Melawan Kebodohan di Tepi Jalanan Bandung
2016.09.14
Bandung

Insiden Sabtu malam, 20 Agustus 2016, masih diingat betul oleh Iqbal Tawakal. Kala itu, jarum jam belum menunjuk angka 12. Jalan Juanda di pusat Kota Bandung masih ramai saat dua truk yang membawa puluhan tentara berhenti di depan Taman Cikapayang.
Meski terkejut, Iqbal tak khawatir. Dia meyakini rombongan tentara itu hanya menyasar komunitas sepeda motor yang kerap nongkrong di trotoar jalanan Bandung, saban akhir pekan. Dua bulan sebelumnya seorang anggota TNI tewas oleh geng motor.
Tapi dugaan Iqbal meleset. Tak cuma membubarkan komunitas sepeda motor, seorang tentara berpakaian sipil yang turun dari truk bertulis Kodim (Komando Distrik Militer) ternyata juga membentak Iqbal dan kawan-kawan.
"Yang dagang, bubar!" teriaknya.
Sejatinya, Iqbal tak sedang berdagang. Bersama teman-temannya yang tergabung dalam Perpustakaan Jalanan Bandung, ia menggelar buku-buku agar dapat dibaca secara gratis oleh siapapun.
Seorang rekan Iqbal menghampiri sang tentara mempertanyakan perintah pembubaran. Alih-alih mendapat jawaban, ia justru mendapat pukulan di kepala.
Situasi kian panas karena sejumlah tentara ikut memukuli mereka yang berusaha melerai.
Menurut Iqbal, setidaknya tiga rekannya dipukul di bagian perut oleh beberapa tentara. Iqbal beruntung tak terkena pukulan.
Suasana mereda setelah Iqbal Cs mengalah dan memutuskan pulang lebih cepat malam itu.
"Kami enggak mau cari masalah," katanya saat menuturkan kembali insiden itu kepada BeritaBenar, Sabtu, 3 September 2016, sambil melapak di Taman Cikapayang.
Malam itu, puluhan orang duduk di sekitar lapak baca yang digelar Iqbal Cs. Ada yang khusyuk membaca, tapi ada pula yang sekadar mengobrol dan bertukar cerita.
Warga tampak tekun membaca di Perpustakaan Jalanan Bandung, 3 September 2016. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Pengunjung kian ramai
Pemberitaan tentang pembubaran dan pemukulan oleh anggota TNI seolah menjadi semacam promosi bagi Perpustakaan Jalanan.
Dedi Sulaiman, seorang pengunjung yang rutin menyambangi Perpustakaan Jalanan di Taman Cikapayang, memperkirakan jumlah pengunjung dua kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelum insiden pemukulan oleh TNI.
Salah satu pengunjung baru yang hadir adalah Hendra Sitanggang.
"Saya ingin lihat saja. Katanya, kan, habis dibubarkan," kata Hendra, "sekaligus bentuk solidaritas."
Soal peningkatan jumlah pengunjung itu, Iqbal mengucap syukur. Namun bayangan kengerian akibat pembubaran dan pemukulan, masih dirasakannya.
"Takut kalau terjadi lagi. Siapa yang berani melawan tentara?" ujar pria 24 tahun itu.
Sudah enam tahun
Perpustakaan Jalanan Bandung diprakarsai Iqbal dan kedua temannya, Badik dan Fajar.
Bermula pada satu Sabtu malam pertengahan 2010. Saat itu, Iqbal yang tengah nongkrong di Jalan Juanda – dikenal juga sebagai kawasan Dago – bersama Badik, mendapati Fajar menggelar buku-buku di trotoar.
Singkat cerita, mereka bersepakat membuat perpustakaan dadakan yang memanfaatkan ruang publik. Aksi itu lantas dinamakan Perpustakaan Jalanan Bandung, dengan modal awal 30 buku koleksi mereka.
Jumlah itu terus bertambah, hingga kini mencapai ratusan buku beragam genre, mulai dari komik, biografi, hingga novel. Tidak ada buku yang yang berbau komunis, atau buku yang “kekiri-kirian”, kata Iqbal, penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Sebelum rutin digelar di Taman Cikapayang, kegiatan itu sempat berpindah tempat, antara lain di Taman Jomblo dan Taman Lansia.
Iqbal yang mengaku tidak pernah mengenyam bangku kuliah, mengatakan membuka Perpustakaan Jalanan semata untuk membantu kampanye membaca buku.
Kantor Perpustakaan Nasional Indonesia pada November 2015 menyebutkan 90 persen penduduk Indonesia tidak gemar membaca buku dan lebih memilih menonton televisi. Menurut pakar pendidikan, tidak adanya budaya baca dalam masyarakat yang tumbuh dalam budaya bertutur, ditambah dengan perkembangan teknologi internet dan smartphone, semakin menjauhkan masyarakat dari buku.
Hambatan
Meski berniat baik, kegiatan Perpustakaan Jalanan bukan tak menemui hambatan. Kekerasan fisik oleh anggota TNI, tiga pekan lalu, adalah salah satu tantangan yang mereka dapatkan.
Ada pula kisah lain yaitu lampu penerangan jalan di Taman Cikapayang yang sering mati saat mereka melapak.
Perihal membaca bermodal penerangan taman ini sempat menjadi alasan pembenaran pembubaran oleh Komando Daerah Militer III Siliwangi.
Seperti disampaikan juru bicara Kodam III Siliwangi, Letkol. Arh Desy Aryanto bahwa kegiatan Perpustakaan Jalanan tak masuk akal lantaran digelar di taman dengan penerangan temaram.
Kritikan terkait pernyataan Kodam III Siliwangi itu dituangkan Iqbal lewat sebuah desain di akun Instagram-nya: @iqbltwkl. Dalam desain itu, dia menggambarkan sebuah buku yang berada di tempat berantakan, dengan bulan di kejauhan.
"Artinya, bahwa membaca bisa di mana saja," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai desainer grafis tersebut.
Penawaran bantuan LBH
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung berharap kasus pemukulan dan pembubaran diusut tuntas. Namun LBH Bandung, kata seorang anggota Riefqu Zulfikar, masih mencari tahu identitas pelaku pemukulan. "Sebelum ditindaklanjuti," katanya.
Disinggung soal langkah hukum yang diupayakan LBH Bandung, Iqbal terlihat enggan.
"Enggak perlulah," katanya. "Kami anggap sudah selesai. Lagipula, ini cuma gerakan mengajak orang membaca, kok. Enggak mau cari masalah."
Waktu menunjukkan pukul 00:30 WIB. Lalu lalang kendaraan di Jalan Juanda mulai sepi.
Hanya Iqbal Cs yang tersisa, merapikan buku-buku ke koper hitam berukuran 1 x 0,5 meter. Para pengunjung telah bubar sedari tadi.
"Minggu depan lanjut lagi," ujar Iqbal, tersenyum.
Malam itu, mereka pulang sambil tertawa ceria. Bukan dengan hardikan, seperti terjadi tiga pekan silam.