Teken Perppu Kebiri, Jokowi Dianggap Rendahkan HAM

Arie Firdaus
2016.05.26
Jakarta
160526_ID_Catastration_1000.jpg Presiden Joko Widodo bersama Kepala Staf Presiden Teten Masduki dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly (kanan) setelah mengumumkan Perppu tentang Perlindungan Anak di Istana Negara, Jakarta, 25 Mei 2016.
Dok. Biro Pers Sekretariat Kabinet

Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perlindungan Anak yang memuat hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual direspons negatif beberapa pihak karena dianggap sebagai perwujudan pelanggaran hak asasi manusia.

"Itu bersifat merendahkan martabat manusia," ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Maneger Nasution kepada BeritaBenar, Kamis, 26 Mei 2016, “seharusnya, hukuman adalah pembinaan disertai ganjaran setimpal."

Perppu terkait Perlindungan Anak yang memuat hukuman kebiri kimia itu diteken Presiden Jokowi, Rabu, 25 Mei 2016, sebagai Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Yang dimaksud kebiri kimia ialah memusnahkan hasrat seksual terhadap seseorang. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, kepada wartawan menyatakan aturan kebiri mulai berlaku sejak ditandatangani.

Tak cuma dianggap merendahkan martabat manusia, keberadaan Perppu itu dinilai Maneger dapat berpotensi menumbuhkan perasaan dendam dan kejahatan lain di dalam masyarakat.

"Pelaku yang dikucilkan masyarakat, misalnya, bisa saja melakukan kejahatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal hukum seharusnya tak berasaskan seperti itu," tegas Maneger.

Pernyataan tak jauh berbeda disampaikan aktivis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Mariana Aminuddin. Perppu yang diteken Jokowi, kata Mariana, sejatinya tak bersifat membina yang bisa mengubah mental para pelaku kekerasan seksual.

"Hanya menakuti saja dengan hukuman kejam dan tak manusiawi," ujar Mariana saat dihubungi BeritaBenar.

"Padahal sejak 1998 lalu, pemerintah sudah meratifikasi penentangan terhadap penyiksaan, hukuman yang kejam, dan merendahkan martabat manusia. Sekarang, kok, bertentangan," tambahnya.

Jika Komnas Perempuan dan Komnas HAM menentang Perppu tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia justru mendukung. Ketua Divisi Sosialisasi KPAI, Erlinda, menyebutkan aturan itu menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada anak khususnya dalam kekerasan seksual.

"Saya rasa akan menimbulkan efek jera," katanya kepada BeritaBenar. "Agak radikal, tapi ini menunjukkan negara hadir melindungi anak-anak dari predator seksual."

Hukuman diperberat

Dengan terbitnya Perppu itu, Jokowi berharap bisa menekan kekerasan seksual atas anak-anak yang dinilai pemerintah terus meningkat secara signifikan. Ide dikeluarkan Perppu itu setelah terungkap kasus pemerkosaan massal dan pembunuhan terhadap seorang bocah 14 tahun di Bengkulu, April lalu.

Menurut catatan Komnas Perempuan, 70 persen pelaku kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah anggota keluarga dan orang-orang dekat korban. Setiap hari, seorang dari 35 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual.

Sepanjang 2015, Komnas Perempuan mencatat 321.752 kekerasan seksual terjadi di ranah pribadi dalam bentuk perkosaan 72% (2.399 kasus), pencabulan 18% (601 kasus), dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Sementara di ranah publik ada 31% atau 5.002 kasus.

"Kejahatan yang luar biasa tentu membutuhkan cara-cara penanganan yang luar biasa pula," ujar Jokowi, seperti dikutip dari laman Kementerian Sekretariat Negara.

Sanksi kebiri kimia termaktub di Pasal 81 ayat 7 sebagai salah satu pidana tambahan. Selain sanksi kebiri, terdapat pula sanksi pemasangan chip --terdapat di pasal yang sama, serta pengumuman identitas pelaku seperti yang terdapat di Pasal 81 ayat 6.

Perppu ini juga memperberat sanksi penjara bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Jika sebelumnya dalam pidana pokok pelaku maksimal diganjar maksimal 15 tahun penjara, kali ini pelaku bisa dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati.

Ancaman sanksi itu termaktub di dalam Pasal 81 ayat 5. Dalam aturan sebelumnya, yaitu UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sanksi ini tak tercantum.

Menurut Jokowi, Perppu akan segera diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan. Tapi, Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengatakan DPR masih belum menerima salinan aturan tersebut.

"Kalau ada, baru dibahas sesuai mekanisme di sini. Akan dilihat dulu, apakah aturan itu menyeluruh atau tidak. Apakah tumpang tindih juga dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?" ujar politikus Partai Golkar itu.

Hal sama dikatakan anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. "Dikaji dulu dan dibandingkan penerapan di negara lain. Kami juga ingin mendengar penjelasan pemerintah untuk meminimalkan peluang pelanggaran hak asasi manusia," ujar Arsul kepada BeritaBenar.

"Menurut saya, Perppu itu juga harus diseleraskan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," tambahnya.

Diterapkan di negara lain

Beberapa negara yang sudah menerapkan sanksi kebiri atas para pelaku kekerasan seksual antara lain Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, dan Polandia.

Korea Selatan adalah negara Asia pertama yang menerapkan aturan itu pada 2011. Sejak saat itu, dua orang telah dijatuhi hukuman kebiri, yaitu Park (45 tahun) dan Pyo (31) tahun 2012.

Park disuntik kebiri karena memerkosa anak berusia 10 tahun. Ia sebelumnya juga pernah di penjara sebanyak tiga kali karena melakukan pelecehan seksual kepada anak di bawah 16 tahun.

Adapun Pyo dikebiri usai berhubungan badan dengan tiga remaja yang ia kenal lewat aplikasi pesan instan. Tak hanya itu, dia juga menyebarkan rekaman video pelecehan seksual.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.