bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), perbuatan seperti itu bisa menjadi alasan pernikahan anak, yang dikenal dengan istilah merariq kodek atau perkawinan dini. Orang tua atau wali merasa berhak menikahkan anaknya dengan alasan perintah adat.
“Adat tidak membolehkan kita pulang kemalaman. Bibi tidak terima dan minta dia menikahi saya,” tutur Rukaiyah (20) kepada wartawan yang menemuinya di kantor Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) NTB di Mataram, Senin, 20 Februari 2017.
Adat lokal yang tak mengizinkan anak perempuan bertemu laki-laki bukan kerabatnya pada malam hari, menjadi pangkal suburnya praktik perkawinan anak.
Warga yang mayoritas Muslim juga menggunakan salah satu dalil agama Islam yang meminta umatnya menikah saat mampu, untuk melanggengkan praktik pernikahan dini.
Rukaiyah dan pacarnya pun lantas putus sekolah. Tragisnya, setelah 1,5 tahun menikah, mereka bercerai karena sang suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Rukaiyah kemudian menikah lagi dan melahirkan dua anak. Pernikahannya ini juga tak berlangsung lama.
Orang tua Rukaiyah berharap dia menemukan laki-laki bertanggung jawab dan memaksanya menikah untuk ketiga kalinya, meski Rukaiyah tak cinta. Pernikahannya juga kandas setelah suaminya kabur.
Rukaiyah kini tinggal bersama orang tuanya dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga untuk menghidupi kedua anaknya.
Lain halnya dengan Siti Nurhidayah (20). Saat ia berusia 15 tahun, sang pacar menolak memulangkannya ke rumah orang tuanya usai dijemput di sekolah. Dia dipulangkan keesokan harinya.
Seperti Rukaiyah, Siti dinikahkan dengan pacarnya yang hanya terpaut setahun meski dia sempat menolak. Pernikahannya tak berumur panjang, karena suaminya selingkuh dan melakukan KDRT. Mereka pun bercerai.
Tak seperti Rukaiyah, Siti mengaku enggan menikah lagi. Setidaknya tidak dalam waktu dekat.
“Saya mau sekolah lagi, sekolah pariwisata. Saya mau kerja di kapal pesiar atau hotel,” ujar Siti yang kini bekerja sebagai penata rambut dan pelayan kafe.
Perwakilan Yayasan Tunas Alam Indonesia menjelaskan tentang awig-awig di Mataram, NTB, 20 Februari 2017. (BeritaBenar/Zahara Tiba)
Mengentaskan pernikahan anak
Survey UNICEF pada 2008- 2015 menyebutkan, hingga tahun 2012 lebih dari 1,3 juta perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.
NTB adalah provinsi dengan tingkat perkawinan anak cukup tinggi. Sebanyak 25,5 persen perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Peringkat pertama diduduki Sulawesi Barat (36,2%), disusul Kalimantan Tengah (35,5%).
Pemerintah NTB berinisiatif menekan jumlah pernikahan anak dengan mengeluarkan edaran gubernur pada 2015 tentang upaya pendewasaan usia perkawinan. Edaran mengatur usia perempuan minimum 21 tahun, sementara lelaki 23 tahun.
“Pernikahan anak adalah produk budaya yang aib bagi keluarga karena dianggap tidak dapat mengendalikan anaknya. Kami terus mendorong upaya peningkatan usia pernikahan karena kami sadar hal ini berkorelasi dengan tingkat gizi buruk di NTB,” ujar Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid.
Dia mengaku dilema menerapkan edaran ini. Selain berhadapan dengan pemuka adat dan agama, Undang-Undang Pernikahan juga jadi hambatan utama. UU ini menyebutkan usia menikah bagi perempuan adalah 18 tahun.
“Kadang-kadang beberapa oknum petugas Kantor Urusan Agama memalsukan usia. Tetapi, kami terus berusaha mendekati tokoh-tokoh agama untuk mendukung upaya kami,” jelas Fauzan.
Pemerintah mendorong inisiatif warga dengan membentuk awig-awig gerakan anti-pernikahan anak. Awig-awig adalah kearifan lokal yang dituangkan dalam bentuk peraturan.
Sedikitnya ada tiga desa telah membentuk awig-awig, yakni Desa Kekait (2014), Dasan Griya (2015) dan Lebah Sempaga (2015). Sebelumnya, pernikahan anak di ketiga desa itu tercatat tertinggi di NTB.
Awig-awig mengatur tentang midang - pendewasaan usia pernikahan, dan sanksi bagi pelaku. Jika ada anak menikah, aparat desa, tokoh pemuda, dan agama akan berdiskusi dengan pihak keluarga agar sebisa mungkin mereka dipisahkan.
“Apabila tidak mungkin, kami berupaya mereka tetap bersekolah dan menunda kehamilan,” ujar Turmuzi, Kepala Desa Lebah Sempaga.
Peran berbagai organisasi non-pemerintahan sangat tinggi dalam pengentasan pernikahan anak dan sosialisasi awig-awig.
“KPI menginisiasi dialog dalam penyusunan awig-awig. Kami juga mendukung penguatan ekonomi rumah tangga dengan memberikan keahlian kepada para korban pernikahan anak, seperti menata rambut dan menjahit,” tukas Lily.
Suharti, Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia, mengaku strategi kampanye dan advokasi dengan melibatkan tokoh agama cukup ampuh mencegah pernikahan dini.
“Ketika sosialisasi ke desa, kami menemui tokoh adat dan agama. Lalu, kami menggerakkan anak muda untuk menjadi agen perubahan,” ujarnya.
Upaya kedua lembaga lokal ini didukung organisasi non-pemerintah internasional, Oxfam.
“Kami mendukung dalam bentuk dana dan advokasi sebagai bagian dari misi meningkatkan partisipasi perempuan di berbagai bidang serta penghapusan kekerasan terhadap anak dan perempuan,” jelas Juliana Ndolu, perwakilan Oxfam Indonesia.
Rukaiyah dan Siti kini terlibat dalam kampanye anti-pernikahan anak bersama KPI. Keduanya menjadikan pengalaman menikah usia dini sebagai pembelajaran agar kalangan muda mudi tidak mengikuti jejak mereka.