Anggaran Kewajiban Bela Negara Dianggap Tak Jelas
2015.10.14
Jakarta
Program kewajiban bela negara yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bagi seluruh rakyat Indonesia yang berusia di bawah 50 tahun mendapat reaksi beragam.
Pada konferensi pers yang diselenggarakan di Kementrian Pertahanan (Kemenhan) pada hari Senin, Ryamizard menyatakan ide ini merupakan implementasi dari program Revolusi Mental, yakni meningkatkan kedisplinan generasi muda.
Ryamizard menyatakan kementriannya menargetkan untuk merekrut 100 juta orang hingga 10 tahun ke depan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Pandjaitan menyatakan dukungannya atas usulan Kemenhan tersebut, tetapi target tersebut masih perlu dievaluasi.
“Angka itu masih perlu dikoreksi,” ujar Luhut Selasa siang usai memimpin rapat koordinasi di Istana Kepresidenan.
Ryamizard mengatakan kader ini akan disiapkan untuk melakukan pertahanan negara jika sewaktu-waktu negara mendapat ancaman.
Kewajiban bela negara ini berlandaskan UUD 1945 pasal 30 ayat 1 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan negara”.
Dasar hukum dipertanyakan
Syarief Hasan, anggota Fraksi Demokrat di Komisi I DPR RI – yang merupakan mitra kerja Kemenhan – mengatakan pihaknya belum pernah mendapat pemaparan yang detil tentang program bela negara ini.
Menurutnya pengaturan tentang bela negara dan pendidikan kemiliteran harus diatur dalam undang-undang tersendiri.
Dia merujuk kepada UU no. 3 tahun 2002 pasal 9 ayat 3 Tentang Pertahanan Negara yang mengatakan, “Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib dan pengabdian sebagai profesi, diatur dengan undang-undang.”
“Sampai sekarang kita tidak memiliki UUnya, jadi kalau hanya peraturan pemerintah atau keppres saja, tentu menyalahi UU Pertahanan”, ujar Syarief kepada BeritaBenar.
Implikasinya, menurut Syarief adalah pendanaan, harus jelas betul dari mana pengadaan anggaran untuk program tersebut.
Kemenhan menanggarkan Rp 10 juta untuk setiap kader. Jika targetnya adalah 10 juta orang per tahun, maka anggaran yang dibutuhkan menurutnya adalah Rp 100 triliun setiap tahunnya.
“Anggaran sebesar itu lebih baik dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit, memperkuat pertahanan di perbatasan wilayah kita, atau untuk menambah alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang kemarin anggarannya dikurangi,” tukas Syarief.
Bela negara tidak dengan pelatihan militer
Kordinator Kontras Haris Azhar sepakat bahwa program ini adalah pemborosan anggaran negara, yang bisa dialokasikan untuk mendanai hal-hal yang lebih penting.
Dia juga menganggap wacana program bela negara ini menggunakan cara pandang nasionalisme yang sempit.
“Hari ini yang dibutuhkan adalah integritas kepemimpinan, kekuatan ekonomi yang merata, penegakan hukum yang tidak diskriminatif, akses pendidikan bagi anak-anak, dan masih banyak lagi. Jika hal-hal ini sudah terpenuhi tiap warga negara akan cinta dan bangga pada negaranya, jadi bukan pelatihan militer seperti ini yang kita butuhkan,” ujar Haris kepada BeritaBenar.
Sebelumnya Menhan Ryamizard menyebut para kader akan diberi pengetahuan tentang dasar-dasar kemiliteran sehingga kalau terjadi perang, mereka tahu apa yang menjadi perannya.
Dia menambahkan bahwa program itu akan dimulai tahun ini di 47 kabupaten/kota yang berada di 11 kodam.
Cinta Tanah Air perlu diwujudkan
Kepada wartawan, Kepala Pusat Komunikasi Kemenhan, Jundan Eko Bintoro mengatakan, yang akan diajarkan pada para kader adalah kedisiplinan, kemampuan bela negara, baris berbaris dan pengenalan senjata. Pendidikan ini, menurutnya, akan berlangsung paling lama satu bulan.
Ketika dihubungi BeritaBenar aktivis Human Rights Working Group Choirul Anam menyatakan kedisiplinan sama sekali tidak identik dengan patriotisme. Mengajarkan disiplin pada generasi muda, katanya, tidak harus dengan cara-cara militer.
“Militer itu patuh pada atasan, tapi tidak selalu juga dia disiplin, lihat saja apakah di jalan raya ada anggota yang melanggar peraturan lalu lintas? Ada,” ujar Anam.
Haris dan Anam juga mempertanyakan apakah ada musuh secara fisik yang dihadapi Indonesia saat ini, yang membuat pelatihan militer terhadap seratus juta orang dibutuhkan.
“Perang yang kita hadapi saat ini adalah perang ideologi, bukan militer. Jadi yang dibutuhkan adalah wujud cinta Tanah Air,” ujar Anam.
Sementara menurut Haris, perang yang dihadapi Indonesia sekarang adalah perang modern, seperti perang ideologi dan teknologi.
“Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memperkuat dan mencerdaskan anak-anak Indonesia sebagai generasi muda dan meningkatkan profesionalitas TNI. Itu saja,” tutup Haris.